SABDA RAJA DAN UGA WANGSIT SILIWANGI DALAM PERSPEKTIF WAKTU

Oleh: Cakra Ningrat

Download Artikel

Raja Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X pada tanggal 30 April 2015 telah menyampaikan “SABDA RAJA” sebagai berikut:

“Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto paringono siro kabeh adiningsun, sederek dalem, sentono dalem lan abdi dalem nompo welinge dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto lan romo ningsun eyang-eyang ingsun, poro leluhur Mataram wiwit waktu iki ingsun nompo dawuh kanugrahan dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto asmo kelenggahan ingsun Ngarso Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo. Sabdo Rojo iki perlu dimangerteni diugemi lan ditindakake yo mengkono sabdo ingsun.”

Artinya, “Tuhan Allah, Tuhan Agung, Maha Pencipta, ketahuilah para adik-adik, saudara, keluarga di Keraton dan abdi dalem, saya menerima perintah dari Allah, ayah saya, nenek moyang saya dan para leluhur Mataram, mulai saat ini saya bernama Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo. Sabda Raja ini perlu dimengerti, dihayati dan dilaksanakan seperti itu sabda saya.”

Pada tanggal 5 Mei 2015, Raja menyampaikan “DAWUH RAJA” sebagai berikut:

“Siro adi ingsun, sekseono ingsun Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo Kadawuhan netepake Putri Ingsun Gusti Kanjeng Ratu Pembayun tak tetepake Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Mangertenono yo mengkono dawuh ingsun.”

Artinya, “Saudara semua, saksikan lah, saya Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgeng ing Toto Panotogomo mendapat perintah untuk menetapkan Putri saya Gusti Kanjeng Ratu Pembayun menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Mengertilah, begitulah perintah saya.”

Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dalam jumpa pers tanggal 8 Mei 2015 di pendopo GKR Mangkubumi, putri sulungnya menyampaikan alasannya mengeluarkan Sabda Raja. Menurut Ngarso Dalem, saat ini Jogja masuk Lir Gumanti atau Masuknya Zaman Baru.

Sultan menyampaikan “Sabda Raja dikeluarkan setelah Sultan mendapatkan wahyu sehingga Sabda Raja disebutnya sebagai upaya menjalankan kewajiban dari leluhur. Dawuh Raja ini merupakan perintah Tuhan yang diterimanya. Menurut Sultan, perintah ini dapat diartikan sebagai lir gumanti atau masuknya Jogya dalam zaman baru. Zaman baru, terjadinya persatuan kesatuan dari Mataram lama, dari zaman Singosari, Pajang, ke Mataram baru sampai zaman sekarang ini. Zaman Mataram lama dan Mataram baru sempat terpisahkan karena adanya perjanjian Ki Ageng pemanahan dan Ki Ageng Giring. Karena sudah selesai, kami mengakui terjadi keturunan Ken Arok, Pajang, Pamembahan Senopati, sampai sekarang. Keturunan pancer (lurus) tak berkelok.”

Sultan mengakui hanya menyampaikan pesan itu apa adanya tanpa ada penambahan. Orang awam mungkin sulit untuk memahami. Sabda raja mesti dipahami dengan hati bukan pikiran sehingga apa yang sudah menjadi perintah harus segera dilaksanakan. Dalam sabda raja itu juga dijelaskan pergantian nama putri sulungnya namun Sultan menepis anggapan bahwa putri sulungnya merupakan calon penerus tahta.

Raja Keraton Yogyakarta mengakui penghapusan gelar “Khalifatullah” yang melekat padanya. Meski gelar itu hilang namun diganti dengan sebutan Panoto Gomo. Alasan Sultan menghapus nama gelar “khalifatulah” karena mendapat “perintah” langsung dari leluhurnya. Perintah itu diperoleh sehari sebelum menyampaikan Sabda Raja.

“Saya hanya menyampaikan pesan dari leluhur. Saya tidak berani menentang leluhur karena ini perintah yang harus saya laksanakan.” Kata Sultan. Sultan tak menepis pergantian nama itu menuai risiko, seperti yang selama ini terjadi di masyarakat. Namun Sultan punya alasan tetap menghilangkan nama Khalifatullah karena itu perintah dari leluhurnya “semua ada risiko, tapi saya lebih takut jika perintah leluhur tidak dijalankan.” Jelasnya. Sultan berharap tidak terjadi hal yang buruk pada siapa saja yang menentang Sabda Raja. Dia tidak akan mempermasalahkan karena melihat Sabda Raja akan keliru jika menggunakan logika atau pikiran. “Orang Jawa itu kan melihat sesuatu dengan rasa, bukan pikiran. Kalau dengan pikiran, apa yang dilihat keliru. Yang bener itu belum tentu pener (pas atau sesuai) ujar Sultan. Sabda Raja dan Dawuh Raja mendapat penolakan dari kerabat-kerabat Sultan terutama oleh adik-adiknya sendiri.

Adik Sultan, GBPH Yudha Ningrat meminta kakaknya mencabut Sabda Raja I dan II yang telah diucapkan karena tidak sesuai dengan peugeran dan protokol yang berlaku di kraton, sehingga harus batal demi hukum. Menurut Yudhaningrat, pencabutan kembali Sabda Raja tidak masalah sebab tatanan kraton tidak mengenal Sabda Raja. Yang ada “Sabda Nata.” Sabda Nata tidak mempunyai risiko hukum. Ini berbeda dengan Dhawuh Tumbalan Dalem yang merupakan perintah yang harus ditaati. Apabila diabaikan akan ada risikonya.

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, menurut Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Doddy Riatmaji mengatakan “Kementrian sulit untuk ikut campur meskipun ada poin dari Sabda Raja itu yang tidak sejalan dengan Undang-Undang 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Yogyakarta. Misalnya pengangkatan Gusti Kanjeng Ratu Pembayung menjadi GKR Mangkubumi itu artinya, putri sulung raja akan menjadi pewaris tahta. Ini tidak sejalan dengan yang ada dalam Undang-Undang. Dalam UU tersebut raja harus berjenis kelamin laki-laki. Sabda Raja tidak melanggar UU karena salah satu tugas raja adalah menyempurnakan Undang-Undang.

Dari pemberitaan media di atas kita dapat menyimpulkan Sabda Raja tanggal 30 April 2015 adalah penggantian nama gelar Sultan. Ada pun Dhawuh (perintah) Raja adalah mengganti nama GKR Pembanyun menjadi GKR Mangkubumi. Keduanya adalah perintah Allah melalui ayah dan leluhur Sultan. Perintah Tuhan hanya sebatas memberi nama. Sultan tidak berani melangkah lebih jauh termasuk mengangkatnya menjadi putri mahkota.

Artikel ini tidak akan membahas dampak Sabda Raja dan Dawuh Raja dalam aspek pemerintahan termasuk siapa pewaris takhta (putri mahkota) yang akan melanjutkan pemerintahan oleh karena hal itu termasuk masalah internal keluarga kesultanan. Artikel ini sebatas menyoroti pencabutan gelar “khalifatulah” sebagai dampak dari adanya pergerakan alam. Secara de facto and de jure, Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah satu-satunya raja di Republik Indonesia yang memiliki pemerintahan sendiri, batas-batas wilayah dan masyarakat sendiri berdasarkan Undang-Undang Daerah Istimewa. Karena itu sabda Raja jangan dianggap sepele apalagi sabda itu disampaikan atas dasar Perintah Allah melalui leluhur raja.

GELAR KAHLIFATULLAH.

Gelar Khalifatullah adalah gelar yang melekat pada diri Sultan-Sultan Yogyakarta selama hampir tiga abad. Pada awalnya raja-raja Mataram memakai gelar panembahan, sultan dan sunan. Raja terbesar Mataram, Sultan Agung menggunakan gelar sultan. Untuk melegitimasi kekuasaannya, dia mengirim utusan ke Mekah untuk meminta gelar sultan pada tahun 1641. Dia mengikuti jejak Sultan Banten, Pangeran Ratu yang menjadi raja Jawa pertama yang mendapatkan gelar sultan dari Mekah sehingga namanya Sultan abdul Mafakir Mahmud Abdul Kadir.

Raja-raja Mataram berikutnya, Amangkurat I sampai III menggunakan gelar sunan. Sedangkan Amangkurat IV (1719-1724) menjadi yang pertama menggunakan gelar Khalifatullah. Gelar baru ini menegaskan perubahan konsep lama raja Jawa, dari perwujudan Dewa menjadi wakil Allah di dunia.

Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755 yang memecah Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta, gelar khalifatulah digunakan oleh sultan-sultan Yogyakarta sedangkan raja-raja Surakarta memakai gelar sunan. Oleh karena itu, di dalam literatur atau kesempatan resmi, sebutan untuk raja-raja Surakarta adalah Sampeyan Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Paku Buwana Senapati Ing Alaga Abdur Rahman Sayidini Panatagama, sementara itu sebutan untuk raja keraton Yogyakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Sebutan Sultan di masa lalu: Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Khalifatullah Ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Makna harfiah “Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Khalifatullah adalah: Panglima besar perang Jihad Hamba Tuhan Yang Maha Pengasih Sayid dalam menata kehidupan beragama Khalifatullah (wakil Allah).

Sebutan sultan saat ini: Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati Ing Kalogo, Langgening Bawono Langgeng, Langgeng Ing Toto Panotogomo. Secara harfiah “Langgeng Ing Toto Panatogomo” bermakna “kelanjutan tatanan penataan kehidupan beragama.”

Perintah Allah kepada sultan melalui leluhurnya harus kita sikapi dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan. Dalam Alquran (42:51) Allah berfirman:

Dan tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.  Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

Berdasarkan firman di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa perintah Allah kepada sultan BUKAN wahyu. Allah juga tidak mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya. Hal yang paling tepat adalah Perintah Allah kepada sultan dengan perantaraan “di belakang tabir.” Bisa saja “di belakang tabir” yang dimaksudkan oleh sultan adalah dengan perantara leluhurnya tersebut. Tentu tidak ada yang mengetahui bagaimana sultan bisa mendapatkan / mendengar pesan tersebut. Wajar jika sultan tidak mau mengemukakannya sebab hal itu adalah rahasia pribadi sultan.

Pertanyaan kita sekarang “Kenapa Allah memerintahkan sultan melalui leluhurnya agar tidak lagi memakai / menggunakan gelar khalifatulah?”

1.       Dalam Alquran (2:30) Allah berfirman:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (Khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.  

Ayat di atas secara jelas dan tegas menyebut “Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi.” Itu berarti Allah masih sebatas merencanakan menjadikan seorang Khalifah. Setelah Adam tercipta, tak satu pun ayat yang menegaskan bahwa Adam Khalifah Allah di muka bumi. Kesalahan fatal umat islam karena keliru dalam menafsirkan ayat. Umat islam menganggap Adam adalah Khalifah Allah di muka bumi dan menganggap semua manusia (keturunan Adam) juga Khalifah Allah. Sultan mendapat pesan dari Allah melalui leluhurnya bahwa Sultan (manusia) bukan Khalifah Allah di muka bumi ini, maka dengan penuh keberanian dan kemantapan diri Sultan menghapus gelar “Khalifatulah” di dalam namanya

2.       Dalam Alquran (38:26) Allah berfirman:

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu Khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Alquran dengan tegas menyebut Daud adalah Khalifah (penguasa) Allah di muka bumi. Karena itu Allah memberi kerajaan kepada Daud sehingga Daud menyandang gelar raja, nabi, dan , rasul Allah. Meskipun nabi Sulaiman juga diangkat sebagai raja yang mewarisi kerajaan Daud, akan tetapi Allah tidak mengangkat Sulaiman sebagai Khalifah-Nya. Setelah nabi Sulaiman wafat, kerajaan Daud, yaitu Kerajaan Israel lambat laun mengalami kehancuran, sebab tidak ada lagi khalifah Allah setelah Daud.

Secara de facto dan de jure Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah seorang raja yang dia warisi dari ayahnya dan ayahnya mewarisi dari leluhurnya. Allah memerintahkan leluhurnya agar sultan segera menghilangkan gelar khalifatulah karena gelar itu tidak diperuntukkan bagi manusia biasa

3.       Dengan dihapuskannya gelar khalifatulah yang selama ini melekat pada Sultan Yogyakarta selama kurang lebih 300 tahun, maka alam memperlihatkan tanda-tandanya kepada kita kalau kita semua akan memasuki zaman baru (Lir Gumanti) karena Allah akan mengangkat Khalifah Allah (Khalifatullah) di bumi ini.

4.       Khalifatulah, Khalifah Allah yang kedua ini diperkirakan tidak lama lagi akan muncul. Ia akan menggenapi Raja Daud sebagai Khalifah Allah yang pertama. Khalifah Allah akan memimpin Kerajaan Allah di muka bumi ini. Tidak diketahui siapa dan dimana Khalifah Allah tersebut. Leluhur kita memberi istilah kepada Khalifah Allah Yang Kedua itu sebagai SATRIO PININGIT yang bermakna Satrio (Khalifah) yang dirahasiakan (disembunyikan) Allah. Leluhur memerintahkan pada raja untuk menanggalkan gelar khalifatulah pertanda kemunculan Khalifah Allah SATRIO PININGIT sudah tidak lama lagi.

5.       Pada kemunculan Khalifah Allah yang pertama (Raja Daud), Tuhan memberi tanda kepada Nabi Samuel (QS 2: 247-251) bahwa Thalut (Saul) akan melawan Jalut (Goliath) dan Daud akan membunuh Jalut (Goliath). (Alkitab perjanjian lama kitab Samuel pasal 17). Untuk kemunculan Khalifah Allah Yang Kedua, Tuhan telah memberi petunjuk kepada leluhur dan leluhur mengatakan akan terjadi “goro-goro” (peristiwa besar). Belum diketahui bagaimana sesungguhnya huru-hara tersebut. Mungkin peristiwa besar goro-goro (huru-hara) yang dimaksud leluhur memiliki makna yang sama dengan yang dimaksud dalam Alquran dan alkitab sebagai “ditiupnya sangkakala yang pertama menjelang hari kiamat.” Wallahualam.

Berdasarkan uraian-uraian di atas; Cakra Ningrat berpendapat bahwa “Sabdo Rojo” yang disampaikan oleh Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kesepuluh Surya ning Mataram, Senopati Ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langging Toto Panotogomo adalah benar perintah Allah melalui ayahnya dan leluhurnya.  Cakra Ningrat mengajak dan menghimbau kepada kita semua khususnya dan terutama kepada warga setia blog SPTM agar menerima dan menaati “sabdo Rojo” guna menghindari segala bentuk risiko yang timbul terhadap mereka yang menolaknya atau menyepelekannya.

PERJANJIAN LELUHUR

Sabda Raja yang disampaikan Sri Sultan Hamengku Bawono X menjadi tanda berakhirnya perjanjian antara Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan. Selama ini perjanjian itulah yang menjadi dasar munculnya Mataram baru di Yogyakarta.

Dalam “Babad Tanah Jawa” yang telah dialih aksarakan dan diterjemahkan oleh Sudibjo SH, disebutkan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring merupakan dua orang yang bersahabat. Ki Ageng Pemanahan mendapatkan hadiah dari Sultan Pajang berupa wilayah hutan Mataram. Hadiah itu diberikan oleh Sultan Pajang karena Ki Ageng Pemanahan berhasil mengalahkan Arya Penangsang.

Cerita berawal ketika Ki Ageng Giring yang berkedudukan di Gunung Kidul, suatu ketika pernah mendapatkan bisikan gaib saat Ki Ageng Giring sedang memanjat pohon untuk menyadap getah. Di tempat itu ada sebatang pohon kelapa, dekat dengan pohon yang dipanjat Ki Ageng. Pohon kelapa tadi selamanya belum pernah berbuah, namun akhirnya berbuah.

Pada saat itu buahnya hanya satu dan masih muda (degan). Ki Ageng sedang memasang tabung bambu di atas pohon kelapa, kemudian mendengar suara “ Ki Ageng Giring, ketahuilah, siapa yang meminum air degan itu habis seketika, kelak seanak turunnya akan menjadi Raja Agung di tanah Jawa,” demikian bunyi bisikan gaib itu.

Ki Ageng Giring setelah mendengar suara demikian, segera turun dari pohon yang dia panjat. Di bawah setelah selesai meletakkan tabung penyadapan getah, kemudian cepat – cepat memanjat pohon tadi. Maka telah dipetiklah kelapa muda itu dan di bawa turun.

Namun karena ada klausul “ harus habis seketika”, sedangkan Ki Ageng Giring pada saat itu belum haus – haus amat, maka dia memilih untuk meminum air kelapa itu pada siang harinya. Ki Ageng Giring memutuskan untuk pergi dulu ke hutan, dan kemudian meminum air kelapa itu sekali tenggak.

Pada saat Ki Ageng Giring pergi ke hutan demi mendapatkan rasa haus yang teramat sangat, sahabatnya Ki Ageng Pemanahan tiba di kediaman Ki Ageng Giring. Ki Ageng Pemanahan yang sangat haus setelah berjalan jauh lantas menenggak air kelapa “gaib” yang rencananya akan diminum oleh Ki Ageng Giring.

Ki Ageng Giring seketika kembali dari hutan hanya bisa meratapi ketika mendapati air degan “gaib” yang dia petik sudah tidak ada di tempatnya. Dan kemudian Ki Ageng Pemanahan yang ada disitu mengakui dia yang meminum air kelapa muda tersebut.

Ki Ageng Giring setelah mendengar perkataan Ki Ageng Pemanahan merasa seakan hancur hatinya, sedih dan sangat kecewa. Lama ia terdiam. Sebagai seorang yang memiliki kelebihan, maka ia pun mengetahui akan takdir, bahwa sudah takdir Tuhan, Ki Ageng Pemanahan akan menurunkan raja yang menguasai tanah Jawa

Ki Ageng Giring mempunyai permintaan kepada Ki Ageng Pemanahan, “Adi, permintaan saya begini saja karena air degan sudah Anda minum, bagaimana saya dapat minta kembali?. Sudahlah kelak keturunan saya saja bergantian dengan keturunan Anda: turun anda sekali, kemudian bergantian turun saya.”

Ki Pemanahan atau Ki Ageng Mataram tidak mau. Permintaan Ki Ageng Giring yang demikian itu diajukan sampai yang keenam kalinya. Ki Ageng Mataram juga tidak mau. Kemudian ganti Ki Giring minta turun yang ketujuh. Ki Ageng Mataram menjawab, “ Kakang, Allahu’alam, bagaimana baiknya kelak, saya tidak mengetahui.”

Sabda Raja yang disampaikan Sri Sultan menjadi tanda berakhirnya perjanjian antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan tersebut di atas. “Dasare perjanjian Ki Ageng Giring sampun rampung mboten saged lipun ewahi (perjanjian antara Ki Ageng Giring sudah selesai dan itu tidak bisa diubah)” kata sultan. Dengan berakhirnya perjanjian itu maka tidak ada lagi perpisahan antara Mataram Lama dan Mataram Baru. Mataram Lama adalah dari zaman Ken Arok Singosari sampai Kerajaan Pajang, sedangkan Mataram Baru adalah berdasar pada perjanjian Ki Agung Pemanahan dan Ki Agung Giring. Dengan bersatunya Mataram Lama dan Mataram Baru maka raja menggunakan nama Surya ning Mataram.

