HAKIKAT TUHAN DAN EKSISTENSINYA (2)

Oleh: Cakra Ningrat

Doktrin Tritunggal Allah dan Prinsip Dua Kalimah Syahadat

Alquran menolak kebenaran doktrin Tritunggal, sebagaimana firman-Nya.

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.(QS 5:73).

Berdasarkan data sejarah, munculnya doktrin Tritunggal awalnya diinisiasi oleh Kaisar Roma, Konstantin sekitar abad ke-3 M. Pada masa itu Konstantin belum memeluk agama kristen, dia seorang pemuja Matahari Yang Tak Tertaklukkan. Meski begitu, Konstantin meyakini kemenangannya di berbagai pertempuran dan bertambah luasnya wilayah kerajaannya sebagai berkat dari karunia Allah yaitu Tuhan orang-orang kristen. Konstantin tidak tahu apa-apa tentang kekristenan, bahkan lebih tepat untuk disebut kebingungan, sebab di masa itu belum ada konsep yang jelas dan baku untuk dijadikan pegangan kuat oleh umat. Sebagai seorang kaisar yang ahli dalam politik dan militer Konstantin melihat adanya suatu bentuk ancaman baru yang dapat mengganggu keutuhan wilayah kekekaisarannya bila umat kristen tidak dipersatukan di dalam satu doktrin.

Demi untuk mewujudkan harapan pribadinya sebagai upaya untuk menjaga keutuhan kerajaannya, Konstantin mengadakan pertemuan dengan semua uskup di Nicea. Pertemuan ini dikenal dengan konsili Nicea. Menurut catatan Encyclopedia Britannica adalah “Konstantin sendiri menjadi ketua, dengan aktif memimpin pertemuan dan secara pribadi mengusulkan… rumusan penting yang menyatakan hubungan Kristus dengan Allah dalam kredo yang dikeluarkan dalam konsili tersebut, “dari suatu zat dengan Bapa” … Karena sangat segan pada kaisar, para uskup, kecuali dua orang saja, menandatangani kredo itu, kebanyakan dari mereka dengan sangat berat hati.”

Setelah Nicea, perdebatan terus berlangsung selama puluhan tahun sebab banyak uskup dan umat yang percaya bahwa Yesus tidak setara dengan Allah. Pada tahun 381 M, Kaisar Theodosius mengambil keputusan menentang semua pihak yang tidak mau tunduk pada konsili Nicea. Semua yang menentang ditindas secara keji dan kejam. Pada tahun itu juga Theodosius mengadakan konsili di Konstantinopel. Konsili itu menyetujui untuk menaruh Roh Kudus pada tingkat yang sama dengan Allah dan Kristus. Dalam konsili Konstantinopel Tritunggal susunan kristen sudah mulai terbentuk dengan jelas. Lagi-lagi, rumusan ini mendapat tentangan yang keras oleh mereka yang tidak percaya.

Beberapa abad kemudian rumusan Tritunggal didefinisikan lebih lengkap dalam kredo Athanastian yang berbunyi “Kami menyembah satu Allah dalam Tritunggal… sang Bapa adalah Allah, sang Anak adalah Allah dan Roh Kudus  adalah Allah, namun mereka bukan tiga Allah, tetapi satu Allah.

Para sarjana yang meneliti masalah ini lebih mendalam berpendapat bahwa St. Athanasius (meninggal tahun 373 M) tidak menyusun kredo ini. The New Encyclopedia Britania mengomentari “kredo itu baru dikenal oleh gereja timur pada abad ke-12. Para sarjana sepakat bahwa kredo itu tidak disusun oleh Athanasius, tetapi mungkin disusun di Prancis Selatan pada abad ke-5 lalu mendapat pengaruh ke Spanyol pada abad ke-6 dan ke-7 dan digunakan dalam liturgi gereja di Jerman dan Roma pada abad ke-9.

Dari uraian di atas maka jelaslah bagi kita bahwa Tritunggal Allah adalah sebuah doktrin yang diawali oleh seorang raja (Kaisar Konstantin) yang berniat mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Allah, Tuhan orang kristen yang telah memberinya limpahan berkat kemenangan dalam berbagai pertempuran yang menambah wilayah kerajaannya semakin luas. Rasa syukur kaisar kepada Allah, Tuhan orang kristen telah mengubur keyakinannya dan menghentikan pemujaannya terhadap Dewa Matahari yang tak terkalahkan. Dari sudut pandang hakikat, ini adalah capaian yang luar biasa dari seorang kaisar.

