SATRIA (PININGIT), PRESIDEN KE-7 ADALAH JOKO LELONO

Download Artikel

SATRIA (PININGIT), PRESIDEN KE-7 ADALAH JOKO LELONO
Oleh: Cakra Ningrat

Bangsa Indonesia sebentar lagi akan melaksanakan perhelatan akbar, pesta demokrasi berupa penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR, DPD, DPRD Tk.I Propinsi dan DPRD Tk. II Kabupaten/ kota. Tanggal 9 April 2014 kemudian setelah itu bangsa Indonesia kembali mengikuti pemilihan umum tanggal 9 Juli 2014 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Itu berarti bangsa Indonesia akan mengikuti pemilihan umum sebanyak 2 (dua) kali.
Tentu saja hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 oleh karena dalam pasal 22E disebutkan:

1)      Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali

2)      Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Setelah diadakan uji materi (judicial review) UU no. 42 Tahun 2008 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD 45 oleh Mahkamah Konstitusi maka hakim konstitusi  di satu sisi berpandangan, berberapa Pasal UU no. 42/2008 tentang pemilu Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan UUD 1945, sehingga pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Namun di sisi lain Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa pemilu serentak baru akan diberlakukan tahun 2019 dan seterusnya.

Keputusan MK No. 14/PUU-XII/2013 tanggal 23 Januari 2014 menyatakan bahwa pasal-pasal dalam UU N0. 42 Tahun 2008 tentang pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pemilu legislatif dianggap tidak berlaku lagi. Namun di sisi lain MK memutuskan pemilu serentak baru bisa dilaksanakan 2019. Jelas keputusan MK ini bertentangan dengan UU MK Pasal 4F yang memerintahkan keputusan MK berlaku sejak keputusan hakim dibacakan. Keputusan tersebut bersifat mengikat.

Bila keputusan MK ditunda pelaksanaanya ke tahun 2019 maka keputusan itu tidak mengikat. Siapapun pemimpin (Presiden) yang dihasilkan dalam pemilu kali ini sifatnya tidak mengikat, tidak legal dan tidak kontitusional. Ini semua disebabkan oleh ulah segelintir orang yang haus akan kekuasaan. Terlena oleh pangkat dan kedudukan yang menyilaukan mata. Terlena dengan empuknya duduk di kursi dan menikmati fasilitas jabatan.

Kenikmatan hidup yang berkecukupan. Kemewahan fasilitas yang termanjakan dipersembahkan dan disediakan oleh rakyat yang sebagian besar masih hidup dalam derita dan penderitaan. Rakyat yang sabar dan lugu. Rakyat yang serba salah dan bingung dalam memilih buah simalakama. Bila ikut pemilu maka ikut serta memilih pemimpin inkonstitusional. Bila tidak ikut pemilu maka membiarkan pemimpin yang inkonstutisional terpilih dan berkuasa. Namanya pesta demokrasi, maka rakyatpun tahunya ikut serta larut dalam pesta meski tidak tahu akan adanya bahaya di depan mata.

Ratusan tahun lalu, leluhur-leluhur kita sudah memprediksi bakal terjadinya bahaya yang bakal menimpa anak-cucunya. Leluhur kita menyebut bahaya besar itu sebagai GORO-GORO yang menyebabkan bangsa ini chaos. GORO-GORO atau GARA-GARA dapat diartikan sebagai sebuah kasus hukum atau perkara hukum yang keputusannya menyalahi hukum dan pelaksanaannya berdasarkan ketetapan hukum yang salah. Kita akan memilih pemimpin (Presiden) yang inkonstitusional. Kelak pemimpin yang salah akan memimpin rakyat yang salah. Inilah goro-goronya.

Oleh karena kesalahan kita sudah sangat mendasar dan menyeluruh maka leluhur-leluhur kita akan bangkit dari kuburnya. Tuhan akan membangkitakan leluhur kita dengan dasar hukum:

  1. Kita telah salah memilih pemimpin sebagai mana yang diamanahkan oleh UUD 1945 yang dibuat oleh leluhur kita. Kemerdekaan bangsa ini bukan hadiah atau pemberian akan tetapi perjuangan panjang para leluhur yang telah mengorbankan nyawa dan hidupnya dimasa lalu.
  2. Kita telah menyia-nyiakan dan mempermain-mainkan nasehat leluhur seakan-akan kita lebih tahu segalanya. Kita ingin mendapatkan pujian meski itu hanya sesaat sementara kita tidak tahu bahwa sesungguhnya kita salah dalam menerjemahkan nasehat leluhur.

Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia tidak akan mampu mengatasi dan mengamankan keadaan sebab mereka juga punya leluhur. Leluhur kita sangat banyak. Mereka seperti benang kusut karena adanya ikatan kawin-mawin di masa lalu sampai kita ini ada sekarang. Jumlah mereka lebih banyak di banding kita yang hidup saat ini.

Mereka semua merasa berhak atas diri kita. Mereka memperebutkan kita untuk dibawa ke jalan yang benar. Yaitu jalan untuk menemukan pemimpin yang benar. Tidak dapat dibayangkan kekacauan yang ditimbulkannya. Tidak ada lagi hukum yang dapat mengatur dan menertibkan keadaan itu. Sungguh mengerikan!.