Sabda Raja:

“Allah, Tuhan Yang Agung, Maha Pencipta, ketahuilah para adik-adik, saudara, keluarga di Keraton dan abdi dalem, saya menerima perintah dari Allah, ayah saya, nenek moyang saya dan para leluhur Mataram, mulai saat ini saya bernama Sampean Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengkubawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Surya ning Mataram, Senopati Ing Kalogo, Langenging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo. Sabda Raja ini perlu dimengerti, dihayati dan dilaksanakan seperti itu sabda saya.”

Cakra Ningrat berpandangan; perjanjian antara Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring harus segera diakhiri oleh keturunan Ki Ageng Pemanahan dalam hal ini Sultan Hamengku Bawono X, sebab bila perjanjian suci itu tidak dibatalkan maka akan melanggar hukum Tuhan. Disebut perjanjian “suci” sebab Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan sama-sama murid waliullah Sunan Kalijaga. Kedudukan perkaranya adalah:

  1. Ki Ageng Giring menemukan kelapa muda ajaib dan mendengar bisikan “gaib” bahwa “siapa yang meminum air kelapa muda itu sekali teguk maka anak keturunannya akan menjadi raja Agung di Jawa.” Ki Ageng Giring meminum tetapi menunda menghabiskan air kelapa tersebut sehingga tidak memenuhi klausul (syarat) “sekali teguk.”
  2. Ki Ageng Pemanahan pergi ke rumah Ki Ageng Giring. Karena kehausan maka Ki Agung Pemanahan menghabiskan air kelapa muda milik Ki Ageng Giring dengan sekali teguk. Ki Ageng Pemanahan dianggap yang paling berhak karena memenuhi klausul yang dipersyaratkan.
  3. Ki Ageng Giring meminta kepada Ki Ageng Pemanahan agar Keturunan Ki Ageng Giring disilihpergantikan dengan keturunan Ki Ageng Pemanahan untuk diangkat menjadi raja.
  4. Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan tidak mendapatkan kata sepakat.
  5. Ki Ageng Giring meminta kepada Ki Ageng Pemanahan agar keturunan Ki Ageng Giring yang ketujuh yang dapat diangkat sebagai raja. Ki Ageng Pemanahan tidak menerima atau menolak permohonan Ki Ageng Giring karena Ki Ageng Pemanahan tidak mengetahui apa yang akan terjadi terhadap keturunannya nanti.

Dari segi hukum “manusia” Cakra Ningrat berpandangan; Ki Ageng Giring dipandang BENAR jika meminta anak keturunannya juga diangkat sebagai raja dengan alasan Ki Agung Giring yang menemukan Kelapa degan ajaib dan mendengar bisikan gaib. Ki Ageng Giring memiliki andil dan peran besar terhadap kemunculan calon-calon raja Mataram Islam.

Dari segi hukum “manusia” Cakra Ningrat berpandangan, Ki Ageng Pemanahan dipandang BENAR jika menolak permintaan Ki Ageng Giring sebab Ki Ageng Pemanahan tidak mengetahui apa yang akan dilakukan oleh keturunannya kelak di kemudian hari. Ki Ageng Pemanahan tidak mau mengikat perjanjian dengan Ki Ageng Giring sebab tidak ada jaminan bahwa kesepakatan itu akan dilaksanakan oleh anak keturunannya kelak di kemudian hari. Ki Ageng Pemanahan menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah Yang Maha Tahu.

Dari segi hukum “Allah” Cakra Ningrat berpandangan; wahyu Keraton yang dikenal dengan nama “Gagak Emprit” seharusnya diperuntukkan bagi Ki Ageng Giring oleh karena Ki Ageng Giring yang menemukan kelapa degan ajaib dan mendengar langsung bisikan gaib bahwa “barang siapa yang meminum air kelapa itu dengan sekali teguk maka anak keturunannya akan menjadi raja agung di Jawa. Ki Ageng Giring dipandang SALAH karena menunda meminum air kelapa tersebut. Apa pun yang diperintahkan Allah seharusnya segera dilaksanakan tanpa menunda-nundanya dengan alasan apa pun.

Dari segi hukum “Allah” Cakra Ningrat berpandangan; Ki Ageng Pemanahan dipandang SALAH, oleh karena meminum air kelapa ajaib yang bukan miliknya. Apa pun alasannya, Allah melarang manusia mengambil barang / hak milik orang lain tanpa seizin pemiliknya. Karena perbuatan Ki Ageng Pemanahan diawali dengan perbuatan SALAH, maka anak keturunannya yang diangkat sebagai raja adalah SALAH.

Allah berkehendak menyampaikan kesalahan Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring, karena itu Allah memerintahkan raja Jogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X melalui perantara ayahnya dan leluhur Mataram untuk “menghapus / meniadakan” perjanjian antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. Dengan dihapusnya perjanjian itu maka terhapuslah segala masalah Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan terhadap Allah.

Pergantian nama raja sebagaimana yang disebut dalam sabda Raja menandakan adanya pergantian zaman (Lir gummanti). Pergantian zaman yang dimaksud dipandang sebagai pergantian zaman dari zaman yang SALAH (bathil) ke zaman yang BENAR (Haq). Ketika “kebenaran” Allah dimunculkan maka segala “kebathilan” akan dilenyapkan (dihapuskan).

Dalam Alquran Tuhan berfirman:

Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. (17:81).

Cakra Ningrat memandang Sabda Raja adalah sebuah pertanda bahwa “KEBENARAN” telah muncul. Kebenaran yang dimaksudkan di sini tentu saja segala kebenaran yang berkaitan dengan nasehat-nasehat leluhur (ramalan dan wasiat leluhur) baik yang disampaikan oleh Raja Kediri, yang dikenal dengan Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabaya (Prabu Jayabaya) maupun yang disampaikan oleh Raja Pajajaran yang bernama  Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.

PERSPEKTIF WAKTU

Dalam perspektif (sudut pandang) “waktu”; delapan ratus lima puluh tahun yang lalu, Prabu Jayabaya (1135-1157) telah meramalkan (prediksi) akan munculnya seorang “satria.” Satria ini; pandai meramal seperti Dewa, dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggah anda seolah-olah lahir di waktu yang sama, tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati, bijak, cermat dan sakti, mengerti sebelum sesuatu terjadi, mengetahui leluhur anda, memahami putaran roda zaman Jawa, mengerti garis hidup setiap umat, tidak khawatir tertelan zaman. Oleh karena itu carilah satria itu, yatim piatu, tak bersanak saudara, sudah lulus weda Jawa (bait 167-168).

Banyak yang percaya terhadap ramalan ini namun tidak ada satu pun yang dapat menafsirkannya secara tepat akan arti dan makna ramalan tersebut: Dalam bait 173 Jayabaya mengatakan “hanya satu ini yang dapat memberi petunjuk tentang arti dan makna ramalan saya, tidak bisa ditipu, karena dapat masuk ke dalam hati.” Satu yang dimaksud oleh Jayabaya adalah “satria” itu sendiri. Siapakah satria itu? Kita tidak mengetahuinya, kita hanya sebatas meyakininya. Karena kita tidak mengetahuinya maka kita menyebut satria itu “piningit” yang artinya bersembunyi atau disembunyikan Allah.

Jayabaya tidak pernah menyebut frasa “Satria Piningit” karena Jayabaya mengetahui bahwa ada yang bisa bertemu (mengetahui) “satria” sebagaimana yang beliau maksudkan. Jayabaya mengatakan “ada manusia yang bisa bertemu tapi ada yang belum saatnya, jangan iri dan kecewa itu bukan waktu anda.” Bagi yang belum mengetahuinya atau belum bertemu dengan satria tidak perlu berkecil hati karena dalam perspektif waktu semua manusia akan bertemu apabila waktunya telah tiba.

Sebelum waktu yang diperjanjikan “tiba” sebaiknya memang kita berusaha mencari tahu siapa sesungguhnya satria yang dimaksudkan oleh Prabu Jayabaya agar kita tidak dibingungkan atau disesatkan oleh syetan. Satu-satunya petunjuk yang dapat kita jadikan sebagai pegangan adalah Sabda Raja yang diucapkan oleh Raja Yogyakarta. Petunjuk Allah melalui Sabda Raja adalah sebagai berikut:

  1. Satrio adalah seorang Khalifah Allah (Khalifatullah) karena itu raja harus menanggalkan nama / gelar khalifatullah yang selama tiga ratus tahun digunakan oleh raja-raja Yogyakarta secara turun-temurun. Penghapusan gelar khalifatullah oleh raja memberi indikasi bahwa SATRIA TELAH MUNCUL.
  2. Satria adalah seorang RAJA, Khalifah (penguasa) di alam gaib yaitu alam roh yakni alam para leluhur. Sebagai Raja, Satria memiliki sifat-sifat maskulin Allah yaitu: AL-Azis (Yang Maha Perkasa), Al-Jabbar (Yang Memiliki Mutlak Kegagahan), Al-Qahhar (Yang Maha Memaksa), Al-Qawiyyu (Yang Maha Kuat), Al-Matiin (Yang Maha Kokoh). Ad Dhaar (Yang Maha Penimpa Kemudharatan), Al- Qayyuum (Yang Maha Mandiri). Satria berwujud manusia, sama seperti dengan kita. Makan dan minum semua seperti dengan kita. Satria hidup, bernafas, dan beraktivitas sama seperti dengan kita, dia berada di sekitar kita, akan tetapi kita tidak mengetahuinya. Ketidaktahuan kita karena kita dibatasi oleh leluhur kita sendiri.
  3. Satria memerintahkan kepada leluhur dan leluhur Mataram memerintahkan kepada keturunannya (Sri Sultan Hamengku Buwono X) untuk menyampaikan Sabda Raja. Sabda Raja menandakan bahwa SATRIA TELAH MUNCUL secara nyata. Disebut “nyata” karena pikiran dan kecerdasan kita sudah bisa menangkap hikmah dan pelajaran adanya sesuatu yang beraroma “misteri” di balik Sabda Raja.
  4. Satria adalah seorang RAJA yang SAH. Kerajaannya disebut Kerajaan Allah. Batasan wilayah kedaulatannya meliputi seluruh alam gaib. Rakyatnya adalah seluruh leluhur umat manusia. Untuk memperluas wilayah kekuasaannya maka Satria melakukan ekspansi ke alam nyata yaitu alam yang dihuni oleh manusia yang hidup saat ini. Sabda Raja adalah tanda penting buat kita semua agar kita dapat menangkap sinyal kalau Satria sudah mulai melakukan ekspansi kekuasaannya. Sabda Raja menimbulkan kegaduhan, keributan, kegalauan, dan ketidaktenangan di kalangan internal keluarga kesultanan. Penyebabnya? GORO-GORO SABDO ROJO.
  5. Kita semua adalah raja-raja kecil. Kerajaan kita disebut RUMAH TANGGA. Akan timbul kegaduhan, keributan, kegalauan, ketidaktenangan, bahkan kehancuran kerajaan kita. Kekacauan ini bersifat massif yang berimplikasi langsung kepada kehancuran masyarakat, bangsa, negara, dan peradaban umat manusia. Penyebabnya? GORO-GORO SABDO ROJO. SABDO ROJO yang dimaksudkan di sini bukan lagi Sabda Raja Sulton Jogyakarta akan tetapi Sabda Raja di alam gaib atau Satria kepada rakyatnya yaitu leluhur-leluhur kita. Manusia tidak bisa berinteraksi dan berhubungan langsung dengan Satria karena manusia bukan rakyatnya Satria. Itulah sebabnya manusia tidak bisa mengenal, tidak bisa mengetahui bahkan mendeteksi di mana keberadaan Satria.
  6. Sabda Satria adalah SABDO ROJO GOIB. Apabila Satria telah menyampaikan Sabda-Nya maka seluruh sifat “maskulin” Satria yaitu Al-Azis (Yang Maha Perkasa). Al-Jabbar (Yang Memiliki Mutlak Kegagahan), Al-Qahhar (Yang Maha Memaksa), Al Qawiyyu (Yang Maha Kuat) Al Matiin (Yang Maha Kokoh), Ad Dhaar (Yang Maha Penimpa Kemudharatan) akan diturunkan dan didistribusikan kepada leluhur-leluhur manusia. Maka jadilah leluhur-leluhur kita sebagai “satria” yang perkasa, yang memiliki mutlak kegagahan, yang memaksa, yang kuat, yang kokoh, yang menimpakan kemudaratan kepada manusia yang merupakan anak-cucu keturunannya sendiri.
  7. Sifat maskulin Satria, Al-Qayyum (Yang Maha Mandiri) tidak diberikan kepada leluhur. Sifat Maha Mandiri hanya seorang diri. Dengan sifat itu, Satria akan melakukan kontrol ketat terhadap rakyatnya (leluhur). Leluhur-leluhur manusia tidak mengenal dan tidak mengetahui Tuhan Semesta Alam. Tuhan hanya berhubungan dengan Satria dan Satria yang berhubungan dengan leluhur. Leluhur mengenal dan mengetahui Satria. Leluhur hanya tunduk dan taat pada perintah Satria. Leluhur manusia akan membuat kerusakan dan kehancuran di muka bumi sebagai konsekuensi atas kehendak ROJO GOIB melakukan ekspansi kekuasaannya di alam nyata. Celakalah manusia yang merendahkan dan mempermain-mainkan Satria. Di kalangan umat islam Satria dikenal dengan sebutan IMAM Mahdi. Di kalangan umat hindu Satria dikenal sebagai penjelmaan kesepuluh Dewa Wisnu yang disebut KALKI AWATARA.
  8. Satria akan tampil sebagai KHALIFAH atau penguasa di muka bumi. Leluhur memberi gelar kepada khalifah sebagai RATU ADIL. Gelar ini menandakan kalau khalifah memiliki dan mengimplementasikan sifat-sifat feminin Allah yaitu: Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang), As-Salam (Yang Maha Pemberi Kesejahteraan), Al Baasith (Yang Maha Melapangkan makhluknya), Al Mu’izz (Yang Maha Memuliakan makhluknya), Al Adl (Yang Maha Adil), Al Lathif (Yang Maha Lembut), Al Halim (Yang Maha Penyantun), As Syakuur (Yang Maha Pembalas Budi / Menghargai), Al Muqiit (Yang Maha Pemberi Kecukupan), Al Jahil (Yang Maha Luhur), Al Kariim (Yang Maha Pemurah), Al Hakim (Yang Maha Bijaksana), Al Waduud (Yang Maha Mengasihi), Al Majid (Yang Maha Mulia), Al Barru (Yang Maha Penderma / Maha Pemberi Kebajikan), Al Afuww (Yang Maha Pemaaf), Ar Rauuf (Yang Maha Pengasuh), Al Mu’mi (Yang Maha Memberi Keamanan), Al Muhaimin (Yang Maha Pemelihara).

Sifat-sifat Allah lainnya tetap berada pada Tuhan Semesta Alam seperti Al Quddus (Yang Maha Suci), Al Mutakabbir (Yang Maha Megah, Yang Memiliki Kebesaran), al Khaliq (Yang Maha Pencipta), Al Baari (Yang Maha Melepaskan / Membuat, Membentuk, Menyeimbangkan), Al Mushawwir (Yang Maha Membentuk Rupa Makhluknya), Al Ghaffar (Yang Maha Pengampun), Al Wahhab (Yang Maha Pemberi Karunia), Ar Razzaq (Yang Maha Pemberi Rezki), Al Fattah (Yang Maha Pembuka Rahmat), Al Aliim (Yang Maha Mengetahui / Memiliki Ilmu), Al Qaabidh (Yang Maha Menyempitkan), Al Baasith (Yang Maha Melapangkan), Al Khaufidh (Yang Maha Merendahkan), Ar Raafi (Yang Maha Meninggikan), Al Mudzil (Yang Maha Menghinakan Makhluknya), Al Samii (Yang Maha Mendengar), Al Bashir (Yang Maha Melihat), Al Hakan (Yang Maha Menetapkan), Al Khabiir (Yang Maha Mengenal), Al Azhim (Yang Maha Agung), Al Ghafuur (Yang Maha Memberi Pengampunan), Al Aliy (Yang Maha Tinggi), Al Khabiir (Yang Maha Besar), Al Hafizh (Yang Maha Memelihara), Al Hasib (Yang Maha Membuat Perhitungan), Ar Raqiib (Yang Maha Mengawasi), Al Mujib (Yang Maha Mengabulkan), Al Waasi (Yang Maha Luas), Al Baaits (Yang Maha Membangkitkan), As Syahiid (Yang Maha Menyaksikan), Al Haqq (Yang Maha Benar), Al Wakiil (Yang Maha Memelihara), Al Waliyy (Yang Maha Melindungi), Al HAmiid (Yang Maha Terpuji), Al Muhsil (Yang Maha Mengalkulasi / Menghitung Segala Sesuatu), Al Mubdi’ (Yang Maha Memulai), Al Muiid (Yang Maha Mengembalikan Kehidupan), Al Muhyil (Yang Maha Menghidupkan), Al Mumiitu (Yang Maha Mematikan), Al Hayyu (Yang Maha Hidup), Al Waajid (Yang Maha Penemu), Al Wahid (Yang Maha Tunggal), Al Ahad (Yang Maha Esa), As Shamad (Yang Maha dibutuhkan, Tempat Meminta), Al Qaadir (Yang Maha Menentukan, Maha Menyeimbangkan), Al Muqtadir (Yang Maha Berkuasa) Al Muqqaddim (Yang Maha Mendahulukan), Al Mu’akkhir (Yang Maha Mengakhirkan), Al Awwal (Yang Maha Awal), Al Akhir (Yang Maha Akhir), Az Zhaahir (Yang Maha Nyata), Al Bathin (Yang Maha Gaib) Al Waali (Yang Maha Memerintah), Al Muta’aali (Yang Maha Tinggi) At Tawwab (Yang Maha Penerima Taubat), Al Muntaqim (Yang Maha Pemberi Balasan), Malikul Mulk (Yang Maha Penguasa Kerajaan), Dzul Jalaali Wal Ikraam (Yang Maha Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan), Al Muqsith (Yang Maha Pemberi Keadilan), Al Jamii (Yang Maha Pemberi Kekayaan), Al Maani (Yang Maha Mencegah), An Nafii (Yang Maha Memberi Manfaat), An Nuur (Yang Maha Bercahaya), Al Haadi (Yang Maha Pemberi Petunjuk), Al Badii’ (Yang Maha Pencipta Yang Tiada Bandingannya), Al Baaqii (Yang Maha Kekal), Ar Rasyid (Yang Maha Pandai), As Shabuur (Yang Maha Sabar).