Kaisar memiliki pengetahuan yang sangat terbatas dalam hal kekristenan, akan tetapi memiliki kekuasaan tanpa batas dalam hal pemerintahan. Apa yang dimiliki kaisar yakni kekuasaan tanpa batas maka itu pula yang ia persembahkan dengan sepenuh hatinya kepada Allah Tuhan kristen sebagai satu bentuk perwujudan puja dan bakti beliau kepada-Nya. Dengan kekuasaan tanpa batas ia memaksakan keputusan konsili Nicea diterima oleh umat kristen bahwa hubungan Kristus dengan Allah dari satu zat dengan Bapa. Terlepas benar tidaknya doktrin kristen yang diinisiasi oleh Konstantin, kita dapat melihat kebaikannya hingga saat ini di mana umat kristen telah diimani oleh lebih dari separuh penduduk bumi dan dapat dipersekutukan dalam satu doktrin Tritunggal.

Para pencari kebenaran yang bijaksana mempertanyakan kepastian hukum-Nya bilamana kelak doktrin Tritunggal dinyatakan “salah,” siapakah yang harus bertanggung jawab saat terjadinya hari penghakiman?

Konstantin tidak bisa dipersalahkan sebab ia hanya menyimpulkan adanya hubungan Kristus dengan Allah dari satu zat dengan Bapa. Theodosius juga tidak bisa dimintai pertanggungjawaban sebab ia hanya menyetujui untuk menaruh Roh Kudus pada tingkat yang sama dengan Allah dan Kristus. Athanasius juga tidak dapat dituntut sebab ia meninggal tahun 373 M sementara kredo Athanasius ditemukan oleh sarjana peneliti digunakan pertama kali pada abad ke-5 di Prancis Selatan. Bisa saja keadaan berbalik justru Athanasius yang akan menuntut kita dengan dalil hukum bahwa nama baiknya telah dicemarkan. Jika begitu, siapakah yang akan dituntut dan dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan ini? Yang dituntut dan dipersalahkan di depan mahkamah penghakiman adalah kita, pribadi-pribadi masing-masing yang bersikukuh memegang teguh doktrin Tritunggal Allah.

Bukan hanya umat kristen dengan doktrin Tri Tunggalnya yang akan dituntut, tetapi umat islam juga akan dituntut di hari penghakiman (Yaumil akhir) di padang Mahsyar sebab mereka berkeyakinan pada prinsip-prinsip kebenaran dalam kalimat persaksian dua kalimat syahadat yaitu: Asyhadu Allailaha illallah wa asyhadu anna Muhammadarsullullah yang artinya; Aku bersaksi Tidak ada Tuhan selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad rasul Allah.

Saksi adalah seseorang yang mempunyai informasi tangan pertama mengenai suatu kejadian melalui indera penglihatan mereka. Selain itu seorang saksi juga harus mengetahui betul tentang sesuatu hal yang disaksikan. Umat islam akan menjadi “saksi” atas dirinya masing-masing sebab mereka sendiri yang mengucapkan kalimat persaksian tersebut.

Sebagai saksi Alquran telah mengatur sebagaimana firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri…” (QS 4:135).

Umat islam mengucapkan dua kalimah syahadat paling sedikit 9 kali dalam sehari dengan perincian shalat subuh 1 kali, shalat duhur, ashar, magrib, dan isya masing-masing 2 kali. Jika mereka rajin melaksanakan shalat sunat, tentu lebih banyak lagi kalimat persaksian yang mereka ucapkan. Secara hukum, di hari penghakiman (Yaumul hisab) umat islam akan dimintai pertanggungjawabannya sehubungan dengan kalimat persaksian (dua kalimat syahadat) yang menjadi dasar agamanya. Umat islam akan menjadi saksi atas dirinya sendiri masing-masing orang.