Keadaan mengerikan itu sudah lama diwasiatkan oleh leluhur kita, akan tetapi kitalah yang mengabaikannya. Kita terlalu sombong dan sok tahu dalam menafsirkan nasehat-nasehat mereka. Nasehat mereka saya sebut sebagai PESAN LELUHUR. Pesan ini saya copy-paste dari blog SPTM seperti berikut ini:

Pakem yang kami uraikan ini hampir tidak pernah didengar atau dibicarakan oleh publik karena tidak pernah dipublikasikan. Pakem ini hanya diketahui oleh orang-orang tertentu yang jumlahnya pun sangat terbatas karena penyampaiannya hanya dilakukan secara temurun dari orangtua kepada anak-anaknya. Pakem ini disampaikan oleh Imam Masdariyanto, seorang mantan Kepala Desa di Jember, Jawa Timur. Ia memperoleh pakem ini dari ayahnya, Syamsul, seorang carik (sekretaris desa) Desa Srengat Blitar, pada 1972.
 
ROJO HERU COKRO KASIO-SIO
 
Timbule Rojo Kapisan, Besuk ing tanah Jawa ono rojo tanpa serat kang paring asma Heru Cokro, yaiku Raja kang isa ngangkat martabate bangsa. Lengsere Heru Cokro besuk yen ono gunung-gunung padha jugrug wong wadon angger wani.
 
Munculnya Raja pertama, besok ditanah Jawa ada raja tanpa serat yang bernama Heru Cokro yaitu Raja yang bisa mengangkat martabat bangsa. Lengsernya Heru Cokro kalau ada Gunung-gunung pada meletus dan wanita menjadi berani.
 
ROJO ASMORO KINGKIN ANGKORO ARTO
 
Timbule Raja Kapindho, Gara-gara anane udan salah mangsa, lintang kemukus ing wetan parane, yen parak esuk nagtanake sunare. Patondho Jawa bakal ana perkara kang luwih gede saka pagebluk wulan sura bareng karo metuni macan loreng aran Asmara Kingkin.
 
Munculnya raja kedua gara-gara adanya hujan salah musim, komet disebelah selatan pada saat hampir pagi hari memunculkan cahayanya pertada jawa akan ada perkara yang lebih besar daripada kelaparan (krisis pangan) dibulan suro bersamaan dengan keluarnya Macan belang bergelar Asmoro Kingkin.
 
Asmara Kingkin dadi raja ing tanah Jawa akeh kawula kang ora ngerti apa-apa dadi tumbaling Negara, lampus saka tangane Asmara Kingkin. Asmara Kingkin dadi raja ing Tanah Jawa misuwur tumekane monco negara.
 
Asmoro Kingkin menjadi raja ditanah jawa banyak masyarakat yang tidak tahu apa-apa menjadi tumbalnya Negara yang dilakukan oleh tangannya sendiri Asmoro Kingkin. Asmoro Kingkin menjadi raja ditanah jawa tersohor sampai keluar negeri.
 
Besuk yen wis teko titi mangsa lengsere Asmara Kingkin yo kuwi soko turune dhewe. Lan yen wis ono wong kang kerokan lan glindingan. Senuk-senuk padha mlaku yaiku pratandha lengsere Asmara Kingkin.
 
Besok pada waktunya, lengsernya Asmoro Kingkin disebabkan oleh turunan (anaknya) sendiri. Dan kalau sudah ada orang yang mengeruk dan menggilas. Senuk-senuk berjalan, itulah pertanda lengsernya Asmoro Kingkin.
 
ROJO SOKO SEBERANG
 
Timbule Raja Katelu, Besuk ing Tanah Jawa ono raja anyar kang ora disangka-sangka pawongan iku saka tanah sebrang peparap Mak Kasar. Dadi raja ing Tanah Jawa suwene mung sak umur bayem, nanging Tanah Jawa ora malah tenterem mung ndadekne kocar-kacire bangsa lan negara. Akeh wong Jawa padha keplayu metu saka negarane dewe. Raja Mak Kasar nyuwil negara kang ana sisih wetan panggone. Yoiki pratandha lengsere Raja Mak Kasar.
 
Munculnya raja ketiga, kelak ditanah jawa ada raja baru yang tidak disangka. Orang tersebut dari seberang (luar jawa) bernama Mak kasar. Menjadi Raja ditanah jawa Umurnya hanya sebentar (tanaman bayam), namun Tanah jawa jadi tidak aman (tentram) malah menjadi kacau balau, banyak orang jawa berlarian meninggalkan Tanah jawa karena Raja Makkasar Minta negara bagian Timur. sebagai pertanda jatuhnya Raja Makkasar. (Lengser keprabon)
 
ROJO TANPO NETRO
 
Timbule Raja Kapapat, Ono raja saka tanah Arab kang peparab Samsudin. Raja tanpa netra bisa maca, tanpa suku bisa mlaku ngupadi turune Heru Cokro.
 
Munculnya raja keempat, ada raja dari Arab yang bernama Samsudin. Raja tanpa mata bisa membaca, tanpa kaki bisa berjalan mencari keturunan Heru Cokro.
 