Sifat-sifat feminin Allah yang diimplementasikan oleh Ratu Adil di dunia ini bersifat sementara saja. Kelak apabila waktunya telah tiba, sifat-sifat itu akan ditarik kembali oleh pemilik-Nya yakni Tuhan Semesta Alam. Pemerintahan Ratu Adil, oleh kalangan islam menyebut pemerintahan Isa Al Masih, kalangan kristen menyebut Kerajaan Allah di bawah kepemimpinan Yesus Kristus. Umat buddha menyebut Kepemimpinan Buddha Maitreya Yang Penuh Welas Asih. Kita tidak mengetahui dan tidak dapat memastikan kapan waktu terjadinya. Patut diduga waktunya sudah semakin dekat.

DAWUH RAJA

Setelah Sri Sultan HB X menyampaikan Sabda Raja maka lima hari kemudian tepatnya tanggal 5-5-2015 Sri Sultan menyampaikan Dawuh (perintah) Raja: “Saudara semua, saksikanlah saya Sampean Dalem Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kesepuluh Surya ning Mataram, Senopati Toto Panotogomo mendapat perintah untuk menetapkan Putri saya Gusti Kanjeng Ratu Pembayun menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuming Bawono Langgeng ing Mataram. Mengertilah, begitulah perintah saya.”

Meskipun tidak diakui oleh Sultan, akan tetapi di kalangan internal keluarga terutama oleh adik-adiknya menganggap Sultan telah mengangkat putri sulungnya sebagai pewaris takhta kerajaan. GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram adalah calon RATU Yogyakarta. Seyogyanya kita bisa menangkap aroma misteri yang terdapat di dalam Dawuh Raja. Jika Sabda Raja berhubungan dengan kemunculan SATRIA sebagaimana argumentasi yang telah kami kemukakan di atas maka dipastikan Dawuh Raja berhubungan dengan kemunculan RATU ADIL. Ramalan tentang kemunculan Satria telah ditulis oleh Raja Kediri Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttnggadewa (1135-1159) yang dikenal dengan ramalan Jangka Jayabhaya. Ada pun ramalan tentang kemunculan RATU ADIL, telah disampaikan oleh raja Pajajaran Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi (1482-1521) yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi.

Uga yaitu ketentuan takdir yang dilahirkan dalam bahasa perlambangan yang harus ditafsirkan dengan tepat. Selain aspek simbolis (perlambangan) dalam uga terkandung unsur waktu. Dalam tradisi Sunda ada ungkapan: “Geus nepi kanan ugana, geus nepi kanan waktu anu ditujum ku karuhan” (sudah sampai pada uganya, sudah tiba pada saat yang diramalkan leluhurnya). Ini menunjukkan bahwa dalam ramalan berbentuk uga, faktor waktu merupakan sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan. Akan tetapi, unsur waktu yang terkandung dalam uga bersifat tidak pasti; artinya, bisa terjadi kapan saja, besok atau lusa, tahun depan atau mungkin tidak pernah terjadi. Contoh uga yang ringkas dan populer “Bandung heurin ku tangtung” (Bandung penuh sesak dengan bangunan). Sebuah kondisi yang diramalkan karuhun Sunda zaman dahulu dan kurang lebih telah terbukti terjadi sekarang dengan berbagai konsekuensinya.

Terjemahan bebas Uga Wangsit Siliwangi.

Prabu Siliwangi berpesan pada warga Pajajaran yang ikut mundur pada waktu beliau sebelum menghilang :
“Perjalanan kita hanya sampai di sini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup ke depan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untuk ku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”

Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!

Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!

Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh ke belakang!

Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Ada pun yang menjadi penguasa tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah!

Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong dan bahkan berlebihan kalau bicara.

Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di ujung sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu, datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.

Dengarkan! Yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.

Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!

Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. Mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.

Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.

Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.

Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah.  Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.

Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan kepenjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.

Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.

Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!

Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.

Tapi ratu siapa? Dari mana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian anak gembala.

Wangsit Siliwangi artinya pesan (amanat) gaib dari Siliwangi. Oleh karena Wangsit tidak memastikan “waktu” kejadiannya maka ditempatkanlah kata “Uga” di depan frasa wangsit Siliwangi. Prabu Siliwangi semasa hidupnya tidak pernah menulis Uga Wangsit Siliwangi, akan tetapi Prabu Siliwangi pernah menyampaikan pesan / amanat gaib (wangsit) kepada seseorang dan orang itu menambahkan kata Uga. Uga adalah ramalan yang diberikan oleh karuhun (leluhur), mengenai apa yang akan terjadi di kemudian hari. Di kalangan islam dan kristen, “uga” dikenal dengan sebutan nubuwwah atau nubuat.

Uga Wangsit Siliwangi ini pernah ada yang menulisnya tahun 1901 dan pernah diteliti oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Balai Jarahnitra) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan wilayah Jawa Barat, Banten dan Lampung yang mengatakan bahwa uga ini sebagai dasar ramalan pada waktu Prabu Siliwangi “tilem” (moksa) yang diakui dilakukan di lingkup Jawa Barat. Uga wangsit Siliwangi diakui kebenarannya sebagaimana halnya banyak juga mengakui kebenaran ramalan Jayabaya.

Uga sangat susah ditafsirkan karena banyak menggunakan bahasa perlambangan dengan aspek-aspek berdimensi waktu. Lebih rumit lagi bila uga yang didasari oleh pesan gaib (wangsit) oleh karena apa yang disampaikan dalam wangsit kadang bertentangan dengan fakta sejarah. Banyak peneliti yang menafsirkan uga wangsit Siliwangi “terjebak” dengan retorika bahasa yang mengandung “mistik” sehingga Penafsirannya cenderung tidak akurat bahkan mengada-ada.

Penafsiran Cakra Ningrat terhadap uga wangsit Siliwangi berikut ini tentu saja memiliki perbedaan dengan tafsiran yang sudah ada. Meskipun uga didasari oleh wangsit yang beraroma “mistik” akan tetapi hal-hal mistik tersebut akan dikesampingkan agar penafsiran Cakra Ningrat dapat diterima oleh semua kalangan karena didasari oleh pemikiran yang rasional, objektif, berdasarkan fakta sejarah dan mudah dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Bismillahirrahmanirrahim

“Perjalanan kita hanya sampai di sini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku! Tapi aku tidak boleh membawa kalian dalam masalah ini, membuat kalian susah, ikut merasakan miskin dan lapar. Kalian boleh memilih untuk hidup ke depan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini tapi Pajajaran yang baru yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! aku tidak akan melarang, sebab untuk ku, tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”

Alinea di atas adalah alinea pembuka. Siapa pun yang membacanya akan berasumsi bahwa Prabu Siliwangi dalam keadaan berperang di mana Prabu Siliwangi dan pasukannya telah dipukul mundur oleh musuh-musuhnya yang menyebabkan kerajaan Pajajaran runtuh. Asumsi itu jelas keliru karena bertentangan dengan fakta sejarah. Sejarah mencatat di masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, Kerajaan Pajajaran mencapai puncak kejayaannya. Dalam cerita parahyangan pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan. “Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat, dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang yang banyak serakah akan ajaran agama.” Dari naskah ini dapat diketahui bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (islam) dengan meninggalkan agama lama.

Cakra Ningrat menafsirkan kalimat “perjalanan kita hanya sampai di sini hari ini, walaupun kalian semua setia padaku!” bermakna perjalanan usia atau waktu (masa) kerajaan Pajajaran yang sudah berakhir sampai di sini walaupun rakyat Pajajaran masih setia. Prabu tidak ingin rakyat merasa susah, miskin, dan lapar. Prabu berprinsip tidak pantas ada raja di Pajajaran jika rakyatnya lapar dan miskin. Karena itu Pajajaran harus dihancurkan agar tidak ada lagi yang menjadi raja di Kerajaan Pajajaran.

Cakra Ningrat berpandangan; yang menghancurkan kerajaan Pajajaran adalah Prabu Siliwangi sendiri. Saat beliau menjadi Raja Pajajaran seluruh rakyatnya hidup sejahtera, akan tetapi setelah beliau mangkat (meninggal dunia) dan beliau digantikan oleh anak keturunannya menjadi raja Pajajaran ternyata rakyat susah, miskin, dan lapar.

Sri Baduga Maharaja Ratu Jayadewata Siliwangi, diganti oleh putranya Surawisesa dari istrinya Kentringmanik Mayang Sunda. Surawisesa menjadi raja Pajajaran selama 14 tahun (1521-1535). Ia dipuji dalam cerita Parahyangan dengan sebutan “Kasuran” (perwira) “Kadiran” (perkasa), dan “Kuwanen” (pemberani). Selama 14 tahun pemerintahannya, ia memimpin pertempuran sebanyak 15 kali. Surawisesa diganti oleh putranya Ratu Dewata (1535-1543). Ratu Dewata orangnya sangat alim dan taat dalam agama (hindu). Ia suka melakukan tapa pwah susu yaitu hanya memakan buah-buahan dan minum susu. Menurut norma kehidupan, sikap Ratu Dewata yang alim dan taat bertapa dianggap tidak tepat. Karena raja harus “memerintah dengan baik.” Dalam cerita Parahyangan, Ratu Dewata dicela dengan sindiran “Nya Iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasan” (Maka berhati-hatilah yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa). Penulis cerita Parahyangan melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek “Samangkana ta precinta” (begitulah zaman susah).

Cakra Ningrat berpandangan; wangsit (pesan gaib) Siliwangi bermula di era kepemimpinan Ratu Dewata. Prabu Siliwangi tidak suka melihat sifat, cara, dan perilaku Ratu Dewata yang lebih mengutamakan kealiman dengan selalu melakukan puasa dan tapa brata. Sikap seperti ini dipandang sebagai sifat mementingkan diri sendiri. Dampaknya akan berimbas kepada rakyat karena rakyat sudah tidak terurus kesejahteraan, keamanan, dan kehidupannya dengan baik. Prabu Siliwangi berkata: “sebab untukku,” (maksudnya prinsip Prabu Siliwangi yang mendasari keputusannya) Ratu Dewata “tidak pantas jadi raja yang rakyatnya lapar dan miskin.”

Karena Prabu Siliwangi sudah memutuskan untuk menghancurkan kerajaan Pajajaran, maka terjadilah serangan mendadak ke ibu kota Pakuan. Menurut cerita Parahyangan, serangan musuh “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya). Serangan mendadak ini belum mampu menembus gerbang ibu kota Pakuan. Di masa kepemimpinan Ratu Dewata, perang sudah mulai berkecamuk. Ratu Dewata diganti oleh putranya Ratu Sakti (1543-1551), lalu Ratu Sakti diganti oleh putranya Ratu Nilakendra (1551-1567) dan terakhir Ratu Nilakendra digantikan oleh putranya Raga Mulya yang dikenal sebagai Prabu Surya Kencana (1567-1579) selaku raja terakhir Pajajaran yang memerintah di Pandeglang. Pakuan Pajajaran hancur, rata dengan tanah tahun 1579 akibat serangan Kesultanan Banten. Berakhirnya kerajaan Sunda (Pajajaran) ditandai dengan diboyongnya Palangka Sreman Sriwacana (Singgasana Raja) dari Pakuan Pajajaran ke keraton Surosoan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20cm diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi ada penobatan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah putri Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi.

Dalam wangsit (pesan gaib) Siliwangi pada alinea keenam dikatakan:

“Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong dan bahkan berlebihan kalau bicara.”

Kalimat di atas mengandung makna yang mendalam bahwa ada suatu “misteri” yang sengaja disembunyikan oleh Prabu Siliwangi berkaitan dengan kehancuran Kerajaan Pajajaran yang sengaja “ditutupi” oleh Siliwangi. Jika ada yang berusaha menelusuri kehancuran Pajajaran dan memberi kesimpulan, mereka dianggap oleh Siliwangi sebagai orang yang sok pintar dan sombong dan bahkan dianggap berlebihan kalau bicara.

Cakra Ningrat berpandangan; Yang menyebabkan hancurnya kerajaan Pajajaran adalah Prabu Siliwangi sendiri. Prabu Siliwangi tidak suka kepada cucunya Ratu Dewata yang membiarkan rakyat susah, miskin, dan lapar. Karena itu Prabu Siliwangi yang menghendaki “penyerangan” adalah kehadiran “tambuh sangkane” yakni pasukan yang tidak dikenal asal-usulnya yang datang secara tiba-tiba dan melakukan penyergapan.

Menurut sejarah, Prabu Siliwangi mempunyai beberapa istri di antaranya permaisuri Dewi Kentringmanik Mayang Sunda anak dari Prabu Susuktunggal. Dari perkawinan ini, ia mempunyai seorang anak bernama Surawisesa dan Surawisesa memperanakkan Ratu Dewata. Istri kedua Prabu Siliwangi adalah Nyi Subanglarang yang beragama islam anak dari Ki Gedeng Tapa yang lebih dikenal Syekh Qura atau juga Syekh Hasanuddin. Dari hasil perkawinannya dengan Nyi Subang Larang, ia dikaruniai 3 orang anak yaitu Raden Walang Sungsang (Pangeran Cakra Buana, pendiri Kerajaan Cirebon), Nyi Mas Rara Santang (ibu dari Syarif Hidayatullah / Sunan Gunung Jati) dan Raden Kian Santang (Syekh Sunan Rahmat). Ketiga anak Prabu Siliwangi semua beragama islam mengikuti ibunya. Syarif Hidayatullah / Sunan Gunung Jati memiliki putra bernama Maulana Hasanuddin bergelar Pangeran Sabukingkin (Pendiri Kesultanan Banten) memerintah 1552-1570. Ia diganti oleh putranya Maulana Yusuf (1570-1585).

Berdasarkan silsilah di atas kita dapat menarik simpul kusut benang merah dan menggarisbawahi apa keinginan dan kehendak Prabu Siliwangi terhadap anak keturunannya yaitu:

  1. Prabu Siliwangi ingin meruntuhkan Kerajaaan Pajajaran karena keturunan beliau dari istrinya Dewi Krintingmanik dianggap telah membuat rakyat susah, miskin, dan lapar.
  2. Prabu Siliwangi ingin memunculkan anak keturunannya dari istri keduanya Nyi Subanglarang yang beragama islam dengan mengorbankan Kerajaan Pajajaran dari keturunannya yang beragama hindu.
  3. Prabu Siliwangi memiliki peran penting dalam pengembangan agama islam di tataran Sunda oleh karena Kesultanan Banten adalah keturunan Prabu Siliwangi dari anak perempuannya Nyi Mas Rara Santang dan Kesultanan Cirebon dari keturunan anak laki-lakinya Raden Wulangsungsang. Sejarah mencatat islamisasi di Jawa Barat dan Lampung dilakukan oleh dua kesultanan ini.

Setelah menghancurkan kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi membagi rakyat Pajajaran dalam empat kelompok sebagaimana wangsitnya berikut ini:

Kutipan alinea II

“Dengarkan! Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan! Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara! Yang ingin berbakti kepada raja yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur! Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!”

Cakra Ningrat berpandangan; rakyat yang ingin tetap ikut dengan Prabu Siliwangi adalah rakyat yang ingin tetap mempertahankan keyakinannya dalam keyakinan agama hindu sebagai sebuah kebenaran. Untuk menghormati jasa-jasa Prabu Siliwangi, di lereng gunung Salak di dekat lokasi ibu kota Pakuan Pajajaran di Bogor telah dibangun Pura Parahyangan Agung Jagatkarta (Alam Dewata Suci Sempurna) tahun 1995. Dapat disimpulkan wangsit Siliwangi masih tetap relevan dan aktual hingga saat ini.

Kutipan alinea III

“Dengarkan! Kalian yang di timur harus tahu: Kekuasaan akan turut dengan kalian! dan keturunan kalian nanti yang akan memerintah saudara kalian dan orang lain. Tapi kalian harus ingat, nanti mereka akan memerintah dengan semena-mena. Akan ada pembalasan untuk semua itu. Silahkan pergi!”

Cakra Ningrat menafsirkan; Yang berada di kelompok Timur adalah mereka yang keturunannya melahirkan penguasa-penguasa yang akan memerintah. Kedudukan mereka bisa sebagai presiden, gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, anggota DPR, DPRD Tk I dan II, kepala Kepolisian, Komandan Tentara, dsb. Mereka ini akan memerintah dengan semena-mena. Memerintah dengan semena-mena menurut Prabu Siliwangi adalah pemerintahan yang membuat rakyat susah, miskin, dan lapar. Terhadap yang memerintah dengan semena-mena akan ada pembalasan dari Prabu Siliwangi. Dapat disimpulkan wangsit Siliwangi masih berlaku hingga saat ini.

Kutipan alinea V

“Kalian yang di sebelah utara! Dengarkan! Kota takkan pernah kalian datangi, yang kalian temui hanya padang yang perlu diolah. Keturunan kalian, kebanyakan akan menjadi rakyat biasa. Ada pun yang menjadi penguasa tetap tidak mempunyai kekuasaan. Suatu hari nanti akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah!”

Cakra Ningrat menafsirkan; yang berada di sebelah utara adalah kelompok rakyat biasa seperti petani dan buruh pekerja. Kalau pun ada yang menjadi penguasa tetapi tidak mempunyai kekuasaan misalnya guru, PNS, karyawan swasta, pedagang, pengusaha, dsb. Suatu hari nanti kelompok ini akan kedatangan tamu, banyak tamu dari jauh, tapi tamu yang menyusahkan. Waspadalah! Mungkin tamu dari jauh yang akan datang tapi menyusahkan adalah arwah-arwah para leluhur yang bangkit. Dapat disimpulkan bahwa wangsit Prabu Siliwangi untuk kelompok utara masih berlaku hingga saat ini.

Kutipan alinea IV

“Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh ke belakang!”

Cakra Ningrat menafsirkan; Ki Santang Prabu Kiansantang Raden Sangara atau Syech Sunan Rahmat Suci, putra Prabu Siliwangi dari istrinya Nyi Subang Larang. Yang masuk dalam kelompok barat adalah semua orang yang beragama islam termasuk di daerah (provinsi) lain senusantara. Kepada seluruh umat islam, Prabu Siliwangi mengingatkan “suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya.

Cakra Ningrat berpandangan yang dimaksud dengan gunung Halimun adalah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) yaitu taman nasional yang terletak di Jawa Barat berdasarkan SK Mentri Kehutanan No. 175/Kpts-11/2003 Tahun 2003. Kawasan konservasi dengan luas 113 ribu hektar lebih menjadi penting karena melindungi hutan hujan dataran rendah yang terluas di daerah ini dan sebagai wilayah tangkapan air melingkupi wilayah yang bergunung-gunung, dua puncaknya yang tertinggi adalah Gunung Halimun (1.929m) dan Gunung Salak (2.211m).