Berdasarkan ketentuan hukum, terhadap para saksi mungkin akan diajukan pertanyaan “apa yang saksi ketahui dan apa yang saksi lihat sehingga saksi mengucapkan kalimat persaksian; Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah (asyhadu allailaha illallah) Dan aku bersaksi Muhammad rasul Allah (wa asyhaduanna muhammadarraulullah). Apa yang saksi ketahui dan apa yang saksi lihat dengan mata saksi sendiri?

Terhadap pertanyaan ini bagaimana seharusnya muslim menyikapinya? Jangan menggampangkan dan jangan menyepelekan kalimat persaksian. Jangan melupakan wahyu Tuhan yang pertama “Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS 96:4-5).

Terhadap kalimat persaksian: Asyhadu allailahaillallah. Artinya: “Aku bersaksi tidak ada  Tuhan selain Allah. Secara hakikat arti itu bermakna: “Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain (di dalam) Allah.” Muslim harus mengetahui hakikat dan makna satu kata di dalam kurung tersebut. Kata “di dalam” tidak harus diucapkan oleh mulut, tetapi harus dihayati dalam hati dan diketahui maknanya yang tersirat oleh logika akal pikiran bahwasanya; Allah bukan Tuhan tetapi Tuhan berada di dalam Allah. Cahaya Allah selalu menyelubungi atau meliputi Tuhan sehingga kadang-kadang Allah disebut sebagai Tuhan. Allah adalah bayangan Tuhan dan Tuhan tidak pernah terpisah dengan bayangan diri-Nya (Allah)Nya.

Terhadap kalimat persaksian: wa asyhaduanna muhammadarasulullah artinya. “Dan aku bersaksi Muhammad rasul Allah.” Secara hakikat Muhammad rasul Allah dapat dilihat oleh mata manusia. Berbeda halnya dengan Allah, Ia tak dapat dicapai oleh penglihatan mata tetapi bisa diketahui melalui kecerdasan akal budi manusia. Untuk melihat Muhammad secara kasat mata, lihatlah Alquran.

Bahwasanya: Alquran adalah satu-satunya mukjizat Muhammad rasul Allah yang terjaga dan terpelihara hingga akhir zaman. Sebagai saksi muslim harus “melihat” Alquran dengan matanya sendiri. Setelah melihat, membacanya, setelah membaca, memahaminya, setelah memahami, membenarkannya. Bila semua ketentuan ini telah terpenuhi maka muslim sudah dikategorikan sebagai saksi yang benar. Saksi yang melihat dan menyaksikan Muhammad Rasul Allah melalui kecerdasan akal-budinya dalam menerima dan memahami Alquran.

Para pencari kebenaran mempertanyakan bagaimana cara yang benar atau pikiran yang benar di dalam memahami doktrin Tritunggal Allah. Ini penting untuk diketahui bersama agar umat kristiani yang percaya dapat terhindar dari akibat-akibat hukum yang menimpa dirinya kelak di hari penghakiman yang akan terjadi dalam waktu dekat ini.

Seperti halnya dengan kalimat “persaksian” di dalam islam, doktrin Tritunggal Allah di dalam kekristenan merupakan doktrin otoritatif yang tidak dapat lagi diubah. Satu-satunya celah yang memungkinkan kita masuk di dalamnya hanya menyempurnakan paradigmanya agar umat kristen memahaminya dari sudut pandang hakikat. Menyebut Allah sebagai Yang Esa adalah suatu kebenaran mutlak, akan tetapi mengatakan Allah dalam tiga kepribadian (Bapa, Putra, dan Roh Kudus) tanpa disadari justru akan meruntuhkan kebenaran itu sendiri. Allah Yang Esa tidak bisa dibatasi hanya dengan tiga bentuk kepribadian an sich sebab Dia melampaui segala batasan. Sebagai bayangan Tuhan, Allah berada di mana-mana. Dia ada di dalam diri seluruh manusia, di semua makhluk, di bumi, di langit dan di alam semesta. Dia senantiasa berada di semua ruang dan waktu.

Kita tidak bisa menyalahkan pencetus dan perumus doktrin, sebab mereka hanyalah manusia biasa yang memiliki pengetahuan yang sangat terbatas untuk menembus dan membahasakan rahasia langit. Keterbatasan pengetahuan manusia akan hakikat Allah adalah sifat alami manusia. Pemuka agama kristen harus menyadari kodrat alaminya sebagai manusia biasa yang memiliki pengetahuan terbatas akan hakikat Allah, dengan begitu mereka dapat menahan diri dalam berimprovisasi, berteori, dan beretorika yang hanya menambah skeptisisme orang lain. Sadar atau tidak umat kristen hingga saat ini belum mampu mengungkap esensi Yesus yang sesungguhnya.