Samsudin dadi raja para kawula alit lir kados medale laron sing kurang duga, tumpang suh mabure. Opo wae digampangake. Para manggalaning praja mantra bupati ora ana ajine. Ya kuwi lengsere Samsudin.
 
Samsudin menjadi raja rakyat kecil bagaikan keluarnya laron yang berserakan, terbang tak beraturan. Apa saja digampangkan. Para abdi Negara tidak menghormati ucapan bupati. Itulah lengsernya samsudin.
 
ROJO TUNO WICORO
 
Timbule Raja Kaping Limo, Raja Samsudin nuli nimbali mego ingkang sampun kacandhak. Ature Raja Samsudin, “Panjenengan sejatine turune Heru Cakra kang bisa nentremake negara ing Tanah Jawa. Aku enggal pamit marang sliramu, aku arep bali nang negaraku. Iki wis rampung anggonku ngupadi sliramu. Ayo padha samat-sinamatan, kajen-kinajenan. Sliramu wis jumeneng dadi ratu ing Tanah Jawa, kula semanten ugi mugi-mugi saged damel sireping negari sak mentawis.
 
Munculnya raja kelima, samsudin kemudian memanggil mega/awan yang sudah didapatnya. Raja samsudin berkata “anda sebenarnya adalah keturunan Heru Cokro yang bisa mententramkan Negara tanah jawa. Aku segera pamit kepadamu, aku akan kembali ke negaraku. Ini sudah selesai pencarianku terhadapmu. Mari kita saling memperhatikan dan saling menghargai. Anda sudah menjadi ratu di tanah jawa, demikian juga saya semoga bisa menjadi damainya Negara ini sementara.
 
ROJO NOTO KUSUMO
 
Timbule Raja Kaping Enem, Bebarengan karo ki dhalang mundhut lakone lahire Batharakala, ana satriya kang sulistya ing rupa kang gentur tapane akeh prihatine anduweni gegaman saka wong tuwane jejuluk Kyai Samber Nyawa, ya kuwi raja ing Tanah Jawa peparap Nata Kusuma kang bebarengan satriya saka Tanah Sebrang sing kasusupan sukmane batharakala. Jumenenge Natakusuma dadi raja ananing negara akeh prahara. Kawula padha kaweden, yaiku pratandha lengsere Natakusuma.
 
Munculnya raja keenam, bersamaan dengan kidalang mengambil lakon lahirnya Batharakala, ada satria yang berwajah tampan yang rajin bertapa banyak prihatinnya (tingkat spiritual yang tinggi) mempunyai senjata dari orangtuanya yaitu kiyai Sambar Nyawa, inilah raja ditanah Jawa bergelar Noto Kusumo yang bersamaan dengan satria dari seberang yang ke susupan sukmanya Bhatarakala. Pada saat Noto Kusumo menjadi raja Negara banyak terjadi prahara, rakyat pada ketakutan, itulah pertanda lengsernya Noto Kusumo.
 
ROJO JOKO LELONO PRANOTO NUSWANTORO
Raja Pemuda Pengembara Penata Nusantara
 
Timbule Raja Kaping Pitu, Ing Tanah Jawa ana sawijining padepokan sisih kulone Gunung Jamur Dipo. Ana Begawan kang apeparap Begawan Srikilokilo. Begawan Sriklokilo kagungan putra kakung aran jaka Lelana.
 
Munculnya raja ketujuh, ditanah jawa ada suatu padepokan disebelah barat gunung Jamur Dipo. Ada guru bernama Begawan Srikilokilo. Begawan Srikilokilo mempunyai anak lelaki bernama Joko Lelono.

Begawan Srikilo-kilo mlayu saka Tanah jawa , kalunta-linta uripe ing negara manca. Ora pati-pati bali ing tanah Jawa yen during Raja Heru Cakra lengser kepabron saka Tanah Jawa. Sak lengsereipun Raja heru Cakra, begawa Sriklokilo bali ing Tanah Jawa madhepok ing sukuning Gunung Jamur Dipo. Nggulawentah kang putra jaka Lelana kagambleng wonten kawah candradimuka dadiyo satria pilihan kang besuke ngabdi marang Asmara Kingkin.

Begawan Srikilokilo lari dari tanah jawa, hidup terluntah-luntah diluar negeri. Tidak akan kembali ketanah jawa sebelum raja Heru Cokro lengser dari tanah jawa. Setelah lengsernya Heru Cokro, Begawan Srikilokilo kembali ketanah jawa mendirikan padepokan dikaki gunung Jamur Dipo. Mendidik sang putra Joko Lelono sehingga menjadi satria tangguh yang kelak mengabdi kepada Asmoro Kingkin.

Uripe Jaka Lelana ora beja, malah nemuhi rubida lan tansah urip kalunta-lunta kasiya-siya. Ananging Gusti Kang Maha Kuwasa kang njangkung satindake Jaka Lelana kang besuke bakal dadi Raja ing Tanah Jawa ngganti lengsere Raja Natakusuma.
Hidup Joko Lelono kurang beruntung, selalu menemui halangan, terluntah-luntah dan selalu tersia-siakan, tetapi Tuhan Yang Maha Kuasa yang membimbing perjalanan Joko Lelono yang kelak akan menjadi Raja ditanah jawa menggantikan Raja Noto Kusumo.