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak memiliki topografi antara 500-2.211M dpl. Puncak-puncak di antaranya Gunung Halimun Utara (1.929m), G. Ciawitali (1.530m), G. Kencana (1.831m), G. Botal (1.850m), G. Sanggabuana (1.920m) G. Kendeng Selatan (1.680m), G. Halimun Selatan (1.758m), G. Endut (1.471m), G. Sumbul (1.926m) (1.926m) dan G. Salak (puncak 1 ketinggian 2.211m dan puncak 2 setinggi 2.180m). Jajaran puncak-puncak gunung ini acapkali diselimuti kabut maka dinamai Halimun. Kabut (bahasa Sunda) disebut Halimun.

Suara minta tolong dari Gunung Halimun ditafsirkan sebagai suara minta tolong dari Gunung Salak termasuk Gunung Halimun (berkabut) dalam satu kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Dengan demikian kita dapat memastikan “Suara minta tolong” yang dimaksudkan oleh Prabu Siliwangi adalah suara minta tolong dari manusia yang berada di dalam pesawat Sukhoi Super Jet 100 yang ikut dalam rombongan penerbangan riang (Joy Flight) kemudian menabrak tebing puncak Gunung Salak. Kecelakaan itu terjadi pada tanggal 09 Mei 2012 yang menyebabkan 45 orang tewas seketika. Pesawat itu memiliki teknologi yang super canggih dan dipiloti senior Aleksander Yablonster, sehingga tidak mungkin disebut human error. Peneliti KNKT dan Sukhoi menemukan keanehan ternyata radar pesawat canggih itu tidak mendeteksi (menangkap) gambar Gunung Salak yang ada di depannya, karena itu pilot tidak menaikkan ketinggian pesawat sekali pun telah diperintahkan oleh menara kontrol.

Cakra Ningrat berpandangan; keanehan itu disebabkan oleh karena Prabu Siliwangi sudah ingin memunculkan kebenaran wangsit (pesan gaib)nya. Pertanyaannya sekarang adalah; apakah umat islam dan kita semua dapat memahami bahwa kecelakaan pesawat Sukhoi di Gunung Salak pada tanggal 9 Mei 2012 merupakan “tanda” dari Prabu Siliwangi? Peristiwa di Gunung Salak (Halimun) adalah tanda bahwa “Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné.” Pertanyaannya; siapa yang mau menikah di Lebak Cawéné? Menikah (nikah) artinya terkumpul dan menyatu. Pertanyaannya siapa yang terkumpul dan menyatu di Lebak Cawéné?

Lebak (bahasa Indonesia) artinya; tempat air yang tergenang dan di dalamnya terdapat lumpur yang dalam.

Cawéné (bahasa Sunda) artinya; perawan muda, adalah sebutan untuk anak perempuan yang tengah memasuki usia akil-balig (virgin) dan tentunya belum menikah, belum pernah di sentuh oleh laki-laki. Lebak Cawene dapat diartikan sebagai tempat air yang tergenang dan di dalamnya terdapat lumpur yang dalam, yang belum pernah disentuh dan diketahui oleh manusia. Pertanyaannya; Siapa yang terkumpul dan menyatu di tempat itu? Kita akan mengkritisi bagaimana akhir dari wangsit siliwangi ini.

KESAKSIAN

Kutipan alinea VI

“Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian. Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong dan bahkan berlebihan kalau bicara.”

Cakra Ningrat tidak akan memberi pandangan atau memberi penafsiran terhadap alinea 6 di atas, sebab akan memberi kesaksian tentang kebenaran perkataan Prabu Siliwangi sebagaimana yang dimaksudkan dalam alinea 6 tersebut. Kesaksian itu disampaikan secara kronologis, sistematis, apa adanya sebagai berikut:

1. Pada hari Jumat, tanggal 8 Mei 2015 jam 17:00 WIB. Saya menyaksikan dan mendengar penjelasan Sri Sultan HB kesepuluh berkaitan dengan Sabda Raja dan Dawuh Raja yang disiarkan secara live oleh MetroTV dan TVOne. Saya menyimaknya dengan penuh kesungguhan, keseriusan, dan kehati-hatian seluruh penjelasan Raja dan saya terkesima dengan perkataan raja saat menyebut “lir gumanti” (zaman berganti). Seketika ingatan saya langsung tertuju pada Uga Wangsit Siliwangi yang isinya beberapa kali menyebut “mereka tidak sadar, zaman sudah berganti lagi.” Sebagai orang yang “sadar” dan “tercerahkan”; saya mengambil hikmah dan memetik pelajaran bahwa sabda raja dan Dawuh Raja adalah tanda penting untuk mengingatkan diri saya pribadi bahwa zaman sudah berganti lagi. Setelah mendapat penjelasan Sri Sultan, saya pergi berolah raga. Saya rutin bermain badminton setiap Selasa malam dan Jumat malam untuk menjaga kesehatan.

2. Pada hari Sabtu tanggal 9 Mei 2015, saat saya menyeruput kopi panas dan membaca koran pagi, saya teringat kembali dengan kesimpulan yang saya ambil tadi malam bahwa zaman telah berganti lagi. Saat itu terbesit di hati saya untuk menulis artikel guna mengingatkan orang-orang (pembaca) yang mau “sadar” kalau zaman sudah berganti. Saya menetapkan judul artikel sama dengan kesimpulan saya yaitu; Sabda Raja dan Uga Wangsit Siliwangi Dalam Perspektif Waktu. Saya sengaja menambahkan frasa “dalam perspektif waktu” agar pembaca dapat menangkap pikiran saya tentang zaman yang sudah berganti dari sudut pandang waktu.

3. Terdorong oleh keinginan yang begitu besar untuk menulis, meskipun hari Sabtu, saya tetap berangkat ke kantor. Saya memiliki kebiasaan “menulis” bila berada di kantor karena bisa konsentrasi dan merasa nyaman berada di ruangan yang sejuk. Saat saya mulai mengembangkan alur pikiran dalam mengembangkan tema tulisan, saya baru menyadari kalau saya tidak memiliki pengetahuan sedikit pun tentang Uga Wangsit Siliwangi. Saya berusaha mencari dan membaca tulisan-tulisan tentang Uga Wangsit Siliwangi di internet tapi saya menilai semua salah dan keliru dalam menafsirkan. Oleh karena saya juga tidak mengetahui apa yang “sebenarnya” maka terpaksa saya urungkan niat untuk menulis. Bagi saya itu adalah pilihan yang paling bijak daripada menyampaikan suatu pemikiran yang diragukan kebenarannya.

4. Jam 22:00 malam, saya beranjak ke tempat tidur. Kebiasaan saya menggunakan celana pendek, baju kaos dan tidur dengan kepala ke arah barat. Saat sudah tertidur lelap, tiba-tiba pikiran saya “tersadar.” Dalam keadaan mata terpejam, saya “melihat” dalam (penglihatan gaib) ada selembar handuk berwarna cokelat tua terbuka melintang menutupi betis saya. Handuk itu seperti handuk milik saya yang sering saya gunakan. Pikiran saya mengingatkan kalau handuk saya ada di sampiran handuk. Masih dalam keadaan mata terpejam saya melihat dalam (penglihatan gaib) handuk itu ditarik “hilang” begitu saja. Saya terkejut lalu membuka mata saya dan ternyata memang saya tidak melihat handuk. Pikiran saya mengingatkan dan meyakinkan kalau tadi saya melihat ada handuk yang terbuka melintang menutupi betis saya lalu handuk itu tertarik dan menghilang. Seketika saya merasa ada “getaran gaib” sebuah getaran yang sangat “khas” menandakan adanya kontak gaib dalam peristiwa gaib yang berlangsung sangat cepat. Peristiwa itu hanya berlangsung 1-2 menit. Saat itu ada suara dari dalam diri saya yang menyebut dua kata yakni PRABU SILIWANGI.

Sesaat setelah peristiwa gaib itu, saya duduk termenung di sisi ranjang, saya berujar dalam hati “… apalah arti diri ini, kenapa Sang Prabu harus datang mengunjungi saya. Untuk apa dan untuk tujuan apa, saya juga tidak tahu. Saya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa tapi saya bisa berkata ”Benar, jika Prabu Siliwangi datang mengunjungiku, dia tidak berupa dan bersuara.” Saya juga akan mengatakan kalau saya tidak mencium aroma wewangian. Setelah itu saya kembali melanjutkan tidur saya hingga pagi hari.

5. Minggu tanggal 10 Mei 2015, saat makan malam bersama keluarga, saya menceritakan kepada istri dan anak-anak saya peristiwa gaib yang saya alami, kepada mereka saya katakan; “saya merasa perlu menceritakan kepada kalian peristiwa gaib ini, sebab sangat penting artinya buat saya dan saya akan menulisnya biar orang lain mengetahuinya. Saya tidak ingin kalian bertanya-tanya karena itu saya ceritakan kepada kalian terlebih dahulu agar Sang Prabu mengetahui kalau saya melaksanakan apa yang sepatutnya saya lakukan.”

6. Handuk cokelat yang melintang dan menutupi betis saya, saya anggap sebagai “tutupan.” Tutupan itulah yang selama ini menutupi Uga Wangsit Siliwangi sehingga UWS terjaga kesuciannya. Tutupan itu jugalah yang menjadi penyebab sehinga orang-orang sulit menafsirkan UWS secara akurat dan benar. Ketika tutupan itu dihempaskan oleh yang menutupinya, maka muncullah kebenaran Prabu Siliwangi sebagaimana wangsitnya dan pesan-pesan gaib UWS.

7. Saat saya menuliskan / menafsirkan alinea 4, saya baru menyadari bahwa ternyata tepat tiga tahun setelah terdengar suara minta tolong dari Gunung Halimun (kecelakaan Sukhoi) tanggal 9 Mei 2012 memiliki tanggal dan bulan yang sama dengan kunjungan Prabu Siliwangi kepada saya 9 Mei 2015 malam. Ini bukan suatu kebetulan tapi fakta dari sebuah “kebenaran” yang bersumber dari pesan gaib atau wangsit. Maka persiapkanlah diri kalian karena: “kalian dipanggil oleh yang mau menikah di lebak Cawene. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh ke belakang.”

ANAK GEMBALA (BUDAK ANGON)

Kutipan alinea VII

“Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus-menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. Rumahnya di ujung sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu, datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”

Budak (bahasa Sunda) artinya seorang anak manusia yang belum memiliki pola pikir dewasa atau masih kekanak-kanakan atau bocah, Angon (bahasa Indonesia) artinya gembala. Budak Angon diartikan sebagai Anak Gembala. Prabu Siliwangi dalam Wangsitnya menyampaikan pesan akan munculnya seorang Anak Gembala (Budak Angon). Sebutan Anak Gembala didasari oleh latar belakang agama yang diyakini oleh Prabu. Dalam keyakinan agama hindu, Dewa Krisna memiliki banyak julukan di antaranya Gopala (pengembala sekaligus pelindung sapi-sapi), Gowinda (pengembala sapi), Govinda (pengembala ilahi). Sebutan Anak Gembala dipandang sebagai perwujudan kepribadian Dewa Krisna. Julukan yang diberikan oleh Prabu Siliwangi relevan dengan apa yang diramalkan Prabu Jayabaya “berbadan manusia, berparas seperti Bathara Kresna.”

Dalam tradisi hindu, Dewa Krisna dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak atau perwujudan Tuhan itu sendiri. Dewa Krisna dianggap sebagai manifestasi dari kepribadian Tuhan YME. Prabu Siliwangi menggambarkan sosok yang super luar biasa itu dengan mengatakan “ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah anak gembala.” Dialah Dewa berbadan manusia. Dialah pemilik kebenaran mutlak. Dialah manifestasi dari kepribadian Brahman. Dia khalifah Tuhan di muka bumi. Dialah pembawa sifat-sifat (kepribadian) Allah, Tuhan Semesta Alam.

Anak Gembala itu ada di tengah-tengah kita. Dia hidup bersama kita di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prabu Siliwangi mengatakan “ rumahnya di ujung sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang.”

Yang dimaksud dengan ujung sungai atau belakang sungai adalah muara. Muara diartikan sebagai tempat berakhirnya aliran sungai di laut. Air sungai rasanya segar dan tawar, sedangkan air laut rasanya asin dan pahit. Alquran menggambarkan “muara” atau ujung sungai dengan firman-Nya

“Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” (QS 25:53)

” Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.” (QS 55:19-20).

Prabu Siliwangi mengatakan rumah Anak Gembala itu di ujung sungai atau di muara (pertemuan dua buah laut). Siapakah Anak Gembala itu? Anak Gembala itu adalah Khidr. Dapat dilihat dalam Alquran Surah 18:60-82. Kisah Khidr dalam tradisi hindu, Khidr dikenal dengan nama Dewa Wisnu. Khidr selalu identik dengan lautan sebagaimana Dewa Wisnu yang disebut berbaring di dalam lautan penyebab.

Alquran menyebut Khidr (Dewa Wisnu) sebagai: seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (QS 18:65). Dalam agama hindu, Dewa Wisnu (Khidr) disebut sebagai Dewa Pemelihara yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman (Tuhan YME). Ia dipandang sebagai Roh Suci sekaligus Dewa yang tertinggi, sebagai manifestasi Brahman dan enggan dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman. Dalam purana, Dewa Wisnu menjelma sebagai Awatara yang turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan dan kehancuran. Awatara yang umum dikenal oleh umat hindu berjumlah sepuluh yang disebut Dasa Awatara atau Maha Avatar. Dewa Krisna (Sang Pengembala) merupakan penjelmaan Dewa Wisnu yang kedelapan, Anak Gembala yang dimaksud oleh Prabu Siliwangi adalah penjelmaan kesepuluh Dewa Wisnu yang dikenal sebagai Kalki yang juga merupakan penjelmaan terakhir Dewa Wisnu.

Prabu Siliwangi mengatakan “pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang.” Pintu adalah lubang untuk berjalan masuk dan keluar. Lubang untuk jalan masuk dan keluar (pintu) itu setinggi batu. Dinding batu itu tertutupi oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Oleh karena dinding batu itu tertutupi atau terhalangi oleh pohon handeuleum dan hanjuang maka dapat dipastikan tidak akan ada orang yang dapat mengetahui bahwa dinding batu itu sesungguhnya adalah lubang yang merupakan jalan keluar-masuk atau pintu yang biasa dilalui oleh Anak Gembala. Dinding batu itu sesuai dengan firman Tuhan “dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi” (QS 25:53).

Apa yang digembalakan oleh Anak Gembala? “Bukan kerbau, bukan domba, bukan pula harimau atau banteng, tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon.” Ranting adalah bagian cabang yang kecil-kecil tempat menempelnya daun. Daun adalah tempat terjadinya proses fotosintesis, daun mengeluarkan O2 yang berguna untuk proses pernafasan makhluk hidup. Oleh karena Prabu Siliwangi menyebut “ranting daun kering” maka kita dapat memastikan bahwa ranting  daun yang sudah mati atau ranting yang sudah tidak berguna lagi. Ranting daun itu pernah hidup oleh karena sudah kering maka diartikan sudah mati. Seluruh manusia yang sudah mati (ranting daun kering) berada di suatu alam yang disebut alam gaib. Dalam tradisi islam, alam gaib ini disebut alam kubur atau alam barzakh. Gaib artinya tidak kelihatan; tersembunyi. Manusia yang ada sekarang ini dapat hidup di dunia nyata ini disebabkan karena adanya kehidupan manusia sebelumnya. Secara vertikal kita dapat menarik garis antara manusia yang hidup sekarang dan manusia yang hidup sebelumnya dengan menyebutnya sebagai silsilah keturunan. Pengetahuan manusia terhadap silsilah keturunannya tentu sangat terbatas dan tidak mungkin bisa menyentuh sumber utama manusia yang pertama. Silsilah keturunan disebut juga “pohon keluarga.” Terhadap keluarga yang sudah mati diistilahkan oleh Prabu Siliwangi sebagai “ranting daun kering” dan keturunannya yang masih hidup diberi istilah “sisa potongan pohon.”

Cakra Ningrat berpandangan; yang diurus atau yang digembalakan Anak Gembala adalah seluruh leluhur manusia yang sudah mati (ranting daun kering) yang berada di alam gaib dan manusia yang hidup saat ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan leluhurnya (sisa potongan pohon). Mengurus leluhur di alam gaib dan mengurus manusia di alam nyata dapat berarti mengurus dua alam yakni alam gaib dan alam nyata. Antara alam gaib dan alam nyata terdapat dinding pembatas sebagai yang menghalanginya. Di dalam dinding pembatas itu terdapat lubang untuk jalan masuk dan jalan keluar  atau “pintu” masuk ke alam gaib dan “pintu keluar ke alam nyata atau “pintu” khusus Anak Gembala untuk berpindah-pindah di dua alam tersebut.

Prabu Siliwangi menyatakan “dia terus mencari, mengumpulkan, semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesainya zaman yang satu datang lagi satu zaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap zaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.” Tentu kita semua dapat membayangkan, betapa lelahnya Sang Anak Gembala. Dia harus menapaktilasi seluruh sejarah dan peradaban umat manusia dari manusia awal hingga yang hidup saat ini. Dari kehidupan Sidharta Gautama sampai dengan umat budha yang hidup saat ini, dari kehidupan Yesus Kristus (Isa Almasih) sampai dengan umat kristen yang hidup di dunia saat ini, tegasnya Sang Anak Gembala mengetahui seluruh garis leluhur kita, manusia yang hidup di dunia ini  saat ini.

Sungguh sangat logis dan masuk akal jika Prabu Jayabaya memberi penggambaran kepada kita tentang Anak Gembala kalau Sang Anak Gembala itu “pandai meramal seperti Dewa, seolah-olah lahir di waktu yang sama, tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati, bijak, cermat dan sakti, mengerti sebelum sesuatu terjadi, mengetahui leluhur anda, memahami putaran roda zaman Jawa, mengerti garis hidup setiap umat, tidak khawatir tertelan zaman.” (Bait 167).

KEKUASAAN PARA PENGUASA

Kutipan alinea VIII

“Dengarkan! Yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu. Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.”

Prabu Siliwangi memberi penekanan dengan perkataan “Dengarkan! Yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu.” Penekanan ini sangat penting artinya buat kita karena dari penekanan itu kita dapat memperkirakan waktu atau saat pertama kali Prabu Siliwangi menyampaikan pesan gaib (wangsit)nya.

Jayadewata, Sri Baduga Maha Raja, Prabu Siliwangi berkuasa tahun 1482-1521. Pada tahun 1513 Jayadewata menandatangani perjanjian antara Pajajaran dan Portugis. Portugis diizinkan untuk membangun Sunda Kelapa Prasasti Perjanjian Kerajaan Sunda Pajajaran-Portugis di suatu tempat yang saat ini menjadi sudut jalan Cengkeh dan jalan Kali besar timur I Jakarta Barat. Tahun 1521, Sunan Gunung Jati meninggalkan Cirebon menuju Mekah.  Tahun 1521 Prabu Siliwangi meninggal dunia. Ia disebut secara anumerta Sang Lumaling (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia moksa dan ia dipusarakan di Rancamaya. Selanjutnya Pajajaran diperintah oleh Prabu Surawisesa (1521-1535). Tahun 1522, Kerajaan Pajajaran yang masih beragama hindu meminta bantuan Portugis untuk menghadapi kemungkinan serangan Demak yang muslim. Tahun 1523, Sunan Gunung Jati dari Mekah kembali ke Cirebon dan menetap di Demak, menikahi saudara perempuan Sultan Trenggono.