Kita semua mengakui bahwa Yesus adalah sosok gaib yang Maha Misteri yang pernah hadir secara utuh dan menjasad di bumi ini. Penulis beriman dan percaya pada Yesus, tetapi penulis juga percaya, bahkan meyakini bahwa hingga saat ini tak seorang pun di antara umat kristiani yang mengetahui dengan benar misteri Yesus yang sesungguhnya. Misteri Yesus hanya akan terungkap saat hari penghakiman tiba. Kita harus jujur mengakui dengan apa yang dibisikkan oleh hati bahwa pengetahuan kita tentang Yesus hanya merupakan asumsi-asumsi, analisis, pikiran, perasaan, dan perkiraan semata. Pengetahuan manusia tentangnya bersifat relatif dan sementara, juga bersifat individualistik dan tidak universal.

Semua orang bisa mendalami injil, membaca Perjanjian Baru, mengetahui sejarah hidup Yesus, kisah-kisah pelayanannya dan peristiwa-peristiwa “ilahi” yang menyertainya, tetapi adakah di antara kita yang mengetahui Bapa? Bapa tidak boleh disepelekan, sebab menyepelekan Bapa, dapat berarti menyepelekan Anak. Anak adalah manifestasi Bapa, perwujudan Bapa itu sendiri, tetapi Bapa bukan Anak. Dengan tak mengetahui Bapa, dipastikan tak mengetahui Anak. Menganggap kedatangan Anak untuk yang kedua kalinya hanya untuk umat kristen saja adalah suatu bentuk pengingkaran yang tidak disadari. Rasa-rasanya pengingkaran semacam inilah yang agaknya sulit terampuni. Kedatangan Anak tidak diperuntukkan untuk segolongan umat saja, tapi untuk seluruh umat manusia tanpa memandang bangsa dan agamanya. Alih-alih mengetahui Bapa sedang Anak saja masih menyisakan misteri yang berkepanjangan. Sebagian manusia tercengang kagum dan memuji-muji-Nya, sedang yang lainnya masih saja menduga-duga dalam kebingungan atas kematian Anak di tiang salib.

Dalam mengungkap misteri kematian Yesus di tiang salib, satu-satunya harapan kita hanya ada pada Alquran sebagai kitab suci Tuhan yang muncul 6 abad pasca kematian Yesus. Ironisnya, Alquran juga dicemari oleh manusia karena dianggap sebagai biang penyebab permusuhan, sentiment agama, polemik yang berkepanjangan dan tak berkesudahan. Umat islam kadang latah dalam memandang Alquran sebagai satu-satunya kitab yang benar padahal mereka tidak memahaminya. Apalah arti sebuah kebenaran jika kebenaran itu tidak dipahami. Menafsirkan Alquran tidak bisa hanya satu sisi, harfiahnya saja dengan mengenyampingkan makna hakikatnya. Alquran justru telah menetapkan kalau ayat-ayatnya terdiri atas mutasyahbihat dan kauniyah, karena itu ayat-ayatnya selalu berkonotasi ambigu. Ambiguitas Alquran harus disikapi secara bijaksana dan cerdas dalam kerangka berpikir yang bertumpu pada filsafat penggenapan.

Contoh klasik ambiguitas Alquran adalah soal penyaliban Yesus. Firman-Nya: dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya Kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan ‘Isa bagi mereka.  Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.(QS 4:157).