PENAFSIRAN CAKRA NINGRAT
Rojo Heru Cokro Kasio-sio adalah presiden ke-1 Ir. Soekarno
Rojo Asmoro Kingkin Angkoro Arto adalah presiden ke-2 Soeharto
Rojo Soko Seberang adalah presiden ke-3 B.J. Habibie
Rojo Tanpo Netro adalah presiden ke-4 Abdul Rahman Wahid
Rojo Tuno Wicoro adalah presiden ke-5 Megawati Soekarno Putri
Rojo Noto Kusumo adalah presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono

Pesan leluhur mengatakan:

Munculnya raja keenam, bersamaan dengan kidalang mengambil lakon lahirnya Batharakala, ada satria yang berwajah tampan yang rajin bertapa banyak prihatinnya (tingkat spiritual yang tinggi) mempunyai senjata dari orangtuanya yaitu kiyai Sambar Nyawa, inilah raja ditanah Jawa bergelar Noto Kusumo yang bersamaan dengan satria dari seberang yang kesusupan sukmanya Bhatarakala. Pada saat Noto Kusumo menjadi raja Negara banyak terjadi prahara, rakyat pada ketakutan, itulah pertanda lengsernya Noto Kusumo.

Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (Rojo Noto Kusumo) dilantik dan diambil sumpahnya tanggal 20 Oktober 2004 di depan sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Bersamaan dengan itu kidalang mengambil lakon lahirnya Batharakala. Bersamaan dengan itu pula ada satria dari seberang yang kesusupan sukmanya Batharakala.

Apa yang dimaksud Batharakala dan siapakah yang dimaksud satria dari seberang yang kesusupan sukmanya Batharakala. 

Dalam pewayangan Jawa. Batharakala disebutkan sebagai putera Bathara Guru dengan istrinya Dewi Uma. Hubungan terlarang keduanya terjadi di atas kendaraan Lembu Nandini. Sadar dengan apa yang baru saja dilakukannya, Bathara Guru menyumpah-nyumpah bahwa tindakannya seperti perbuatan “Butho” (bangsa raksasa) seketika itu juga Dewi Uma yang tengah mengandung berubah menjadi raksasa dan berganti nama sebagai Batari Durga. Batara Guru mengusir Batari Durga dari kayangan kemudian Batari Durga melahirkan anak yang juga raksasa dan dinamakan “kala.”

Dalam dunia raksasa tidak dikenal adanya norma-norma perkawinan. Batharakala pun menjadikan Batari Durga sebagai isterinya. Keduanya selalu membuat onar marcapada (bumi) karena mereka dendam pada Bathara Guru. Karena khawatir dengan kerusakan yang ditimbulkannya maka Bathara Guru mengakuinya sebagai anak dan memberinya nama sebagai Batharakala. Batharakala meminta makanan dan Bathara Guru memberinya makanan yaitu manusia dengan aturan-aturan dan ketentuan yang diatur oleh Bathara Guru. Untuk menghindari diri dari dimangsa oleh Batharakala harus diadakan upacara-upacara ruwatan. Di dalam pedalangan untuk lakon-lakon seperti itu disebut lakon murwakala atau lakon ruwatan.

Raksasa Batharakala memiliki wajah yang sangat menyeramkan dan menakutkan. Suka memakan manusia. Bila ada manusia yang akan mendapatkan karma jahat maka pasti dia berurusan dengan Batharakala. Batharakala bersifat memaksa semua orang untuk tunduk pada batas usianya. Dimana ada kematian, di situ ada Batharakala. Selain sebagai waktu “kala” juga berarti hitam.

Kembali kepada para leluhur yang mengatakan “munculnya raja ke enam bersamaan dengan ki dalang mengambil lakon lahirnya Batharakala.” Pesan ini mengandung nilai kebenaran universal. Fakta hukumnya; Hanya dua bulan setelah dilantik, tepatnya tanggal 26 Desember 2004, di luar perkiraan semua orang gempa dan tsunami Aceh terjadi. Bencana itu disusul dengan bencana-bencana lainnya. Sampai saat ini bencana terus berlanjut hingga berakhirnya kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Sudah ratusan ribu nyawa melayang, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain mati begitu saja menjadi santapan lezat Dewa Batharakala.

SATRIA DARI SEBERANG KESUSUPAN SUKMANYA BATHARAKALA.

  • Satria dimaksud adalah seorang pemuda. Pemuda bukan berarti anak muda. Umur 20 ke bawah dianggap anak-anak. Umur 20-40 disebut anak muda. Umur 40-60 digolongkan Pemuda. Usia 60-80 dinamakan orang tua. 80-up disebut manula atau sepuh. Satria diartikan sebagai seorang laki-laki yang gagah, berani, cerdas dan kuat.

Dari seberang diartikan sebagai tempat Satria itu berasal. Kita tidak tahu di seberang laut mana Satria itu berada. Kita hanya bisa memastikan bahwa Satria itu tidak berada di pulau Jawa sebagai asal munculnya pesan leluhur ini. Bisa saja Satria itu berasal dari tempat yang sama dengan ROJO SOKO SEBERANG, yaitu MAKASSAR.