Tahun 1524 Gunung Jati dari Cirebon dan anaknya Maulana Hasanuddin (di Banten) melakukan dakwah secara terbuka dan rahasia di Jawa Barat untuk memperlemah Kerajaan Pajajaran dan persekutuannya dengan Portugis. Pemerintah lokal di Banten yang tadinya tergantung pada Pajajaran, masuk islam dan bergabung dengan pihak Cirebon dan pihak Demak. Tahun 1527, Cirebon dibantu Demak menduduki Sunda Kelapa, pelabuhan Kerajaan Sunda Pajajaran. Para penjaga keamanan pelabuhan Kerajaan Sunda didorong mundur meninggalkan daerah pesisir. Fatahillah pimpinan armada Demak kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang artinya kemenangan besar, yang kemudian menjadi Jakarta. Dengan demikian pembangunan gudang atau benteng sesuai perjanjian antara Portugis dan Pajajaran batal terwujud.

Tahun1552, Hasanuddin memisahkan diri dari Demak dan mendirikan kesultanan Banten. Tahun 1570, Maulana Yusuf menjadi Sultan Banten. Tahun 1579, Banten meluluhlantahkan Pajajaran merebut sisa-sisa kerajaan Sunda dan menjadikannya islam. Runtuhnya kerajaan Sunda-Galuh yang beribu kota di Pakuan-Pajajaran menandakan keruntuhan kerajaan hindu yang berasal dari Kerajaan Tarumanegara. Raja Sunda yang terakhir yang enggan memeluk islam, yaitu Prabu Raga Mulya atau Prabu Surya Kencana, meninggalkan ibu kota Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran dan meninggal dalam pelarian di daerah Banten. Tahun 1585, Maulana Muhammad menjadi Sultan Banten, ia berkuasa hingga tahun 1596.

KERAJAAN ISLAM

Berdasarkan fakta-fakta sejarah yang diuraikan maka jelas yang memusuhi Pajajaran adalah Kerajaan islam yakni Kesultanan Banten. Pesan gaib (wangsit) Siliwangi sudah menyebutkan “yang saat ini memusuhi kita (kerajaan islam/kesultanan Banten) akan berkuasa hanya untuk sementara waktu.”

KESULTANAN BANTEN

Maulana Muhammad diganti oleh putranya Sultan Abu al-Mafakir Mahmud Abdul Kadir atau pangeran ratu (1596-1647), setelah itu Sultan Abu Al-Ma’ali Ahmad (1647-1651). Kemudian Sultan Agung Tirtayasa  atau Sultan Abu Al-Fath Abdul Fattah (1651-1682). Pada masa inilah Banten mencapai puncak kejayaan. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan dibangun atas contoh Eropa, serta telah mengupah orang Eropa bekerja pada kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya, Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjung Pura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.

Prabu Siliwangi mengatakan “Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota.”

Apa yang dikatakan Prabu Siliwangi sebagaimana wangsitnya, sungguh-sungguh benar dan menjadi kenyataan. Sekitar tahun 1680 atau kira-kira antara 80-100 tahun setelah wangsit disampaikan; muncul perselisihan dalam kesultanan Banten akibat perebutan kekuasaan antara Sultan Agung dengan putranya Sultan Haji. Wangsit menyebut “Tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun.”

Perpecahan ini dimanfaatkan oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) sejak tahun 1602 sudah masuk ke Batavia. VOC memberi dukungan kepada Sultan Haji sehingga perang saudara tidak bisa dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji mengirim dua orang utusannya menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang ini Sultan Agung terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Agung bersama putranya yang lain, Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makassar mundur ke  arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Agung tertangkap kemudian ditahan di Batavia. Tanggal 14 Desember 1683, Syekh Yusuf ditangkap dan Pangeran Purbaya ditangkap 7 Februari ditangkap 1684.

KEKUASAAN VOC

Prabu Siliwangi berkata: “Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota.” Yang dimaksud dengan kerbau bule adalah VOC. Yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota, maksudnya Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar. “Negara pecah” maksudnya wilayah Lampung, yang tadinya merupakan wilayah Kesultanan Banten, harus dilepaskan dan diserahkan kepada VOC dan VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung. Sultan Haji juga harus mengganti kerugian akibat perang saudara tersebut kepada VOC. Sultan Haji meninggal pada tahun 1687.

Prabu Siliwangi mengatakan “Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan.” Maksudnya semenjak Sultan Haji meninggal, VOC mulai mencengkeramkan pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. “Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.” Sebutan kerbau bule yang ditujukan kepada VOC karena VOC merupakan suruhan atau alat yang digunakan oleh Sultan Haji untuk memerangi ayahnya sendiri. Tahun 1752 Banten telah menjadi Vassal VOC. Vassal artinya budak atau pengikut.

Kutipan alinea IX

“Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!”

Prabu Siliwangi mengatakan “Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet.” Maksudnya semenjak VOC menjadikan Banten sebagai budak atau pengikutnya (vassal). Sarkasme monyet ditujukan kepada VOC karena sifat-sifatnya yang sama dengan sifat monyet. Monyet memiliki sifat semua-maunya (seenaknya sendiri, semau gue), berlagak pilon, pandai berakting, tidak bisa diam, egois, serakah, tidak tahu berterima kasih (kacang lupa pada kulitnya).

Tanggal 1 januari 1800 VOC resmi dibubarkan; hak miliknya dialihkan kepada pemerintah Belanda. Tahun 1803, pemerintah Belanda (Republik Batavia) mengeluarkan keputusan kolonial yang menjadikan pemerintah Hindia Belanda bertanggung jawab kepada pemerintah Belanda (berbeda VOC). Pemerintahan Belanda yang dikuasai Prancis menunjuk Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Tanggal 1 Januari 1808, Daendels tiba. Ia memindahkan kediaman resminya ke Buitenzorg (kini dinamai Bogor). Dia memerintah dengan prinsip-prinsip kediktatoran. Daendels memerintahkan serangkaian pekerjaan umum di sekitar Banten, termasuk pembangunan jalan-jalan raya dan sebuah pelabuhan baru di Ujung Kulon yang dilaksanakan oleh pekerja setempat. Para pekerja itu memberontak karena beban pekerjaannya. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer.

Pada bulan Mei 1811, Daendels diganti oleh Jan Willem Janssen. Tiga bulan kemudian pasukan-pasukan Britania datang dengan puluhan kapal dan berlabuh di Jawa. Para pangeran setempat di Banten, yang masih dilanda pemberontakan karena beban pekerjaan-pekerjaan umum yang diperintahkan Daendels, menangkap dan memenjarakan Sultan Banten dan bekerja sama dengan Britania. Tanggal 26 Agustus 1811, perang Jawa Britani-Belanda dimulai. Britania di bawah Lord Minto merebut Batavia. Belanda yang menderita kekalahan yang hebat, mengundurkan diri ke Semarang dan Janssens menyerah kepada Britania di Salah Tiga (Kapitulasi Tuntang). Thomas Stamford Raffles sebagai wakil kerajaan Britania diangkat sebagai Letnan Gubernur Jenderal Java.

Tahun 1813, Raffles menghapuskan Kesultanan Banten. Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat kesultanan Banten tahun 1815 Raffles memerintah langsung atas Cirebon, menyingkirkan kekuasaan dari para Sultannya.

Pada kongres Wina 1815 diputuskan  bahwa Britania harus mengembalikan Jawa dan kekuasaan Hindia Belanda lainnya kepada Belanda sebagai bagian dari persetujuan yang mengakhiri perang Napoleon. Tahun 1816, Thomas Stamford Raffles kembali ke Inggris.

Pada tanggal 19 Agustus 1816, Belanda kembali berkuasa di Batavia. Penyerahan kekuasaan dari Inggris (Letnan Gubernur John Fendall) kepada Belanda (Komisaris Jenderal yang terdiri dari tiga orang; yakni Elout, Buyskes, Van Der Capellen). Tanggal 17 Maret 1824, Britania dan Belanda menandatangani perjanjian London dan membagi Hindia Belanda di antara mereka sendiri. Belanda mengklaim Sumatra, Jawa, Maluku, Irian Jaya, dll. Britania mengklaim Malaya dan Singapura dan mempertahankan kepentingannya di Borneo Utara. Aceh diharapkan akan tetap independen.

Tanda-tanda penderitaan di kalangan pribumi Jawa dan Sunda mulai tampak. Tahun 1840 Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) yang dicanangkan oleh Johannes Van Den Bosch tahun 1830 sudah menghadapi berbagai masalah. Khususnya di daerah penanaman tebu, pabrik-pabrik gula bersaing dengan pertanian padi untuk jatah air. Timbul paceklik dan harga beras menjadi sangat mahal. Tahun 1843 kelaparan di Cirebon. Tahun 1883 Gunung Krakatau meletus, 36.000 orang di Jawa Barat dan Lampung meninggal sebagai korban letusan ini.

Prabu Siliwangi mengatakan; “ Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual!”

Fakta yang mendukung “kebenaran” perkataan Siliwangi kalau “keturunan kita akan ada yang sadar seperti terbangun dari mimpi” tercatat dalam sejarah sebagai suatu peristiwa perlawanan bersenjata rakyat Banten terhadap kekuasaan belanda yang terjadi tanggal 9 juni 1888. Peristiwa itu dikenal sebagai pemberontakan petani Banten, atau pemberontakan Qadiriyyah atau geger Cilegon.

Peristiwa itu dilatarbelakangi oleh tindakan semena-mena dan kesewenang-wenangan Belanda terhadap rakyat Banten. Kebencian rakyat semakin memuncak saat rakyat tertekan dengan dua musibah yakni dampak meletusnya Gunung Krakatau yang meletus tanggal 23 Agustus 1883 yang menimbulkan tsunami dan menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, Sirih, Pasuruan, Tajur dan Carita, selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan rakyat semakin menjadi-jadi.

Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah Belanda yang mengharuskan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit membuat warga makin terpukul. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).

Tersebutlah di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin, penunggu pohon. Berkali-kali Ki Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik. Namun fatwa Ki Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, Ki Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Ki Wasyid ke depan pengadilan kolonial pada 18 November 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain sehingga dikenakan denda 7,50 gulden.

Hukuman yang dijatuhkan kepada Ki Wasyid menyinggung rasa keagamaan dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkannya menara Musala di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels. Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu salat, mengganggu ketenangan karena suaranya yang keras apalagi waktu azan salat subuh.

Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang melarang salawat, tarhim dan azan dengan suara keras. Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda berbaur dengan penderitaan rakyat.

Perlawanan

Perlawanan besar pun dilakukan. Perlawanan ini dipimpin oleh Ki Tubagus Ismail dan melibatkan sejumlah ulama dan jawara dalam Geger Cilegon membuat rakyat bangkit melawan Belanda. Insiden ini dilakukan untuk menyerang orang-orang Belanda yang tinggal di Cilegon. Sayangnya, insiden ini dapat dipadamkan Belanda karena serdadu Belanda yang dipimpin Letnan I Bartlemy sudah terlatih. Meski api perlawanan dapat dipadamkan, namun sebelumnya terjadi pertempuran hebat.

Ki Wasyid yang dianggap pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lain dihukum buang. Haji Abdurahman dan Haji Akib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukittinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Manado/Minahasa, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi yang dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, Ambon, dan Saparua. Semua pimpinan pemberontakan yang dibuang sebanyak 94 orang.

LETUSAN KRAKATAU tahun 1883 telah menyadarkan keturunan Pajajaran untuk “Bangkit” melakukan perlawanan terhadap Belanda. Dari pemberontakan Banten, kita dapat memetik hikmah dan pelajaran bahwa terdapat tiga komponen yang merupakan unsur dasar yang nantinya akan mengilhami ideologi perjuangan itu. Ketiga unsur dasar tersebut adalah Ki Wasyid, berhala (pohon kepuh besar) dan rakyat Banten (keturunan Pajajaran). Ki Wasyid merupakan simbol islam yang belakang hari menjadi ideologi islam. Berhala adalah simbol materialisme dialektikal yang merupakan inti ajaran Marxisme yang di belakang hari berkembang menjadi ideologi komunisme. Rakyat adalah simbol bersatunya orang-orang dan memiliki satu tujuan yang sama yang di belakang hari berkembang menjadi paham nasionalisme.

Sejarah mencatat rekam jejak ketiga paham tersebut sebagai berikut:

1.       Pergerakan Islam.

  • Tanggal 16 Oktober 1905, Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh KH. Samanhudi, mula-mula untuk melindungi kepentingan-kepentingan para pedagang batik islam di Surakarta.
  • Tanggal 10 September 1912, Sarekat Dagang Islam yang berganti nama menjadi Sarekat Islam di bawah pimpinan Tjokroaminoto
  • Tanggal 18 Nopember 1912, KH. Ahmad Daslan mendirikan Muhammadiyah di Jogjakarta
  • Januari 1913, Kongres Sarekat Islam di Surabaya memutuskan meluaskan aktivitas mereka ke seluruh Hindia. Gubernur Jenderal Idenburg menyatakan Sarekat Islam sebagai sebuah organisasi yang legal
  • Tahun 1915, Haji Agus Salim masuk Sarekat Islam, memperkenalkan modernisasi islam
  • Juni 1916, Sarekat Islam menyelenggarakan pertemuan di Bandung; beberapa anggota dan kelompok Jawa tradisional tidak suka dengan modernisasi
  • Tahun 1917, Sarekat Islam mulai mengambil posisi lebih anti pemerintah
  • Oktober 1921, Kongres ke-6 Sarekat Islam melarang anggota SI merangkap sebagai anggota-anggota partai lain termasuk PKI. Banyak cabang Sarekat Islam terpecah menjadi (SI-merah) yang mengikuti Semaun dan (SI-putih) yang mengikuti Tjokroaminoto.
  • Kongres Al Islam diadakan di Cirebon; perdebatan hangat pecah antara pandangan anggota yang modernis dan tradisionalis tentang islam.
  • Februari 1923, Tjokroaminoto menata kembali Sarekat Islam menjadi Partai Sarekat Islam yang baru. Para pendukung komunis meninggalkan organisasi ini, dan membawa serta banyak anggota bersama mereka; cabang-cabang SI merah menjadi Sarekat Rakyat
  • Tanggal 12 September 1923, Persatuan Islam (Persis) sebuah kelompok garis keras, didirikan di Bandung. Mohammad Natsir yang masih muda salah satu anggota pertama.
  • Tanggal 23 September 1925, Jong Islamieten Bond didirikan di Jakarta; anggota-anggotanya antara lain H. Agus Salim dan Mohammad Natsir.
  • Tanggal 31 Januari 1926, Komite para ulama islam berkumpul di Surabaya untuk mengirim sebuah delegasi ke Arab Saudi untuk memprotes syarat-syarat untuk para jamaah haji. (Komite ini kelak menjadi benih Nahdatul Ulama).
  • Tanggal 31 Desember 1926, KH. Hasjim Asjhari mendirikan Nahdatul Ulama, sebuah organisasi muslim yang berkarya dalam bidang pendidikan, bantuan amal, dan bantuan ekonomi.
  • Tahun 1932, Mohammad Natsir, 24 tahun, bertanggung jawab atas sekolah-sekolah persatuan islam yang baru; ia menulis bahwa islam harus menjadi dasar dari Indonesia yang baru.
  • Tahun 1934, Sayap Pemuda Nahdatul Ulama, Ansor, didirikan
  • Tahun 1935, Nahdatul Ulama mengeluarkan peraturan bahwa Hindia Belanda adalah suatu negara di mana islam dapat dipraktikkan, dan harus dibela melawan Jepang
  • Tanggal 21 September 1927, Majelis Islam A’laa Indonesia (MIAI) didirikan sebuah organisasi payung untuk kerja sama antara Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Persatuan Islam dan kelompok-kelompok islam lainnya.
  • Tahun 1939, Karto Suwiryo dan pengikut-pengikutnya memisahkan diri dari partai Sarekat Islam dan membawa serta banyak pengikut-pengikutnya.

2.       Pergerakan Komunis

  • Tahun 1907, VSTP (Serikat Buruh Kereta Api) dibentuk, anggota-anggota orang Indonesia diterima.
  • Tanggal 9 Mei 1914, Sneevliet mendirikan Indische Sociaal-Democratische Varaeniging (ISDV), nantinya menjadi PKI.
  • Tahun 1918, ISDV mulai membentuk soviet-soviet (Dewan-dewan) di Surabaya
  • Tahun 1918, “Sarekat Islam B” cabang revolusioner Rahasia, mulai terbentuk. Anggotanya termasuk Muso. Pemerintah Hindia Belanda mulai menindas “soviet-soviet” ISDV, mengusir anggota-anggota Belanda dari gerakan komunis. Di tahun itu juga Sarekat Sumatra didirikan.
  • Tahun 1919, Haji Misbach mengajarkan “komunisme islam” di Surakarta.
  • Tanggal 27 Mei 1920, ISDV mengganti namanya menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (belakangan PKI) dan menerbitkan tulisan-tulisan Lenin.
  • Sarekat Ambon didirikan
  • Tanggal 25 Desember 1920, PKH bergabung dengan Komunis Internasional
  • Tahun 1921, Semaun berangkat ke Uni Soviet
  • Desember 1921, Tan Malaka menjadi ketua PKI
  • Maret 1922, Tan Malaka dibuang dari Hindia Belanda
  • Tahun 1922, Semaun kembali dari Uni Soviet
  • Tahun 1923, pemogokan kereta api oleh VSTP dan dipimpin pihak komunis, Semaun sebagai pemimpinnya ditangkap dan dibuang; banyak Sarekat Buruh yang kini didominasi oleh Komunis.
  • Tan Malaka ditunjuk sebagai agen Komintern untuk Asia Tenggara, dan berbasis di Guangdong, Tiongkok
  • Tahun 1924, Perserikatan Komunis di Hindia mengganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia, memutuskan untuk mengadakan pemberontakan. Musso bergabung dengan PKI.
  • Tahun 1925, pemogokan yang dipimpin oleh PKI gagal, dan Tan Malaka berada di Singapura
  • Tan Malaka mencetus bentuk negara Republik lewat buku Naav de Republiek Indonesia
  • Tahun 1926, Belanda menangkap lebih banyak anggota PKI; Musso pergi ke Singapura. PKI mendapatkan instruksi dari Moskwa untuk memulai sebuah revolusi, lalu membatalkan instruksi ini. Musso merahasiakan instruksi yang kedua (Instruksi untuk tidak memberontak)
  • Tanggal 12 Nopember 1926, PKI memberontak di Banten, Batavia, Bandung, Padang. PKI mengumumkan pembentukan sebuah republik. Pembentukan ini dihancurkan Belanda, yang menangkap sekitar 13.000 orang, dan Tan Malaka menentang pemberontakan
  • Januari 1927, pemberontakan PKI di Silungkang, Sumatra Barat, dihancurkan.