Terhadap ayat di atas, penulis berpandangan:

  1. Alquran tidak mengakui bahwa orang-orang yahudi telah membunuh dan menyalib Isa (Yesus). Jika Alquran secara terang benderang mengakui maka dampaknya akan lebih berbahaya bagi umat kristen karena pertama; orang yahudi akan merasa paling benar sebab itu Tuhan selalu berpihak kepadanya. Dapat dipastikan umat kristen akan diganggu dengan berbagai macam cara atau dihalang-halangi secara permanen agar ekspansi agama kristen tidak berjalan mulus dan umat kristen tidak bisa sebesar dan sebanyak ini. Kedua; Lucifer dan syetan akan terus menerus memprovokasi orang yahudi secara permanen bahwa mereka telah berhasil menang melawan Tuhan. Dapat dibayangkan betapa kacaunya dunia ini jika Lucifer dan syetan berhasil membuat stigma bahwa Tuhan telah dikalahkan. Barangkali manusia sudah tidak percaya lagi akan kekuatan Tuhan. Meskipun faktanya memang dibunuh dan disalib, tetapi Alquran menumbuhkan sikap ragu-ragu di hati manusia agar tidak mempercayai keberhasilan orang yahudi membunuh dan menyalib Yesus. Dengan keragu-raguan di hati manusia itu maka akan terbuka celah di dalam hati manusia bahwa pembunuhan dan penyaliban itu telah direncanakan Tuhan. Alquran telah menjelaskan bahwa sebelum penyaliban itu Tuhan telah mewahyukan kepada Yesus bahwa kematiannya sudah dekat QS. 3:55. Keempat injil juga merekam dengan baik perkataan-perkataan Yesus bahwa kematiannya sudah dekat. Ini adalah fakta bahwa injil dan Alquran saling menggenapi.
  1. Alquran mengatakan “mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan Isa (Yesus) bagi mereka.” Yang dimaksud Alquran “mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya” adalah rohnya atau jiwanya. Memang benar, roh dan jiwa tidak bisa dibunuh dan disalib. Roh dan jiwa sifatnya gaib, tidak tampak oleh mata bagaimana mungkin bisa dibunuh dan disalib? Roh dan jiwa itu berada di dalam jasad manusia, sehingga ia tidak dapat dibunuh dan disalib!. Jika begitu siapa sesungguhnya yang dibunuh dan disalib? Yang dibunuh dan disalib adalah “orang” yang diserupakan dengan roh dan jiwa Isa (Yesus) yaitu jasadnya sendiri. Karena itu Alquran mempertegas dengan menyebut kata “orang yang diserupakan” agar secara hakikat kita dapat menangkap makna bahwa yang dimaksud “orang yang diserupakan” adalah jasad Isa (Yesus) sendiri. Jasad Isa (Yesus) “serupa” dengan roh dan jiwanya. Alquran meyakini kebenaran penyaliban terhadap jasad Isa (Yesus) sebagaimana yang tertulis di dalam injil.

Dengan penjelasan ini tentu kita sudah dapat menangkap suatu kebenaran bahwa apa yang diberitakan oleh Alquran sudah relevan dan sesuai dengan apa yang dikabarkan oleh keempat injil. Secara hakikat Alquran dan alkitab tidak mungkin bertentangan sebab kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan Yang Satu. Pertentangan bisa saja terjadi apabila dijelaskan atau diterangkan oleh orang bodoh yang sok tahu yang suka memandang permasalahan dengan sebelah mata. Tidak kalah bodohnya orang yang mau mendengar dan percaya serta mengikuti penjelasan mereka.

Dalam berbagai kesempatan saya sering menyampaikan pledoi (pembelaan) bila orang-orang kristen dituduh “kafir” karena tidak mau tunduk pada ketentuan Alquran. Saya berpendapat: justru umat kristen selama ini telah melaksanakan perintah Alquran secara tulus, ikhlas, dan murni, tidak peduli apakah mereka menyadarinya atau tidak. Faktanya; tidak ada ketentuan dalam Perjanjian Baru yang mengharuskan umat kristen merayakan dengan penuh suka cita kelahiran Yesus, meratapi kematiannya di tiang salib dengan penuh haru dan duka cita, menyambut kebangkitannya dari yang mati dengan penuh rasa syukur, takjub, dan bahagia. Tradisi ini dijalankan oleh umat kristen semata-mata karena adanya perintah Tuhan di dalam Alquran sebagaimana firman-Nya:

Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali. Itulah Isa putra Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.  (QS 19:33-34).

Berdasarkan ayat di atas kita semua telah menyaksikan bagaimana umat kristen melaksanakan dengan penuh hikmad ritual peringatan hari kelahiran, hari kematian, dan hari kebangkitan Yesus. Tiga hari suci yang berhubungan langsung dengan kepribadian Yesus dapat dianggap sebagai tiga hari suci yang manunggal pada diri Yesus.