  • Satria yang berada di seberang pulau Jawa itu kesusupan sukmanya Batharakala. Sukma diartikan sebagai jiwa atau roh. Jiwa Satria disusupi oleh jiwa atau roh Batharakala. Bila Batharakala yang menang maka yang disusupi akan mati dimakan oleh raksasa kejam, seram dan menakutkan. Bila Batharakala yang kalah maka yang mengalahkannya disebut SATRIA (Yang Tak Terkalahkan). Kemenangan Satria disebabkan karena dia bersenjatakan TRISULA WEDA. Senjata itu milik Bathara Guru (Dewa Siwa), atau ayah dari Batharakala.

Batharakala harus menjalani karmanya sendiri. Jika awalnya dia berulah membuat onar di muka bumi untuk menarik perhatian dan diakui sebagai anak oleh Bathara Guru (Dewa Siwa), maka sekarang Batharakala harus terus berulah membuat masalah dan memakan korban untuk menarik perhatian orang agar orang-orang mengakui SATRIA DARI SEBERANG SEBAGAI SATRIA (PININGIT) SEJATI yang telah mengalahkannya.

ROJO JOKO PRANOTO NUSWONTORO.

Munculnya raja ketujuh, di tanah Jawa ada suatu padepokan di sebelah barat gunung Jamur Dipo. Ada guru bernama Begawan Srikilo-kilo. Begawan Srikilo-kilo mempunyai anak lelaki bernama Joko Lelono.

Gunung Merapi yang kita kenal sekarang ini awalnya hanya tungku perapian. Di dekatnya ada dua orang empu kakak beradik bernama Empu Rama dan Permadi membuat keris pusaka Tanah Jawa. Para dewa sudah memperingatkan pada kedua empu tersebut agar memindahkan kegiatannya, tetapi keduanya bersikeras menolak. Keduanya teguh pada pendiriannya untuk membuat pusaka di tengah pulau Jawa. Karena sudah diperintahkan dan mereka tetap menolak maka para dewa mengangkat gunung Jamur Dipo yang berada di laut selatan dan dijatuhkan ke perapian. Empu Rama dan Empu Permadi terkubur hidup-hidup. Untuk mengenang peristiwa itu maka gunung Jamur Dipo yang jatuh di perapian disebut dengan nama GUNUNG MERAPI. Roh kedua empu yang mati diangkat sebagai raja terhadap mahkluk-mahkluk halus yang menempati gunung merapi.

Gunung Jamur Dipo adalah intisari (saripati) yang merupakan cikal bakal atau asal muasal Gunung Merapi. Dapat dikatakan Gunung Jamur Dipo merupakan Gunung Sari (inti)daripada Gunung Merapi. Di sebelah barat GUNUNG SARI (Gunung Jamur Dipo) itulah berdiri sebuah padepokan yang merupakan tempat tinggal Joko Lelono. Joko Lelono adalah putera tunggal atau titisan dari Guru Agung yang bernama Begawan Srikilo-kilo. Begawan Srikilo-kilo adalah  nabi Hidir alaihissalam. Mahaguru dari guru segalanya.

Begawan Srikilo-kilo lari dari tanah Jawa, hidup terluntah-luntah di luar negeri. Tidak akan kembali ke tanah Jawa sebelum raja Heru Cokro (Soekarno) lengser dari tanah Jawa.

Begawan Srikilo-kilo tidak suka bahkan sangat membenci Heru Cokro (Soekarno) karena Presiden Soekarno membiarkan orang-orang atheis (tidak mempercayai Tuhan) yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) menguasai tanah Jawa dan orang-orang Jawa.

Setelah lengsernya Heru Cokro, diperkirakan antara tahun 1967-1969, nabi Hidir alaihissalam (Begawan Srikilo-kilo) sudah berada di Indonesia mendirikan padepokan di kaki Gunung Jamur Dipo atau di kaki GUNUNG SARI.
Begawan Srikilo-kilo mendidik sang putera Joko Lelono sehingga menjadi satria tangguh yang kelak mengabdi kepada Asmoro kingkin.

Asmoro Kingkin diartikan sebagai “gemar berperang.” Kegemaran ini melekat dalam diri pribadi Presiden Soeharto. Karir militernya mulai menanjak sejak perang melawan agresi kedua Belanda Tahun 1948 di Yogyakarta bersama-sama dengan Panglima Jendral Soedirman. Tahun 1962, Presiden Soekarno mengangkat Soeharto sebagai panglima perang Operasi Mandala untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Pusat Komando Operasi bertempat dan berkedudukan di Makassar. Menetapkan dirinya selaku panglima perang menumpas G 30 S/PKI hingga ke akar-akarnya. Saat menjabat presiden memerintahkan perang untuk merebut Timor-Timur. Memerintahkan perang melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sejarah mencatat, Soeharto akan membungkam, menumpas dan memerangi siapapun yang bersebrangan atau tidak mendukungnya. Pemerintahannya disebut fasis otoriter yang dikemas dalam sebuah sistem yang disebut “demokrasi pancasila.”