3.       Pergerakan Nasionalisme

  • Tanggal 20 Mei 1908, Budi Utomo didirikan di antara para mahasiswa suku Jawa kelas atas di Jawa termasuk Dr Sutomo dan Dr Tjipto Mangunkusomo, menandai dimulainya era kebangkitan nasional.
  • Tahun 1910, Ratulangi mendirikan Perserikatan Minahasa, sebuah organisasi sosial untuk Minahasa
  • Tahun 1912, Indische Partij dibentuk oleh Setia Budi (Dowwes Dekker), Dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara. Setahun kemudian Indische Partij dilarang para pemimpinnya diasingkan ke Belanda.
  • Tanggal 20 Juli 1913, organisasi Paguyuban Pasundan berdiri sebagai sebuah organisasi sosial dan budaya Sunda di Jawa Barat.
  • Tri Koro Dharma terbentuk sebagai sebuah organisasi pemuda dari Budi Utomo (berganti nama menjadi Jong Java 1918).
  • Tahun 1916, Delegasi anggota dari Budi Utomo, Sarekat Islam dan organisasi-organisasi lain mengunjungi Belanda
  • Tahun 1917, Jong Sumatranen Bond berdiri di Jakarta
  • Tahun 1918, organisasi Jong Minahasa didirikan.
  • Juni 1921, Jong Java mengadakan kongres di Bandung; Soekarno berbicara di kongres untuk mengajukan pembaruan bahasa.
  • Tahun 1922, Indische Vereeniging di Belanda mengganti namanya menjadi Perhimpunan Indonesia. Anggotanya antara lain Mohammad Hatta dan Sultan Syahrir; Tan Malaka dan Semaun berbicara dalam pertemuan-pertemuannya. Indische Vereeniging didirikan untuk perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda pada tahun 1908.
  • Tahun 1922, Perhimpunan Mahasiswa Indonesia didirikan di Belanda. Anggotanya antara lain Mohammad Hatta, Sultan Syahrir, Soetomo, Ali Sostroamijoyo, dan banyak lagi lainnya
  • Tahun 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan “taman siswa” di Jogjakarta
  • Februari 1923, Partai Katolik didirikan
  • Tahun 1924, Dr Soetomo mendirikan Indonesia Study Club.
  • Tahun 1925, Soekarno mendirikan General Study Club yang pro kemerdekaan di Bandung, menganjurkan kesatuan bangsa.
  • Tanggal 30 April-2 Mei 1926, Kongres Pemoeda I didirikan di kota Solo dengan ketua Mohammad Tabrani (Jong Java)
  • Tahun 1926, Soekarno menerbitkan serangkaian tulisan yang berjudul “Nasionalisme, islam dan Marxisme” dan menyerukan kerja sama antara ketiga gerakan ini
  • Februari 1927, Hatta dan lain-lainnya menghadiri pertemuan anti kolonial di Brussels bersama dengan banyak nasionalis lainnya dari Asia dan Afrika.
  • Tanggal 4 Juli 1927, Soekarno dan Dr. Tjipto Mangunkusumo mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PMI)
  • Desember 1927, Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), kelompok yang menaungi organisasi-organisasi nasionalis dibentuk di Bandung.
  • Tahun 1928, PMI mengganti namanya menjadi Partai Nasional Indonesia menerima bendera merah-putih, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, “Indonesia Raya”  ciptaan WR Supratman sebagai lagu kebangsaan.
  • Tanggal 28 Oktober 1928, Kongres Pemuda II di Batavia menerima “sumpah pemuda” satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Kongres diketuai oleh Sugondo Djojopuspito (PPI). Muhammad Yamin menulis puisi “Indonesia tumpah darah ku.”
  • Agustus 1929, pemerintah Hindia Belanda memperingatkan anggota-anggota TMI agar menghentikan aktivitas mereka.
  • Tahun 29 Desember 1929, Soekarno dan pengikut-pengikutnya ditangkap di Jogjakarta. Mereka dipenjarakan di Bandung.
  • Tahun 18 Agustus 1930, Soekarno diadili di Bandung, ia menyampaikan pidato-pidato yang membangkitkan semangat di pengadilan
  • Tanggal 22 Desember 1930, Soekarno dihukum 4 tahun penjara karena kegiatan-kegiatan nasionalisnya. PNI dibubarkan oleh pemerintah.
  • Tanggal 25 April 1931, memutuskan untuk membubarkan. Partai Indonesia atau Partindo dibentuk sebagai gantinya 4 hari kemudian
  • Tahun 1931, Perhimpunan Indonesia dikuasai oleh kaum komunis; Syahrir dan Hatta dipecat
  • Desember 1931, Syahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia bersama Hatta (“PNI-Baru”)
  • Tanggal 31 Desember 1931, Soekarno dibebaskan lebih awal dari penjara dari Bandung.
  • Tahun 1932, Soekarno bergabung dengan Partindo; minat terhadap Partindo meningkat
  • Agustus 1933, Soekarno, Hatta, Syahrir ditangkap. Soekarno dibuang ke Ende di Flores tanpa pengadilan
  • Tahun 1933, pertemuan-pertemuan organisasi induk PPPKI dilarang.
  • Desember 1935, Budi Utomo dan Persatuan Bangsa Indonesia bergabung untuk membentuk partai Indonesia Raya (Parindra). Anggotanya antara lain adalah Thamrin dan Dr. Soetomo. Partai yang baru ini menyerukan kemerdekaan melalui kerja sama dengan Belanda.
  • Nopember 1936, Partindo dibubarkan
  • Tahun 1938, Soekarno yang masih berada dalam penahanan Belanda, dipindahkan ke Bengkulu.
  • Gabungan Politik Indonesia (GAPI), sebuah organisasi payung dari berbagai organisasi nasionalis, dibentuk. Thamrin adalah salah seorang penganjur utamanya
  • Desember 1939, GAPI mengorganisasi Kongres Rakyat Indonesia, sebuah pertemuan representatif yang besar di Batavia, yang mengajukan tuntutan untuk parlemen yang sepenuhnya terpilih untuk Hindia.
  • Tanggal 9 Agustus 1940, GAPI menghadirkan petisi yang lain tentang “melengkapi demokratisasi Indonesia”

Berdasarkan fakta-fakta sejarah yang telah kami uraikan di atas, secara sistematis dan tematik terstrukturnya Kebangkitan dalam “perlawanan” terhadap Belanda maka kita dapat melihat suatu gambaran yang jelas adanya korelasi antara Gunung Krakatau, Prabu Siliwangi (Kerajaan Sunda Pajajaran) dengan negara Republik Indonesia. Prabu Siliwangi mengatakan “keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa zaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah.”

Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Prabu Siliwangi bahwa zaman sudah berganti. Ketika keturunan kita tengah sibuk mempersiapkan perlawanan-perlawanan secara politik terhadap pemerintah Hindia Belanda, ternyata Belanda telah menyerah kepada Jerman. Rotterdam dibom menyebabkan banyak kematian warga sipil. Pasukan Belanda menyerah dan pemerintah Belanda, ratu Wilhelmina Mengungsi ke Britania Raya (London). Tanggal 13 Mei 1940.

Pada pertengahan tahun 1941 Jepang melihat bahwa Amerika Serikat, Inggris dan Belanda harus dihadapi sekaligus bila Jepang ingin menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara. Apalagi setelah Amerika melancarkan embargo minyak bumi yang sangat mereka butuhkan, baik untuk industri di Jepang maupun untuk keperluan perang. Admiral Isoroku Yamamoto, panglima angkatan laut Jepang mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armadanya untuk dua operasi besar, yaitu menyerang secara mendadak basis armada pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di kepulauan Hawaii. Operasi kedua, mendukung angkatan darat dalam operasi selatan yaitu penyerangan atas Filipina dan Malaya/Singapura, yang akan dilanjutkan ke Jawa. Tanggal 7 Desember 1941, Admiral Chuchi Nagumo memimpin armada menyerang Pearl Harbor. Pengeboman Pearl Harbor berhasil menenggelamkan dua kapal perang besar dan enam kapal perang lain. Pengeboman Jepang juga menghancurkan 180 pesawat tempur Amerika, lebih dari 2.330 serdadu Amerika tewas dan 1.140 lainnya luka-luka. Tanggal 8 Desember 1941, Kongres Amerika Serikat menyatakan perang terhadap Jepang.

Prabu Siliwangi menyebut penyerangan Pearl Harbor ini sebagai “pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah.” Mereka para pemimpin maksudnya Admiral Isoroku Yamamoto dan Admiral Chuichi Nagumo.

Tujuan Jepang menyerang dan menduduki Hindia Belanda adalah untuk menguasai sumber-sumber alam, terutama minyak bumi, guna mendukung potensi perang Jepang serta mendukung industrinya. Jawa dirancang sebagai pusat penyediaan bagi seluruh operasi militer di Asia Tenggara, dan Sumatra sebagai sumber minyak utama.

Kutipan Alinea ke- X

“Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! Keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. Mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.”

Sehari setelah sukses menghancurkan armada pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor di Hawaii, tanggal 8 Desember 1941 Jepang menyerang Malaya, mendarat di ujung selatan Thailand dan utara Malaya. Jepang mulai menyerang Filipina. Belanda di antara bangsa-bangsa lainnya menyatakan perang terhadap Jepang. Kapal-kapal perang Inggris, Prince of Wales dan Repulse ditenggelamkan dalam perbedaan beberapa jam saja di lepas pantai Malaya, tanggal 17 Desember Jepang melakukan serangan udara atas Ternate. Jepang mendarat di Serawak. Tanggal 22 Desember pasukan invasi utama Jepang mendarat di Filipina dan 24 Desember, Jepang menyerang pasukan-pasukan Inggris di Kuching, Serawak.

Tanggal 2 Januari 1942, Jepang merebut kota Manila, 3 Januari Jepang merebut Sabah, 6 Januari Jepang merebut Brunei, 6 Januari serangan udara pertama Jepang atas Ambon. Tanggal 10 Januari Jepang mulai menginvasi Indonesia di Kalimantan (Tarakan) dan Sulawesi (Manado). Tanggal 11 Januari Jepang merebut Tarakan. Tanggal 12 Januari Van Mook melakukan perjalanan darurat ke Amerika Serikat, meminta tambahan pasukan, dan agar Hindia Belanda tidak dilupakan dalam pertahanan sekutu. Tanggal 13 Januari  Jepang merebut Manado, 23 Januari Jepang merebut Balikpapan, 25 Januari Jepang merebut Kendari, 30 Januari Jepang menyerang Ambon. Kota Ambon direbut dalam tempo 24 Jam.

Tanggal 1 Februari 1942, Jepang merebut Pontianak. Tanggal 3 Februari, Jepang mengebom Surabaya, memulai serangan udara terhadap sasaran-sasaran di Jawa. Tanggal 4 Februari pertempuran Selat Makassar. Angkatan udara dan laut Jepang memaksa sekutu  untuk mundur hingga ke Cilacap, Jepang maju hingga Sulawesi. Tanggal 6 Februari Jepang mulai mengebom Palembang. Tanggal 8 Februari, Jepang memulai melakukan serangan utama atas Singapura. Tanggal 9 Februari Jepang mengebom Batavia, Surabaya dan Malang. Tanggal 10 Februari Jepang merebut Makassar. Tanggal 13 Februari mendaratkan pasukan parasut di Palembang, merebut kota dan industri minyaknya yang berharga. Tanggal 15 Februari Singapura jatuh, 13.000 pasukan di bawah komando Inggris ditawan sebagai tawanan perang. Tanggal 19 februari pertempuran Selat Bandung (pertempuran laut antara Bali dan Lombok) sebuah satuan kecil pasukan Jepang memukul mundur pasukan Belanda dan Australia. Jepang mendarat di Bali serangan udara pertama Jepang atas Darwin, Australia. Tanggal 20 Februari Jepang mendarat di Timor dan tanggal 24 Februari Jepang telah menguasai Timor. Tanggal 23 Februari, Belanda memindahkan Soekarno ke Padang; Soekarno lolos dalam kekacauan sementara Belanda melakukan evakuasi. Belanda mengevakuasi Syahrir dan Hatta dari Banda lewat udara beberapa menit sebelum Jepang mengebom pulau itu.

Prabu Siliwangi mengatakan “yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet.” Maksudnya tidak ada lagi yang mengatur, mengurus rakyat karena pusat kota kosong, pemerintah bersembunyi menyelamatkan dirinya masing-masing. Belanda kabur, lari ketakutan. Negara pecahan adalah semua wilayah yang selama ini dikuasai oleh Belanda yang diserbu Jepang (monyet).

Pertempuran laut Jawa terjadi tanggal 27 Februari 1942. Dalam pertempuran laut Jawa dekat Surabaya yang berlangsung selama tujuh jam, angkatan laut sekutu dihancurkan, kapal-kapal perusak Amerika lolos ke Australia. Sekutu kehilangan 5 kapal perangnya sedangkan Jepang hanya menderita kerusakan pada satu kapal perusaknya. Rear Admiral Karel Willem Frederick Marie Doorman, komandan angkatan laut Hindia Belanda tenggelam bersama kapal perang utamanya De Ruyter.

Tanggal 28 Februari 1942, tentara Angkatan Darat ke-16 di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitoshi Imamura mendarat di 3 tempat di Jawa. Pertama adalah pasukan divisi ke-2 mendarat di Merak, Banten. Kedua adalah resimen ke-230 di Eretan wetan dekat Inderamayu dan yang ke-3 adalah divisi ke-48 beserta Resimen ke-56 di Kragan. Ketiganya segera menggempur pertahanan tentara Belanda. Setelah merebut pangkalan udara Kalijati (sekarang Lanud Surya Darma), Letnan Jenderal Imamura membuat markasnya di sana. Imamura memberikan ultimatum kepada Belanda, bahwa apabila tidak menyerah, maka tentara Jepang akan menghancurkan tentara Belanda.

Tanggal 1 Maret, pertempuran Selat Sunda, pasukan invasi Jepang mendarat di Banten, pasukan invasi Jepang juga mendarat di Surabaya. Jepang melakukan serangan udara atas Medan. Tanggal 5 Maret, serangan udara Jepang di Cilacap, Jepang masuk ke Batavia. Tanggal 7 Maret Jepang merebut Cilacap, Rangoon jatuh ke tangan Jepang. Tanggal 8 Maret, Jepang merebut Surabaya. Tanggal 9 Maret Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang.

KEKUASAAN JEPANG

Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachhouwer bersama Letnan Jenderal Hein ter Poorten, panglima tertinggi tentara Hindia Belanda datang ke Kalijati dan dimulai perundingan antara pemerintah Hindia Belanda dengan pihak tentara Jepang yang dipimpin langsung oleh Letnan Jenderal Imamura, Imamura mengatakan, bahwa Belanda harus menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Dengan demikian secara De Facto dan De Jure seluruh wilayah bekas Hindia Belanda sejak itu berada di bawah kekuasaan dan administrasi Jepang. Hari itu juga, tanggal 9 Maret Jenderal Hein ter Poorten memerintahkan kepada seluruh tentara Hindia Belanda untuk juga menyerahkan diri kepada bala tentara kekaisaran Jepang.

Para penguasa yang lain segera melarikan diri. Dr. Hubertus Johanes van Mook, Letnan Gubernur Jenderal untuk Hindia Belanda bagian Timur, Dr. Charles Olke van Der Plas, Gubernur Jawa Timur melarikan diri ke Australia. Jenderal Ludolf Hendrik van Oyen, perwira angkatan udara kerajaan Belanda melarikan diri dan meninggalkan istrinya di Bandung. Tentara KNIL yang berjumlah sekitar 20.000 di Jawa yang tidak sempat melarikan diri ke Australia ditangkap dan dipenjarakan oleh tentara Jepang.

Tanggal 19 April, Jepang merebut Hollandia (Irian Jaya), 9 Mei Jepang menduduki Lombok, 13 Mei Jepang menduduki Sumbawa dan 16 Mei Jepang menduduki Sumba. Seluruh wilayah Indonesia telah berhasil dikuasai oleh Jepang dengan sukses gemilang. Kemenangan Jepang atas Belanda disambut dengan gagap gempita dan sorak-sorak bergembira oleh seluruh rakyat Indonesia.

Prabu Siliwangi mengatakan: “keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata pasar habis oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit.”

Keturunan kita (bangsa Indonesia) tertawa karena sistem stratifikasi sosial pada zaman Jepang menempatkan golongan Bumi Putra (pribumi asli) di atas golongan Eropa maupun golongan Timur asing (Arab, India, China, dsb.), kecuali Jepang. Di masa pemerintahan Hindia Belanda, warga pribumi asli ditempatkan sebagai kelas sosial terendah warga timur asing dan Eropa.

Bangsa Indonesia tertawa (senang) karena Jepang melakukan propaganda untuk menarik simpati bangsa Indonesia dengan cara:

  • Menganggap Jepang sebagai saudara tua bangsa Asia (Hakko Ichiu)
  • Melancarkan semboyan 3A (Jepang pemimpin, Jepang cahaya dan Jepang melindungi Asia)
  • Melancarkan simpati lewat pendidikan berbentuk beasiswa pelajar
  • Menarik simpati umat islam untuk pergi haji
  • Menarik simpati organisasi islam MIAI (Majelis Islam A’laa Indonesia)
  • Melancarkan praktik dumping
  • Mengajak untuk bergabung tokoh-tokoh perjuangan nasional seperti: Ir. Soekarno, Drs Moh. Hatta dan Sultan Syahrir dengan cara membebaskan tokoh tersebut dari penahanan Belanda

Selama masa pendudukan, Jepang juga membentuk persiapan kemerdekaan yaitu BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Chosakai. Badan ini bertugas membentuk persiapan-persiapan pra kemerdekaan dan membuat dasar negara dan digantikan oleh PPKI yang bertugas menyiapkan kemerdekaan.

Di bidang sipil:

Jepang membentuk PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dengan tujuan membujuk kaum nasionalis sekuler dan intelektual agar menyerahkan tenaga dan pikirannya untuk mengabdi kepada Jepang. Membentuk Jawa Hokokai (Himpunan kebaktian Jawa) merupakan organisasi sentral dan terdiri dari berbagai macam profesi (dokter, pendidik, kebaktian wanita pusat dan perusahaan).

Di bidang militer Jepang membentuk PETA (Pembela Tanah Air) yaitu: Gakukotai (Laskar pelajar), Heiko (Barisan cadangan prajurit), Seinendan (Barisan pemuda), Fujinkai (Barisan wanita), Keibudan (Barisan pembantu polisi), Jibakutai (Pasukan berani mati), Kempetai (barisan polisi rahasia).