Firman-Nya: Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikit pun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran taurat, Injil dan Alquran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu… (QS 5:68).

Penulis dan seluruh umat yang ada di muka bumi menjadi saksi bahwa umat kristen telah menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Alquran secara konsisten, sebab mereka merayakan hari kelahiran Yesus (Isa), meratapi hari kematiannya dan menyambut dengan penuh suka cita hari dibangkitkannya hidup kembali atau paskah sebagaimana yang difirmankan Tuhan dalam Alquran 19:33-34. Kenapa umat kristen tidak merayakan hari kenaikan Isa Almasih atau Yesus? Karena Alquran tidak memerintahkan untuk dirayakan. Inilah fakta hukum yang tak dapat dibantah, baik oleh umat islam dan umat kristen khususnya maupun oleh umat manusia pada umumnya bahwa sesungguhnya umat kristen telah menegakkan ajaran-ajaran Alquran.

Ahli kitab adalah sebutan bagi umat Yahudi dan Nasrani (kristen) di dalam Alquran. Kristen memiliki Alkitab yang terdiri atas Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama terdapat Taurat dan di dalam Perjanjian Baru terdapat Injil. Karena kristen selalu merayakan ritual suci dalam memperingati hari kelahiran, kematian, dan kebangkitan Yesus sebagai perintah Alquran, dengan demikian kristen dapat dipandang sebagai orang yang beragama.

Alquran juga mengingatkan kepada umat kristen untuk tidak berlebih-lebihan dengan cara melampaui batas dalam agamanya. Semua yang berlebih-lebihan dan segala hal yang melampaui batas adalah perbuatan yang tidak terpuji.

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS 5:77).

Perbuatan yang berlebih-lebihan dan melampaui batas bukan saja menimbulkan antipati agama lain, tapi yang lebih krusial cara itu dapat mencemari kebenaran dan menodai kesucian Yesus. Secara hakikat ayat di atas mengingatkan umat kristen agar tetap di jalan lurus. Untuk tetap berada di jalan lurus jangan berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam agama, sebab cara berpikir dan berasumsi yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam agama dapat membuat anda berjalan serong/miring ke kiri atau ke kanan yang akhirnya justru membawa anda ke jalan sesat. Jalan menuju Tuhan adalah jalan yang lurus (shiratal mustaqim). Jalan itu hanya bisa dilalui oleh orang yang pandai berserah diri kepada-Nya dengan cara memahami hakikat Tuhan dan eksistensi keberadaan-Nya dengan benar.

Alquran mengatakan: “Al Masih Isa Putra Maryam seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).” (QS 3:45).

Jika anda meminta saya menjelaskan makna harfiah dari ayat di atas, dengan tegas saya katakan; “sebaiknya anda bertanya kepada yang lain saja.” Orang yang anda tanyai itu akan memusingkan anda dengan argumentasi yang tidak benar dan profan, sebab orang itu tidak lebih tahu dari anda sendiri.

Ayat di atas mutasyahbihat (sangat samar) yang hanya bisa dipahami secara hakikat. Untuk memaknainya secara hakikat harus lebih dulu dicermati secara ontologis. Ontologi adalah teori dari cabang filsafat yang membahas tentang realitas. Realitas adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran.

Berdasarkan kajian sintaksis (bahasa Arab Nahwu) yaitu ilmu yang mempelajari tata kalimat ayat di atas menggunakan kalimat poli klausa atau kalimat majemuk karena terdiri atas dua kalimat: Klausa pertama “seorang terkemuka di dunia dan di akhirat.” Ada pun klausa yang kedua adalah “dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).”

Parameter apa yang akan dijadikan alat ukur untuk mengukur kebenaran bahwa Yesus seorang terkemuka di dunia dan di akhirat? Anda keliru jika mendengar pandangan orang islam, sebab orang islam memandang Yesus (Isa) hanya sebagai nabi dan rasul. Pandangan ini didasari oleh perkataan Yesus (Isa) sendiri di dalam Alquran:

Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. (QS. 19:30).