Pengabdian Joko Lelono kepada Asmoro Kingkin dimaksudkan sebagai satu bentuk kepribadian yang melekat dan menyatu dalam kehidupannya yang senantiasa diwarnai dengan aroma perang sejak masa kecil, dewasa hingga Joko Lelono dapat mengalahkan Batharakala. Selain sebagai dewa waktu, Batharakala juga diartikan sebagai hitam. Dalam iman kristiani, Batharakala diartikan sebagai MALAIKAT KEGELAPAN. Oleh karena Satria tangguh telah mengalahkan malaikat kegelapan (penguasa kegelapan) maka di suatu waktu kelak segalanya menjadi terang benderang. Saat itulah kita akan mengenal siapa yang sesungguhnya satria kebanggaan seluruh dewa-dewa, Maha Putra, Putra Tunggal Begawan Srikilo-kilo (titisan nabi Hidir alaihissalam).

“Hidup Joko Lelono kurang beruntung, selalu menemui halangan, terluntah-luntah dan selalu tersia-siakan.”

Itu disebabkan karena semua orang memusuhinya. Tidak ada yang mendukungnya. Segala bentuk-bentuk penghinaan telah diterimanya. Segala bentuk-bentuk penderitaan telah dirasakannya. Namun begitu Joko Lelono tetap tangguh, kuat, tabah, dan sabar dalam menjalani takdir hidupnya. Dia sangat cerdas, banyak akal dan panjang akal dalam bersiasat. Disebut Joko Lelono (pemuda pengembara) karena kegemarannya mengembara. Dia gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari satu alam ke alam lain. Dia tidak piningit (bersembunyi), justru sebaliknya dia aktif dan sangat reaktif. Dia memiliki naluri yang sangat bagus, insting yang sangat tajam terhadap pergerakan siapapun yang dianggapnya musuh atau memusuhinya. Dia selalu memberi sinyal-sinyal tentang kehadiran dan keberadaanya, akan tetapi hanya anak-anak indigo saja yang mampu menangkap sinyal gelombang elektromagnetik yang dipancarkannya.

  • Dikatakan hidupnya kurang beruntung tapi selalu untung pada akhirnya
  • Selalu menemui halangan tapi semua aral yang merintangi jalannya bisa dilaluinya dengan selamat
  • Dianggap hidupnya terluntah-luntah tapi tinggal di dalam mahligai istana dengan penuh fasilitas dan segala kemewahan
  • Disebut selalu tersia-siakan tetapi mendapatkan pelayanan dan penghormatan melebihi pejabat apapun
  • Itu semua disebabkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa selalu membimbing perjalanan Joko Lelono yang kelak akan menjadi Raja di tanah Jawa menggantikan Raja Noto Kusumo.

Dia disebut ROJO JOKO LELONO PRANOTO NUSWANTORO
Pemuda pengembara penata Nusantara
Pemuda pengembara pembawa sifat Keagungan Tuhan
Pemuda pengembara pembawa sifat Kemuliaan Tuhan
Pemuda pengembara yang mengabdikan dirinya hanya pada Tuhan.

Demikian penafsiran kami terhadap PESAN LELUHUR sebagaimana yang Admin blog SPTM harapkan. Diduga pesan leluhur yang kami kaji dan tafsirkan di atas sudah berusia ratusan tahun melebihi usia ramalan Ronggowarsito yang kita kenal selama ini. Cakra Ningrat berpendapat, pesan leluhur tersebut berasal dari leluhur kita yang memiliki latar belakang keyakinan agama Hindu atau sinkretisme Syiwa-Buddha. Terkesan pesan ini “terpinggirkan” padahal di dalam pesan itu banyak terpendam mutiara hikmah yang dapat kita petik untuk kita jadikan pelajaran yang sangat berharga. Pesan ini menjadi aktual untuk diperbincangkan mengingat banyaknya pendapat-pendapat orang-orang yang menyebut dirinya memiliki keahlian akan tetapi kajian dan penafsirannya terkesan seperti hand phone usang yang berganti casing.

Demi menjunjung tinggi asas rasionalitas dan obyektifitas artikel ini, dianggap patut tentunya bila “pesan leluhur” kita sandingkan dan perbandingkan dengan Ramalan Ronggowarsito.

Raden Ngabehi Ronggowarsito (1802-1873) seorang pujangga besar dan terlahir di tanah Jawa. Nama aslinya adalah BAGUS BURHAM, di masa mudanya pernah nyantri dan berguru agama islam pada Kiyai Imam Besaire, di pondok pesantren Gerbang Tinatar, Tegalsari-Ponorogo. Mendapat pencerahan di sungai Kedungwati sehingga dikenal sebagai pemuda alim yang pandai mengaji. Puncak karir Bagus Burham saat diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabehi Ronggowarsito.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa BAGUS BURHAM (Ronggowarsito) meramalkan ada 7 Satrio yang dikemudian hari memimpin wilayah seluas wilayah bekas kerajaan “Majapahit” yaitu:

  1. SATRIO KINUNJURO MURWO KUNCORO. Ditafsirkan sebagai Soekarno
  2. SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR. Ditafsirkan sebagi Soeharto
  3. SATRIO JINUMPUT SUMELAATUR. Ditafsirkan sebagai B.J Habibie
  4. SATRIO LELONO TAPA NGRAME. Ditafsirkan sebagai Abdul Rahman Wahid
  5. SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH. Ditafsirkan sebagai Megawati
  6. SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO. Ditafsirkan sebagai Susilo Bambang Yudhoyono. Semua penafsir memiliki pandangan yang sama bahwa Presiden dapat saja selamat memimpin bangsa ini bilamana dapat bersinergi dengan Satrio Piningit.