Dari kebaikan-kebaikan di atas, ternyata Jepang tidak mampu membuat ”tawa” bangsa Indonesia terus berlanjut. “Sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. Semuanya diserbu oleh penyakit.” Penyakit-penyakit itu di sebabkan karena Jepang menerapkan kerja paksa. Banyak laki-laki Indonesia diambil dari tengah keluarga mereka dan dikirim ke Burma untuk melakukan pekerjaan pembangunan dan pekerjaan berat lainnya dalam kondisi yang sangat buruk. Ribuan orang mati/hilang.

Selain kerja paksa, Jepang juga menerapkan pengambilan paksa. Tentara- tentara Jepang dengan cara paksa mengambil makanan, pakaian dan berbagai pasokan lainnya dari keluarga-keluarga Indonesia, tanpa memberikan ganti rugi. Hal ini menyebabkan penderitaan semasa perang. Yang paling memiriskan hati adalah penerapan “perbudakan paksa” terhadap perempuan. Banyak perempuan Indonesia yang dijadikan “wanita penghibur” dan “pelayan sex” bagi tentara-tentara Jepang.

Prabu Siliwangi mengatakan “keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit.” Segala yang berbau penyakit yang dimaksud oleh Prabu Siliwangi tentu saja adalah “kemusyrikan” yaitu suatu perbuatan yang mempersekutukan Allah yang sangat bertentangan dengan prinsip akidah islamiah.

Sejarah kembali terulang, terjadinya pemberontakan yang dipicu oleh “kemusyrikan.” Di masa penjajahan Belanda, pemberontakan Banten dipimpin oleh Ki Wasyid dan murid-muridnya, maka di masa penjajahan Jepang dikenal dengan “pemberontakan Singaparna” yang dipimpin oleh KH. Zaenal Mustofa dan murid-muridnya. Banten dan Singaparna, Tasikmalaya dulunya masuk dalam wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran sehingga dapat disebut sebagai keturunan Pajajaran.

KH. Zaenal Mustofa menentang pelaksanaan “seikerei” cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan membungkukkan badan ke arah Tokyo. Ia menganggap perbuatan itu bertentangan dengan ajaran islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat. Sikap ini pernah ia tunjukkan secara terang-terangan di muka Jepang pada waktu itu, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan melakukan seikerei di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya KH. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Ia juga menentang Romusha, pengerahan tenaga rakyat untuk bekerja dengan paksa.

Pada tanggal 25 Februari 1944, KH. Zaenal Mustofa merencanakan mengadakan perlawanan terhadap Jepang. Ia meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing, golok serta berlatih pencak silat. Jepang mencium rencana ini. Pada jam  13:00 datang 4 opsir Jepang meminta agar KH. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah itu ditolak tegas dan terjadilah keributan. Tiga opsir tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu orang ini disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan pulau Jawa terhitung mulai 25 Februari 1944. Setelah waktu shalat ashar (sekitar jam 16:00) datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamana sangat terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang bangsa sendiri, Zaenal Mustofa memerintahkan para santrinya tidak melakukan perlawanan sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka, namun dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memporak-porandakan pasukan sukamana. Peristiwa ini dikenal dengan pemberontakan Singaparna.

Para santri yang gugur dalam peristiwa itu berjumlah 92 orang. Meninggal di penjara Sukamiskin 38 orang. Mengalami cacat kehilangan mata dan kehilangan ingatan 10 orang. Sehari setelah peristiwa itu ditangkap 700-900 orang dan dimasukkan dalam penjara di Tasikmalaya. KH. Zainal Mustofa bersama 23 orang  muridnya dibawa ke Jakarta untuk menerima hukuman mati dan dimakamkan di Ancol.

Prabu Siliwangi mengatakan “semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. Yang mengerjakan masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan.” Maksudnya; setelah pemberontakan Singaparna dan Syahidnya keturunan Pajajaran, maka perlawanan sudah mulai muncul dimana-mana seperti;

  • Peristiwa Inderamayu, April 1944 disebabkan adanya pemaksaan kewajiban menyetorkan sebagian hasil padi dan pelaksanaan kerja paksa yang menyebabkan penderitaan rakyat. Pemberontakan ini dipimpin oleh Haji Madriyan dan kawan-kawan di desa Karang Ampel, Sindang Kabupaten Inderamayu. Pemberontakan ini dengan mudah dapat ditumpas. Tentara Jepang bertindak kejam terhadap rakyat di kedua wilayah (loh bener dan sindang) agar daerah lain tidak ikut-ikutan memberontak.
  • Perlawanan PETA di Meureudu-Pidie Aceh pada bulan Nopember 1944. Perlawanan ini dipimpin oleh perwira Gyugun Teuku Hamid. Latar belakang perlawanan ini karena sikap Jepang yang angkuh dan kejam terhadap rakyat dan prajurit Indonesia.
  • Perlawanan PETA di Blitar (29 Februari 1945). Perlawanan ini merupakan perlawanan terbesar di pulau Jawa, dipimpin oleh Syodanco Supriyadi, Syodanco Muradi dan Dr. Ismail. Penyebabnya karena persoalan pengumpulan padi, romusha maupun heiho yang dilakukan secara paksa dan di luar batas perikemanusiaan. Perlawanan ini dapat ditumpas oleh Jepang. Empat orang perwira PETA dihukum mati, sedangkan Syodanco Supriadi berhasil meloloskan diri.
  • Perlawanan PETA di Gumilir, Cilacap (April 1945) dipimpin oleh Bundanco Kusairi
  • Perlawanan Pang Sumo, pemimpin suku Dayak di daerah Tayan dan Meliau, Kalimantan Barat.
  • Perlawanan Koreri di Biak, Irian Barat dipimpin oleh L. Rumkorem yang berpusat di Biak.
  • Perlawanan di pulau Yapen Selatan, dipimpin oleh Nimrod. Nimrod dihukum pancung oleh Jepang untuk menakut-nakuti rakyat.
  • Perlawanan di Tanah Besar Papua dipimpin oleh Simson

Prabu Siliwangi mengatakan “Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. Mereka tidak sadar bahwa zaman sudah berganti cerita lagi.”

Maksudnya ; Soekarno menerima tawaran Jepang untuk menjadi pemimpin pemerintah Indonesia, tetapi bertanggung jawab kepada militer Jepang. Soekarno dan Hatta pura-pura bekerja sama dengan Jepang sebagai satu bentuk strategi baru dalam perjuangan. Disebut oleh Prabu Siliwangi “sambil sok tahu” yang artinya taktik strategi politik. “Lahan baru” adalah pola kerja sama merangkul dan dirangkul atau “saling memanfaatkan” untuk tercapainya tujuan dan kepentingan masing-masing pihak.

Soekarno, Hatta, dan Syahrir bertemu secara rahasia dan berbagi tugas. Soekarno untuk mengumpulkan massa untuk kemerdekaan. Hatta menangani hubungan-hubungan diplomatik dan Syahrir untuk mengoordinasikan kegiatan-kegiatan bawah tanah. Jepang mengangkat Soekarno sebagai ketua Putera (Pusat Tenaga Rakyat), sebuah sayap organisasi politik. Hatta dan Ki Hajar Dewantara, anggota. Jepang membentuk sayap militer lokal disebut Heiho untuk menjadi unit tentara reguler Jepang. Pada tanggal 7 Juli 1943 perdana menteri Jepang, Jenderal Hideki Tojo berkunjung ke Indonesia. Dalam pidatonya di Gambir ia menjanjikan pemerintahan otonomi terbatas bagi Indonesia.

Pada tanggal 8 September 1943, pemerintah dari markas besar militer Jepang di Saigon untuk membentuk “Giyugun” (angkatan bersenjata lokal) di sepanjang Asia Tenggara. Jepang merasa perlu merekrut orang lokal untuk pertahanan, karena tentara Jepang terus ditarik untuk perang dengan sekutu di Pasifik. Jepang membentuk Giyugun di Sumatera dan Jawa. Pasukan di Jawa disebut PETA (Pembela Tanah Air). Banyak tokoh yang tergabung dalam PETA antara lain Sudirman dan Soeharto. Aktivis kemerdekaan menganggap pelatihan militer tidak begitu mendukung Jepang dibanding persiapan untuk kemungkinan kemerdekaan. Hatta berpidato menghimbau orang Indonesia untuk bergabung dengan PETA. Mereka inilah yang kemudian akan membentuk inti Angkatan Bersenjata Indonesia.

Pada tanggal 24 Oktober 1943, payung organisasi MIAI berganti nama menjadi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Jepang membentuk barisan Hisbullah, sebuah angkatan perang pemuda muslim yang bergabung dengan Masyumi. Jepang berusaha terus merekrut seluruh cadangan kekuatan yang dimiliki orang-orang Indonesia untuk dijadikan pasukan pertahanan. Jepang sudah tidak mampu lagi menahan laju kekuatan tentara sekutu dalam perang Pasifik. Setelah melintasi Pasifik maka serangan sekutu pada pasukan Jepang di Indonesia hanya menghitung waktu saja.

SERANGAN TENTARA SEKUTU (AS, INGGRIS, AUSTRALIA, BELANDA)

Kutipan alinea ke-XII

“Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini. Lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi…ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang sebrang.”

Pada tanggal 19 April 1944, tentara sekutu menjatuhkan bom di Sabang, yang terletak di pulau Weh Aceh yang merupakan pintu ujung sebelah Barat Indonesia. Pada tanggal 22 April, sekutu menguasai Hollandia (sekarang Jaya Pura, Papua). Tanggal 17 Mei serangan udara sekutu di Surabaya. Pada tanggal 21 Mei tentara Amerika mendarat di Biak. Pada tanggal 4 Juni, Jepang melancarkan serangan balik ke Biak. Tanggal 11 Agustus, serangan udara sekutu di Palembang. Tanggal 28 Agustus, Ambon luluh-lantak oleh serangan udara sekutu. Tanggal 8 September, tentara Amerika berhasil mengusir Jepang dari Biak. Tanggal 15 September, tentara sekutu mendarat di pulau Morotai, Halmahera Maluku Utara yang dipimpin oleh Jenderal Doughles Mac Arthur, panglima armada Pasifik barat.

Jenderal Koiso menjanjikan Indonesia akan merdeka dalam waktu yang tidak lama lagi. Tanggal 1 Maret 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebuah komite untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia diumumkan pembentukannya oleh Jepang. Anggota-anggotanya; Soekarno, Hatta, Wahid Hasyim, dll. Pemimpinnya Dr. Radjiman Wedyodiningrat. April 1945, Laksamana Maeda pemimpin intelijen tentara angkatan laut Jepang di Indonesia mendukung perjalanan keliling Soekarno dan Hatta ke Makassar. Tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 sidang pertama BPUPKI. Soekarno menjelaskan tentang doktrin Pancasila. Maeda mendukung perjalanan Soekarno dan Hatta ke Bali dan Banjarmasin untuk berpidato.

Tanggal 10 Juni 1945, tentara Australia mendarat di Brunei, tentara Belanda mendarat di Sumatera Utara. Tanggal 24 Juni tentara sekutu mendarat di Halmahera. Tanggal 1 Juli 1945, tentara Australia menguasai Balikpapan, pesawat Amerika menjatuhkan bom di Watampone, Sulawesi Selatan. Tanggal 11 Juni Amerika melancarkan bom di Sabang, Aceh. Militer Jepang mengadakan pertemuan rahasia di Singapura, merencanakan pengalihan kekuasaan Indonesia kepada pemimpin pejuang kemerdekaan Indonesia.

Prabu Siliwangi mengatakan;

a.       “lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi!”…

Burung dimaksudkan sebagai pesawat pengebom B-29 flying superfortress bernama Enola Gay yang dipiloti Letkol Paul W. Tibbets dan copilot Robert Lewis. Menetaskan telur dimaksudkan sebagai dijatuhkannya bom atom tanggal 6 Agustus 1945 di Hiroshima. Bom itu dinamai “little boy” yang berarti anak kecil. Bom atom kedua dijatuhkan tanggal 9 Agustus 1945 di Nagasaki. Bom kedua ini dinamai “Fat Man” yang berarti “laki-laki gemuk.” Pesawat B-29 yang menjatuhkan Fat Man dipiloti oleh Mayor Charles W. Sweeney.

Oleh karena Jepang belum juga menyerah maka tanggal 13-14 Agustus 1945, Armada ketiga Amerika Serikat mulai menembakkan meriam-meriamnya dan mengerahkan 400 pengebom B-29 untuk menyerang Jepang dan menambahnya lagi 300 pesawat pada malam itu. Total angka 1.014 pesawat dikerahkan dan semuanya kembali dengan selamat. Sungguh “riuh seluruh bumi” maksudnya telah terjadi perang dunia ke-2. Tepat jam 12.00 tengah hari tanggal 15 Agustus 1945 diudarakan rekaman pidato kaisar Jepang kepada rakyat yang berisi perintah kekaisaran mengenai perhentian perang. Pidato itu menandakan Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu.

b.      “Sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana-sini.”

Ramai oleh perang maksudnya perang antar sekutu (Amerika Serikat, Britania Raya, Australia dan Belanda) melawan tentara kekaisaran Jepang yaitu pertempuran Biak di Pulau Biak tanggal 27 Mei sampai 20 Juli 1944, pertempuran Numfoor, di pulau Numfoor dekat teluk Cenderawasih, Papua, tanggal 2 Juli-3 Agustus 1944, pertempuran Morotai di Morotai Halmahera Utara, pertempuran Tarakan tanggal 1 Mei-19 Juni 1945 dan pertempuran Balikpapan 7-12 Juli 1945.

c.       “lalu keturunan kita mengamuk. Mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman, yang jelas teman dijadikan musuh.”

Menjelang akhir perang dunia II tahun 1945, sebagian besar wilayah Indonesia telah dikuasai tentara sekutu. Satuan tentara Australia telah menggelar pasukannya di Makassar dan di Banjarmasin sedangkan Balikpapan diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyerah kalah. Sementara pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal Doughlas Mac Arthur, Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya.

Sesuai dengan perjanjian Wina tahun 1942, negara-negara sekutu sepakat untuk memberikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah kedudukannya. Hindia Belanda (Indonesia) harus dikembalikan kepada Belanda.

Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur. Amerika Serikat menguasai Filipina dan tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatera, Jawa dan Indocina. SEAC dengan Panglima Lord Mounbatten sebagai Komando tertinggi sekutu di Asia Tenggara bertugas melucuti bala tentara Jepang dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu.

Pada 23 Agustus 1945, Inggris bersama tentara Belanda mendarat di Sabang Aceh. Tanggal 15 September 1945, tentara Inggris selaku wakil sekutu tiba di Jakarta dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada sekutu. Kehadiran tentara sekutu ini diboncengi NICA (Netherlands Indies Civil Administration) Pemerintah sipil Hindia Belanda, yang dipimpin Dr. Hubertus J van Mook. Terjadi berbagai pertempuran pada saat masuknya sekutu dan NICA ke Indonesia yang saat itu baru menyatakan kemerdekaannya.

Keturunan Indonesia mengamuk tanpa aturan. Jepang yang jelas-jelas dulu musuhnya karena melakukan penjajahan atas Indonesia dijadikan teman. Sekutu yang dulunya teman karena telah melawan Jepang dijadikan musuh. Pertempuran yang terjadi antara Indonesia melawan tentara sekutu dan NICA adalah; peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya dan sekitarnya, Palagan Ambarawa di daerah Ambarawa, Semarang dan sekitarnya, perjuangan gerilya Jenderal Soedirman, meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur, Bandung Lautan Api, di daerah Bandung dan sekitarnya, pertempuran Margarana di Bali, serangan umum 1 Maret 1949 di Jogjakarta, pertempuran 5 hari 5 malam di Palembang, dan pertempuran 5 hari di Semarang.

d.      “mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. Yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapak.”

Yang dimaksud banyak pemimpin mendadak dengan caranya sendiri adalah Soekarno dan Hatta. Tanggal 16 Agustus 1945 dini hari, pemuda menculik Soekarno dan Hatta dan membawanya ke Rengasdengklok. Mereka meyakinkan Soekarno dan Hatta bahwa Jepang sudah menyerah (15/8) dan pemuda pejuang sudah siap untuk melawan Jepang apa pun risikonya. Malam harinya Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta bertemu dengan Jenderal Moichiro Yamamoto di kediaman Laksamana Muda Maeda Tadashi. Dari pertemuan itu Soekarno dan Hatta  menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah pada sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan. Malam itu juga Soekarno-Hatta mengadakan rapat dengan PPKI untuk mempersiapkan teks proklamasi. Keesokan harinya pada tanggal 17 Agustus 1945 “proklamasi” dibacakan. Soekarno-Hatta, yang dulunya dianggap anak kecil oleh Belanda dan Jepang sudah menjadi bapak bangsa Indonesia.

e.      “Yang mengamuk tambah berkuasa, mengamuk tanpa pandang bulu. Yang putih dihancurkan, yang hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. Seluruh nusa dihancurkan dan dikejar.

Yang dimaksud dengan “sarang tawon” adalah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Karena proklamasi mau dirusak oleh Belanda (NICA) maka seluruh bangsa Indonesia setanah air Indonesia, bangkit mengamuk melakukan perlawanan bersenjata.

f.        “Tetapi… ada yang menghentikan, yang menghentikan, adalah orang seberang.”

Agresi Belanda yang kedua, terjadi pada tanggal 19 Desember 1948 diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Hatta, Syahrir dan tokoh-tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya pemerintahan darurat Republik Indonesia di Sumatera yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara.

Untuk membuktikan kepada dunia internasional kalau negara Republik Indonesia masih ada maka diadakanlah serangan umum 1 Maret 1949 berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman terhadap kota Yogyakarta yang sudah dikuasai oleh Belanda. Sudirman ingin memperlihatkan kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia berarti juga Republik Indonesia. Belanda memberi informasi ke dunia internasional bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada. Sudirman mementahkan diplomasi Belanda dengan perang habis-habisan dengan Belanda.

Akibat dari agresi Belanda II ini, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda terutama Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda. Dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan Republik Indonesia. Tanggal 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.

Tanggal 7-10 Agustus 1949, para pejuang dan tentara pelajar (pelajar dan mahasiswa) melakukan serangan umum Surakarta. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-markas Belanda. Solo yang merupakan tempat pertahanan terkuat Belanda telah dikuasai oleh TNI bersama rakyat dengan peralatan seadanya.

Tanggal 23 Agustus- 2 Nopember 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar, di Den Haag Belanda, yang menghasilkan kesepakatan:

  • Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat
  • Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.

Kesepakatan yang ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag Belanda yang menghentikan perang antara Indonesia dan Belanda, kesepkatan inilah yang dimaksud “orang seberang” oleh Prabu Siliwangi karena memang ditandatangani oleh orang-orang di negara seberang atau Belanda. Tanggal 27 Desember 1949, bertempat di istana Dam, Amsterdam Belanda menandatangani pengakuan dan penyerahan kedaulatan Negara Republik Indonesia.

KEKUASAAN SUKARNO

Prabu Siliwangi mengatakan:

Kutipan alinea ke-XII

“Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya! Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang. Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.”

a.       “lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri pulau dewata.”