Seorang nabi dan rasul adalah seorang terkemuka, tetapi hanya di dunia ini, sebab dia membawa ajaran Tuhan dan namanya dimuliakan di dalam kitab-kitab-Nya. Nabi dan rasul tidak lagi jadi orang terkemuka di akhirat, sebab manusia tidak lagi melaksanakan ajaran agama seperti shalat, puasa, berhaji, misa di gereja, dan sebagainya. Alquran  mengajarkan kepada umat islam bahwa Yesus (Isa) adalah seorang nabi dan rasul Allah sebagaimana nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya. Pengakuan Alquran terhadap kenabian dan kerasulan Isa (Yesus) “mengharuskan” atau “memaksa” umat islam untuk mengakui kebenaran ajaran agama kristen, sebab ajaran itu dibawa oleh nabi dan rasul Allah, Isa (Yesus). Mengingkari kebenaran ajaran agama kristen termasuk tata cara peribadatannya dapat berarti mengingkari kebenaran Isa (Yesus) sebagai nabi dan rasul Allah. Pengingkaran terhadap Isa (Yesus) dapat berakibat fatal, sebab dianggap sebagai pengingkaran terhadap Tuhan yang telah mengutus Isa (Yesus).

Alquran melarang manusia membanding-bandingkan agama satu dengan agama lainnya sebagaimana firman-Nya:

Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. 109:1-6).

Jika diteliti secara seksama, ayat di atas tidak menyebut salah satu agama, tetapi orang islam yang mengartikan ayat di atas secara harfiah akan menganggap kafir bagi yang tidak beragama islam. Secara hakikat, ayat di atas diperuntukkan bagi seluruh manusia dengan agamanya masing-masing di mana salah satu di antara agama-agama itu adalah agama islam. Alquran tidak diperuntukkan hanya untuk umat islam saja, melainkan untuk seluruh umat manusia sebagaimana firman-Nya:

“… Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (QS. 2:185).

Alquran harus ditafsirkan secara bijak, tenang, dan penuh kehati-hatian, sebab ambiguitasnya. Ayat 2:185 telah menjelaskan bahwa Alquran bukan hanya dikhususkan untuk umat islam saja, tetapi petunjuk bagi umat manusia.

Kafir (bahasa Arab) dalam syariat islam diartikan sebagai “orang yang menutupi risalah islam.” Tidak salah jika orang islam menganggap non muslim sebagai kafir.

Pada zaman sebelum datangnya agama islam, istilah “Kafir” digunakan untuk para petani yang sedang menanam benih di ladang, kemudian menutup (mengubur) dengan tanah, sehingga kalimat Kafir bisa diimplikasikan menjadi “seseorang yang bersembunyi atau menutup diri.” Dengan demikian, kata “kafir” menyiratkan arti seseorang yang bersembunyi dan menutup diri.

Kata “kafir” pada QS 109:1-6 bermakna ambigu. Umat islam menggunakan makna “kafir” setelah datangnya islam, sehingga semua non muslim dianggap kafir. Tetapi non muslim juga bisa menggunakan kata “kafir” yang ditujukan kepada orang islam, sebab non muslim menganggap orang islam menutup diri atau menyembunyikan diri dari ajaran agama non muslim.

Umat islam bisa saja berbeda pandangan dengan penulis, tetapi faktanya non muslim baik-baik saja, mereka tetap menjalankan prinsip-prinsip Alquran: “aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.”

Non muslim secara hukum berhak mempertahankan agamanya berdasarkan prinsip hukum Alquran dan orang islam harus menerima kenyataan bahwa Alquran ini bukan hanya untuk orang islam. Bila orang islam tidak ikhlas menerima kenyataan bahwa agama lain juga melaksanakan prinsip-prinsip Alquran maka orang islam tersebut telah melakukan pelanggaran nyata hukum Alquran, khususnya ayat 2:185 tersebut di atas.

Dalam konteksitas Isa (Yesus) sebagai Anak Manusia, Alquran menempatkannya secara proporsional dengan menyebutnya nabi dan rasul. Ini dalam kapasitas dia sebagai pembawa ajaran Tuhan yang telah Allah ajarkan kepadanya Al Kitab, Hikmah, Taurat dan Injil (Q 3:48).

Kekeliruan fatal umat kristen selama ini karena menginginkan umat islam berpandangan sama dengan mereka, sementara kesalahan fatal umat islam hingga saat ini karena menganggap umat kristen keliru, sebab berbeda pandangan dengan mereka.