Cakra Ningrat berpendapat penafsiran mereka sungguh sangat keliru. Bagaimana mungkin presiden dapat bekerja sama dengan sosok yang tidak diketahuinya. Penafsir terjebak dengan kata-kata “pambukaning Gapuro” menuju zaman keemasan. Mereka menganggap kemunculan Satrio (piningit) sebagai satu perkara mudah dan gampang.

PAMBUKANING GAPURO diartikan sebagai pembuka pintu gerbang. Gerbang yang dibuka itu bukan di awal masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, akan tetapi di ahir masa jabatannya atau 20 Oktober 2014, barulah gerbang itu terbuka yang menandakan bangsa Indonesia telah memasuki suatu masa atau zaman yang disebut sebagai zaman Kalabendu.

“Jaman Kalabendu werdinipun, estu Bebendu wahananeki, keh Jalma saluyeng rembug, dumadya prang lair batos.”

Jaman Kalabendu (diartikan) seNYATAnya seperti hukuman atas perbuatan buruk atau kekalutan keadaannya, banyak manusia saling bertengkar, menjadikan perang lahir dan bathin.

Jaman Kalabendu inilah yang ditafsirkan sebagai GORO-GORO. Aroma bau busuk goro-goro sudah mulai terasa sekarang ini dengan torehan segudang prestasi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantas Korupsi dengan menangkapi para pembual, penipu, dan perampok uang rakyat. Menarik untuk dicermati prestasi yang telah diukir oleh putera dari MAKASSAR (Ketua KPK) yang telah menangkap dan memenjarakan:

  • JENG PUTRI INDONESIA (Angelina Sondakh)
  • SANG PENGADIL TERTINGGI YANG PEMADAT (Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia)
  • SANG RATU (Ratu Atut Chosyiah, Gubernur Banten & dinastinya)
  • SANG PUTRA YANG MAU JADI PRESIDEN (Anas Urbaningrum)

Silahkan pembaca tafsirkan sendiri hikmah apa atau misteri apa yang terkandung di balik simbol-simbol atau julukan yang saya berikan terhadap keempat orang itu. Silahkan pembaca gothak- gathik- gathuk dan simpulkan sendiri.

7.   SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU

Pinandito diartikan sebagai seorang yang sangat alim seperti begawan namun bukan begawan, seperti ulama namun bukan ulama, seperti pendeta namun bukan pendeta, seperti pastor namun bukan pastor, seperti bikku namun bukan bikku, tegasnya seseorang yang sangat dekat kepada Tuhan Yang Maha Esa, mewakili Tuhan (khalifatullah) didampingi (sinisihan) wahyu.

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU adalah: SATRIA (PININGIT) SEBAGAI REPRESENTASI (MEWAKILI) TUHAN, DIDAMPINGI WAHYU. Setiap perkataan dan perbuatannya adalah wahyu. Semua yang dia lakukan semata-mata atas kehendak dan perintah Tuhan. Pemimpin itu tidak memiliki kepentingan kecuali apa yang dianggap penting oleh Tuhan. Pemimpin itu adalah Wahyu Tuhan, yang berjalan.

Pemimpin itu adalah Satria tangguh. Dia adalah Joko Lelono. Putera Begawan Srikilo-kilo. Satria perkasa andalan para dewa. Satria pandai dan pemberani yang dikagumi oleh para malaikat. Padepokannya disebelah baratnya GUNUNG SARI (Gunung Jamur Dipo). Dia akan memimpin bangsa Indonesia memasuki Jaman Kalasuba, Jaman Kalasumbaga dan Jaman Kalasutara. Gambaran suasana atau keadaan nusantara dan bangsa Indonesia yang akan ditata oleh Joko Lelono dapat diuraikan sbb:

a.   Jaman Kalasuba tegesipun, jaman suka wahananira keh jalmi, antuk kabungahan estu, rena lejar sakehing wong.

Jaman Kalasuba yang artinya, jaman suka ria keadaannya banyak orang mendapat kegembiraan, semua orang lega dan bahagia.

b.   Jaman Kalasumbaga puniku, werdi jaman misuwur wahananineki, keh jalma gawe misuwur, mrih kasusra ing kalakon.

Jaman Kalasumbaga itu artinya, jaman terkenal keadaannya, banyak orang mendapatkan nama, tercapai keinginan menjadi terkenal.

c.   Jaman Kalasutara rannipun, werdi jaman Alus wahananoreki, akeh jalma sabiyantu, ing budining karahayon.

Jaman Kala sutara artinya jaman halus keadaannya, banyak orang membantu, agar bertingkah laku menuju keselamatan.

Ketiga jaman di atas itulah yang dimaksud dengan jaman keemasan. Jaman keemasan hanya dapat terjadi apabila bangsa Indonesia sudah melalui jaman Kalabendu (goro-goro). Jaman keemasan itu dapat terwujud oleh karena Joko Lelono telah mengalahkan Batharakala, sang penguasa “Waktu Kegelapan.”

Interval waktu antara Kalabendu, Kalasuba, Kalasumbaga dan Kalasutara dapat dikatakan relatif singkat. Rentang waktunya tidak begitu lama sebagaimana yang selama ini kita bayangkan oleh karena Joko Lelono telah berhasil mengalahkan Batharakala (Dewa Kegelapan).

Dalam hukum sebab-akibat, bila “penguasa kegelapan” telah tersingkir maka dipastikan “penguasa terang” akan muncul menerangi kita. Saat itulah kita semua akan mengetahui, melihat dan menyaksikan siapa sesungguhnya Joko Lelono-Satrio Pinanditho Sinisihan Wahyu. Pemimpin Masa Depan Indonesia Jaya. Pemimpin yang akan menata nusantara menuju masyarakat adil dan makmur, masyarakat yang damai dan sejahtera di dalam Kasih Tuhan, baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur, toto tentrem kerto raharjo.

Demikian penafsiran kami terhadap Pesan Leluhur dan Ramalan Bagus Burham (Ronggowarsito). Semoga artikel ini dapat memberi kebaikan, membawa manfaat yang positif serta dapat mencerahkan kita semua. Amin.

Penutup:
Penulis bersikap skeptis dan masih menyisakan beberapa pertanyaan sbb:

  1. Leluhur kita berpesan, hanya 7 (tujuh) orang raja yang akan memerintah Indonesia. Jumlah ini sama dengan umlah yang diramalkan oleh Bagus Burham (Ronggowarsito) dengan sebutan 7 (tujuh) orang Satrio. Kenapa harus tujuh, bukan delapan, sembilan, atau sepuluh dan seterusnya.
  2. Jika BENAR memang hanya 7 (tujuh) orang raja atau Satrio, berarti saat ini kita sudah berada di dalam era “menjelang ahir zaman.” Kemunculan Raja atau Satrio ketujuh nanti, berarti sekaligus menandakan masa Ahir zaman.
  3. Jika BENAR saat-saat sekarang sudah masuk masa menjelang ahir zaman, lantas kapan waktu kemunculan tokoh yang dinanti oleh seluruh agama? Masing-masing agama sudah memiliki pakem tersendiri terhadap kemunculan tokoh pujaan mereka yang selama ini mereka nanti-nantikan. Ummat islam menanti kemunculan IMAM MAHDI, ummat Kristiani menanti turunnya YESUS KRISTUS (Isa Al-masih), ummat Hindu menunggu DEWA KALKI dan ummat Buddha menanti kehadiran BUDDHA METTEYYA.

Beberapa ahli yang memiliki kompetensi di bidangnya berpendapat: Satrio (piningit) merupakan personifikasi perwujudan nyata dari semua tokoh pujaan yang dinanti oleh ummat manusia. Setelah kemunculannya, Satrio (piningit) diberi julukan sebagai RATU ADIL oleh karena dalam kepemimpinannya dia mengaplikasikan sifat-sifat feminim Tuhan. Sifat-sifat feminim Tuhan diartikan sebagai sifat KASIH. KASIH TUHAN tidak diperuntukkan untuk satu golongan saja, tapi untuk seluruh ummat manusia yang dikehendaki Tuhan. Karena itulah Dia dijuluki RATU (sifat feminim Tuhan). Satrio (piningit) akan memperlakukan manusia secara ADIL tanpa melihat latar belakang agama mereka sebab Satrio (piningit) memiliki kedudukan/ tempat di atas semua agama-agama dan aliran kepercayaan.

Pendapat para ahli mendapat pertentangan dari sebagian kecil orang-orang spiritual dan orang-orang dangkal pengetahuan. Umumnya mereka membatasi bahwa Satrio (piningit) hanya sebatas duduk sebagai presiden saja, sementara orang-orang yang dangkal pengetahuannya menolak Satrio (piningit) dengan alasan nama atau gelar atau julukan Satrio (piningit) tidak dikenal dalam keyakinan agama yang mereka anut.

4.   Cakra Ningrat akan melakukan hipotesa sendiri terhadap sosok fenomenal Satrio (piningit) guna menjembatani perbedaan pendapat yang tengah berkembang. Satrio (piningit) bukan hanya milik suku Jawa, Madura, Makassar, Dayak, Sunda, Papua, dsb, tapi menjadi milik dan masalah bagi seluruh suku-bangsa yang ada di bumi dengan berbagai macam latar belakang agama dan kepercayaan mereka. Kajian dan penafsiran Cakra Ningrat akan ditulis dalam bentuk artikel dan diposting di blog SPTM ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberi kemudahan dan kekuatan kepada kami guna mengungkap misteri sosok fenomenal sejagad raya dengan harapan agar kita semua  memiliki visi yang sama dalam memandang kebenaran-Nya. Amin. (Kamis, 13-2-2014).