Apa sesungguhnya penyebab perseteruan ini? Penyebabnya karena orang islam tidak memahami Alquran, sementara orang kristen sok tahu terhadap Alquran. Benar, jika orang islam menganggap Isa (Yesus) seorang nabi dan rasul, sebab dasar ayatnya jelas, tetapi tidak salah (benar) juga jika orang kristen memandang Isa (Yesus) lebih dari seorang nabi dan rasul, sebab ayatnya jelas tercantum dalam Alquran. Jika Isa (Yesus) hanya seorang nabi dan rasul, tentu Alquran mengatakan: “Al Masih Isa Putra Maryam seorang terkemuka di dunia” saja, tetapi faktanya Alquran menyebut: “Al Masih Isa Putra Maryam seorang terkemuka di dunia dan di akhirat.” Kata “di akhirat” adalah bukti nyata bahwa Isa (Yesus) bukan hanya seorang nabi dan rasul, tetapi lebih tinggi dari itu.

Tanpa bermaksud membanding-bandingkan, penulis berpandangan Al Masih Isa Putra Maryam (Yesus) memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Muhammad rasul Allah. Muhammad hanya seorang terkemuka di dunia ini tetapi di akhirat dia bukan seorang terkemuka. Anda bisa berkata apa saja tentang Nabi Muhammad di dunia ini, tapi di akhirat anda akan diam tak berkata sekata pun. Penegasan ini perlu disampaikan agar semua masalah dianggap telah terselesaikan. Orang islam tidak perlu mencari-cari atau memanggil-manggil Muhammad di hari penghakiman, sebab anda tidak bakalan ketemu. Juga tidak perlu berharap syafaat, sebab anda tidak mungkin mendapatkannya dari beliau.

Memang benar Alquran menolak dengan tegas doktrin Tritunggal Allah (Trinitas), akan tetapi secara implisit Alquran mengajari kita bahwa Tritunggal Allah harus dipahami sebagai Tritunggal Yesus. Secara ontologi firman Tuhan dalam Alquran (3:45) mengajari kita realitas kebenaran yang bersifat konkrit. Tritunggal Yesus dapat kita terima sebagai realitas kebenaran yang konkrit yaitu Yesus sebagai seorang terkemuka di dunia, Yesus sebagai seorang terkemuka di akhirat dan Yesus termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).

Bila Yesus sebagai seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, apakah berarti Yesus adalah Tuhan? Alquran dengan tegas mengatakan Yesus; “Seorang terkemuka di dunia dan di akhirat,” kata “seorang” (kata tunggal) artinya seorang diri atau sendiri, sangat pribadi di dalam dirinya. Secara hakikat dapat dibenarkan jika umat kristen menyebut TUHAN YESUS. Dalam ilmu sintaksis Tuhan Yesus adalah sebuah frasa yang terdiri atas dua kata tunggal yang masing-masing memiliki arti dan kedudukan tersendiri.

Klausa kedua di dalam Alquran (3:45) menyebutkan “dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).” Kata “orang-orang” adalah kata tunggal penuh di mana dalam kata “orang-orang” salah satu yang dimaksudkan adalah Yesus. Itu berarti bukan hanya Yesus sendiri, akan tetapi ada orang lain selain Yesus yang didekatkan (kepada Allah). Siapa sajakah yang dimaksudkan dengan “orang-orang” yang memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dengan Yesus?

Bila ingin mengetahui “orang-orang” yang memiliki derajat dan kedudukan yang sama dengan Tuhan Yesus, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus masuk menelusurinya dalam kitab suci weda. Apa yang akan kita temukan dalam penelusuran itu? Logika kita akan memahami kebenaran agama hindu.

Pemahaman kami terhadap prinsip-prinsip kebenaran agama hindu merupakan sebuah anugerah yang dapat kami tahan untuk diri sendiri tapi juga dapat kami berikan kepada orang lain yang mengharapkannya. Menahan anugerah ini tidak memberi keuntungan bagi diri kami, juga tidak membawa kerugian bagi penulis bila membagi pemahaman ini kepada pembaca yang bijaksana. (Bersambung ke Bagian 3)