Maksudnya adalah Sukarno. Ia disebut “orang biasa” karena ia bukan keturunan orang Belanda dan orang Jepang yang pernah berkuasa. Ia adalah orang pribumi asli. “Tapi memang keturunan penguasa dahulu kala.” Maksudnya ayahnya adalah Raden Soekemi Sosrodihardjo, ia seorang guru beragama islam dan mengajar di sekolah dasar pribumi di Singaraja, Bali. Ia memperistri Ida Ayu Nyoman Rai seorang putri bangsawan pulau dewata yang beragama hindu. Putri pulau dewata inilah yang melahirkan Koesno Sosrodihardjo tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya. Di masa kecilnya Koesno sering sakit karena itu ibunya mengganti nama Koesno menjadi Karno, Karno berasal dari Karna seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha (Mahabrata). Nama Karna berubah menjadi Karno sebab dalam bahasa Jawa sebutan A berubah menjadi O. kemudian ditambah awalan “SU” yang berarti “baik.” Kalimat “ibunya adalah seorang putri pulau dewata” adalah bentuk penegasan bahwa sekalipun Sukarno adalah muslim, seorang yang beragama islam, akan tetapi di dalam dirinya terdapat sebuah alur dari sebuah keyakinan suci yang dinamakan “hindu” yang berasal dari ibunya.

b.      “Karena jelas keturunan penguasa, penguasa baru susah dianiaya.”

Keturunan penguasa yang dimaksud di sini tentu saja penguasa dalam alur keyakinan hindu yakni Dewa Wisnu, sebuah keyakinan yang sama dengan keyakinan yang dimiliki Prabu Siliwangi sendiri.

c.       “Semenjak itu berganti lagi jaman. Ganti jaman ganti cerita! Kapan? Tidak lama, setelah bulan muncul di siang hari, disusul oleh lewatnya komet yang terang benderang.”

Yang dimaksud “bulan muncul di siang hari” adalah perhitungan bulan dalam kalender hijriah yaitu 8 Ramadhan 1364 H yang bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945. “Lewatnya komet yang terang benderang” maksudnya adalah lewatnya waktu di mana matahari sudah terang benderang. Waktu yang dimaksudkan adalah jam 10.00 pagi yaitu yang digunakan oleh Sukarno saat membacakan “proklamasi” di jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat.

Dalam perspektif waktu, kita dapat menangkap sukma dari penyatuan hindu dan islam sebagaimana sukma dari wangsit Siliwangi di mana hindu merupakan sumber inspirasi yang mengikutsertakan “manusia.” Alur puncak tertinggi dalam sukma hindu adalah DEWA WISNU di mana Alquran menyebutnya sebagai KHIDIR. Karena ketidaktahuan dan keterbatasan pengetahuanlah yang menyebabkan umat islam menyebutnya sebagai Nabi Khidir. Tidak ada satu pun ayat di dalam kitab suci Alquran yang menyebut Khidir sebagai nabi, Khidir adalah seorang hamba yang diberi rahmat dan pengetahuan dari sisi Tuhan. Dewa Wisnu adalah Khidir dan Khidir adalah Dewa Wisnu. Di atas Khidir/Dewa Wisnu adalah Tuhan  Semesta Alam atau Brahman. Brahman adalah sebutan dan bukan nama Tuhan. Karena Tuhan, tidak memiliki nama. Semua yang bernama adalah hamba dari DIA YANG TAK MEMILIKI NAMA.

d.      “Di bekas negara kita, berdiri lagi sebuah negara. Negara di dalam negara dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.”

Yang dimaksud “di bekas negara kita” adalah di bekas wilayah kerajaan Pajajaran yaitu Jawa Barat, Jakarta dan Banten. “Berdiri lagi sebuah negara” maksudnya adalah negara Pasundan. Negara Pasundan berada di dalam Negara Republik Indonesia.

Negara Pasundan adalah suatu negara bagian dari negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) yang didirikan oleh Belanda pada tanggal 24 April 1948. Letaknya di bagian barat pulau Jawa (sekarang DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten) dan beribu kota di Bandung. Presiden pertama dan terakhirnya adalah Raden Arya Adipati Wiranata Koesuma.

Belanda melibatkan semua lapisan masyarakat melalui konferensi untuk membangun negara bagian Pasundan. Konferensi I dilakukan di Bandung tanggal 12-19 Oktober 1947 dihadiri 50 orang dari pejabat pemerintah, tokoh agama, kalangan swasta, tokoh pendidikan dan psikolog. Konferensi II tanggal 16-20 Desember 1947 melibatkan bangsa pribumi, pendatang Cina, pendatang, Arab dan orang Belanda dihadiri 159 orang. Konferensi III tanggal 23 Februari-5 Maret 1948, pendirian negara Pasundan dan terpilihnya Wiranata Koesuma sebagai presiden.

Wiranata Koesuma mengangkat Adil Puradirga, tokoh republik dari Paguyuban Pasundan sebagai perdana menteri. Saat terjadi agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948, Adil mengundurkan diri sebagai tanda protes kepada Belanda. Adil diganti oleh Tumenggu Djumhana. Program-program Djumhana tidak disukai oleh Belanda sehingga Belanda mengancam akan membubarkan Negara Pasundan dan akan diganti dengan pemerintahan militer, tekanan Belanda direspon dengan Wiranata Koesuma dengan balik mengancam, dia akan meletakkan jabatannya sebagai presiden, kedudukan negara Pasundan semakin lemah setelah terjadinya APRA yang dipimpin  Westerling tanggal 30 Januari 1950, presiden Pasundan menyerahkan mandatnya kepada parlemen Pasundan tanggal 8 Maret 1950, negara Pasundan resmi bubar dan kembali berada di bawah Republik Indonesia.

e.      “Dan pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran.”

Yang dimaksud “pemimpinnya bukan keturunan Pajajaran” adalah Raymond Westerling seorang mantan kapten DST KNIL. Westerling memimpin angkatan perang Ratu Adil (APRA) adalah milisi dan tentara swasta yang pro Belanda. Milisi ini terinspirasi dari “Uga Wangsit Siliwangi” yang meramalkan akan datangnya negara Ratu Adil yang akan membebaskan rakyat Indonesia dari “tirani.” Westerling memandang dirinya sebagai Ratu Adil.

Westerling berusaha untuk mempertahankan adanya negara-negara federal dalam Republik Indonesia Serikat melawan Kesatuan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta yang dianggapnya didominasi oleh orang Jawa. APRA direkrut dari 18 faksi Anti Republik yang beragam termasuk personil mantan gerilyawan Republik, Darul Islam, Ambon, Melayu, Minahasa, KNIL, dan tentara kerajaan Belanda. Tahun 1950 APRA telah berevolusi di pedesaan menjadi kekuatan tempur berjumlah 2.000 personel.

Westerling bersekongkol dengan Sultan Palembang, Sultan Hamid II yang berhaluan federalis untuk meluncurkan kudeta terhadap pemerintah Republik Indonesia yang sah. Pada tanggal 23 Januari 1950 APRA meluncurkan kudeta. Milisi ini berhasil menduduki Bandung tapi mereka gagal menduduki Jakarta dan Blora. Kegagalan kudeta ini menyebabkan adanya demoralisasi anggota milisi terhadap Westerling dan terpaksa Westerling melarikan diri ke Singapura. Tanpa pemimpin yang kuat, APRA akhirnya berhenti berfungsi pada Februari 1950. Sebelum bertugas di Cimahi, Batujajar Jawa Barat, Raymond Westerling yang lahir di Istanbul, Turki Kesultanan Utsmaniyah 1919, ia lebih dulu ditugaskan  di Makassar, Sulawesi Selatan. Sebagai komandan Depot Speciale Tropen-DSTC (Depot Pasukan Khusus) dengan pangkat Letnan II (cadangan). Ia tiba di makassar tanggal 5 Desember 1946 memimpin 120 orang pasukan khusus dari DST dan mendirikan markas di Mattoangin (sekarang asrama  prajurit TNI). Westerling menjadi terkenal namanya karena melakukan pembantaian terhadap rakyat Sulawesi Selatan antara bulan Desember 1946-Februari 1947. Metode Westerling dikenal dengan nama “Standrecht” pengadilan (dan eksekusi) di tempat.

Menurut pemerintah Republik Indonesia, rakyat Sulawesi Selatan yang dibantai oleh Westerling berjumlah 40.000 orang, menurut hasil penyelidikan Belanda jumlahnya sekitar 3.000 orang. Pengakuan Westerling mengatakan hanya 600 orang. Makassar adalah sasaran pertama pembantaian menyusul pembantaian tahap kedua di Palombangkeng dan Gowa. Tahap ketiga pertengahan Januari 1947 sasaran pembantaian adalah Pare pare, Enrekang, Tabalangi, Soppeng, Barru, Malimpung, dan Suppa. Selanjutnya pembantaian dilakukan di daerah Mandar, Majene, dan Sendana.

KEKUASAAN SOEHARTO

Kutipan alinea ke-XIII

“Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin. Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah.  Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya. Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli. memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.”

a.       Lalu akan ada penguasa, tapi penguasa yang mendirikan benteng yang tidak boleh dibuka, yang mendirikan pintu yang tidak boleh ditutup, membuat pancuran ditengah jalan, memelihara elang dipohon beringin.

Penguasa yang dimaksud adalah Soeharto. Ia lahir di dusun Kemusuk, Desa Agromulyo, Bantul, Yogyakarta tanggal 8 Juni 1921. Ia anak ketiga dari Sukirah dan Kertosudiro, petugas pengatur air desa. Setelah menamatkan SD, ia melanjutkan di SMP Muhammadiyah Yogyakarta dan aktif di kepanduan Hizbul wathan. Pada 1 Juni 1940, ia menjadi tentara KNIL (pasukan Belanda). Saat Perang Dunia berkecamuk pada 1942, ia direkrut oleh Jepang sebagai tentara PETA dengan jabatan komandan resimen dengan pangkat mayor lalu komandan batalion dengan pangkat Letnan Kolonel. Tanggal 5 Oktober 1945 ia resmi menjadi anggota TNI. Tahun 1948 ia memimpin Brigade Garuda Mataram ke Makassar untuk menumpas pemberontakan Andi Azis. Pada 1 Maret 1949, atas saran Sri Sultan Hamengku Buwono IX, ia memimpin serangan umum yang berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam untuk membuktikan bahwa Republik Indonesia masih ada. Pada 1 Januari 1957, pangkatnya dinaikkan menjadi Kolonel dengan jabatan Panglima Tentara dan Teritorium IV Diponegoro. Pada 1 Januari 1960 dinaikkan menjadi Brigadir Jenderal dan menyabet Deputi I kepala staf Angkatan Darat.

Pada 1 Januari 1962, pangkatnya  dinaikkan Mayor Jenderal dan menjadi Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat dan bermarkas di Makassar. Pertengahan 1962, ia diangkat menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) hingga 1965. Pada 1 Mei 1963 ia membentuk Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk mengimbangi pergerakan bersenjata PKI. Pada 1 Oktober 1965, Letnan Kolonel Untung Syamsuri, pasukan pengawal presiden Tjakrabirawa bersama pasukan lainnya menculik dan membunuh enam jenderal. Satu yang terselamatkan dan tidak menjadi target pembunuhan adalah Mayor Jenderal Soeharto. Dalam peradilan militer Letkol Untung mengatakan mereka mencoba menghentikan kudeta militer yang didukung CIA untuk menyingkirkan Soekarno pada hari ABRI 5 Oktober 1965. Karena itu mereka lebih dulu bergerak melakukan penculikan dan pembunuhan. Sebagai Pangkostrad, Soeharto segera mengamankan Jakarta. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 yang memberi kewenangan dan mandat kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Langkah pertama yang ia ambil membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia, menyingkirkan Angkatan Bersenjata yang dinilai pro Soekarno dan pro komunis. Tindakan ini memaksa Soekarno menyerahkan kekuasaan eksekutif. Melakukan pembunuhan secara sistematis sekitar 500.000 “tersangka komunis.”

Tanggal 1 Juli 1966, Soeharto menerima kenaikan pangkat sebagai Jenderal bintang empat. Tanggal 7 Maret 1967, berdasarkan Tap MPRS, Soeharto ditunjuk sebagai pejabat presiden. Tanggal 27 Maret 1968, ia resmi diangkat sebagai presiden setelah laporan pertanggungjawaban Soekarno (NAWAK SARA) ditolak oleh MPRS. Setelah menggabungkan kekuatan-kekuatan partai politik, 23 Maret 1973 ia dilantik untuk jabatan presiden yang kedua kali. Ia menjadikan partai Golkar menjadi partai favorit dan satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah. Prabu Siliwangi mengatakan “memelihara elang di pohon beringin.”

b.      “Memang penguasa buta! Bukan buta pemaksa, tetapi buta tidak melihat, segala penyakit dan penderitaan, penjahat juga pencuri menggerogoti rakyat yang sudah susah.”

Soeharto meningkatkan dana militer dan mendirikan dua badan intelijen yaitu Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Sekitar 2 juta orang dieksekusi dalam pembersihan massal dan lebih 200.000 orang ditangkap hanya karena dicurigai terlibat dalam kudeta. Central Intelligent of America (CIA) memegang posisi kunci untuk menaikkan Soeharto di kekuasaan sekaligus mempertahankannya. Selain untuk kepentingan sumber daya alamnya dan populasi konsumen yang besar, Indonesia juga dijadikan bumper bagi Amerika untuk menghancurkan komunis di Asia Tenggara. Tanggal 22 Maret 1978, Soeharto dilantik lagi sebagai Presiden untuk ketiga kalinya.

c.       “Sekalinya ada yang berani mengingatkan, yang diburu bukanlah penderitaan itu semua tetapi orang yang mengingatkannya.”

Pengingat yang dimaksud oleh Siliwangi adalah pers. Pada 20 Januari 1978 Soeharto melarang terbit tujuh surat kabar yang selalu mengkritik pemerintah yaitu; Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesia Times, Sinar Pagi, dan Pos Sore.

d.      “Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala”

Pada Sidang Umum MPR 1 Maret 1983, Soeharto kembali terpilih sebagai presiden yang keempat kalinya. Tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 juta ton. Hasilnya Indonesia berhasil swasembada beras. Kesuksesan ini mendapat penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) tahun 1985. Selain swasembada beras juga dilakukan program Keluarga Berencana dan Rumah untuk keluarga. Pada masa pemerintahannya, Soeharto menetapkan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan pemerintah. Kemajuan ekonomi di saat pemerintahan Soeharto dianggap sangat signifikan sehingga Indonesia sempat dimasukkan dalam negara yang mendekati negara-negara industri baru bersama dengan Malaysia, Filipina, Thailand, selain Singapura, Republik Tiongkok dan Korea Selatan.

Wakil-wakil presiden yang mendampingi presiden Soeharto secara berturut-turut adalah; Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1973-1978), Adam Malik (1978-1983), Tri Sutrisno (1993-1998) dan BJ. Habibie (1998). Semua perkataan dan tindakan Soeharto senantiasa diikuti, dibenarkan, dan ditaati oleh rakyat, akibatnya tanpa disadari, Soeharto menjadi sosok yang dikultuskan di Indonesia, baik oleh rakyat maupun oleh seluruh aparat pemerintah tanpa kecuali. “Memerintah sambil menyembah berhala” begitu istilah Prabu Siliwangi. Soeharto adalah berhalanya.

e.      “Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri.”

Yang membuat anak muda salah pergaulan disebabkan karena Soeharto memberlakukan Asas Tunggal Pancasila. Pancasila dijadikan sebagai satu-satunya asas seluruh organisasi kemasyarakatan dan partai politik.

f.        “Wajar saja bila kolam semuanya mengering, pertanian semuanya puso, bulir padi banyak yang diselewengkan, sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar kebelinger.”

Pada tahun 1997, menurut Bank Dunia, 20 sampai 30% dana pembangunan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun. Krisis finansial Asia pada tahun yang sama tidak membawa hal bagus bagi pemerintah Soeharto ketika ia dipaksa untuk meminta pinjaman, yang juga berarti pemeriksaan menyeluruh dan mendetail dari IMF. Pada tahun itu, Indonesia sangat bergantung pada donor internasional. Indonesia tidak tangguh menghadapi krisis finansial, sebab manajemen ekonomi Indonesia selama ini bertumpu dalam sistem “trickle down effect” (menetes ke bawah) yang mementingkan pertumbuhan dan pengelolaan ekonomi pada segelintir kalangan yang disebut konglomerat. Selam 32 tahun pemerintahannya, telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan pelanggaran HAM. Setelah beberapa demonstrasi, kerusuhan, tekanan politik, dan militer yang berpuncak pada pendudukan gedung DPR/MPR RI, presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. “Sebab yang berjanjinya tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar kebelinger” begitu kata Prabu Siliwangi. Pemerintahan Soeharto dilanjutkan oleh wakil presiden Republik Indonesia, BJ. Habibie.

MISTERI PEMUDA BERJANGGUT

Kutipan alinea XIV

“Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar kebelinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan kepenjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.”

Prabu Siliwangi mengatakan:

a.       “Pada saat itu.” Maksudnya saat ketika Soeharto masih berkuasa dan menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Yang “saat itu” diperkirakan waktunya sekitar tahun 1997.

b.      “datang.” Menurut KBBI “datang” artinya “tiba di di tempat yang dituju.” Indonesia yang kala itu masih dipimpin oleh Soeharto adalah negara yang dituju oleh…

c.        “pemuda berjanggut.” Secara alamiah dan pada umumnya semua laki-laki dewasa ditumbuhi rambut pada bagian-bagian tubuhnya yaitu kumis, janggut, cambang, ketiak, paha/betis dan sekitar kemaluan. Namun hanya islam sebagai satu-satunya agama yang mewajibkan penganutnya memelihara janggut.

Nabi Muhammad bersabda: “habiskanlah kumis dan biarkanlah janggut (memanjang).” (HR. Bukhori). Pada hadist lain Nabi Muhammad bersabda: “berbedalah dengan kamu musyirikin, peliharalah janggut dan cukurlah kumis” (HR. Muslim). Dapat dipastikan “pemuda berjanggut” yang dimaksudkan berasal dari golongan islam. Menurut Undang-Undang No. 40/2009 tentang Kepemudaan yang mengatur batasan usia pemuda antara 16-30 tahun. Diperkirakan usia pemuda berjanggut ketika “datang” ke Indonesia berkisar 30 tahun lebih sebagai suatu usia yang betul-betul matang dan mantap, kuat, kokoh, dan berjiwa ksatria.

d.      “datangnya.” Kata “datangnya” mempertegas kembali kalau pemuda berjanggut (islam) itu datang (berasal) dari suatu tempat dan akhirnya tiba di Indonesia.

e.      “memakai baju serba hitam.” Oleh karena tidak disebutkan memakai “celana” maka yang dimaksud “baju serba hitam” adalah baju panjang sampai di bawah lutut, berlengan panjang seperti yang dipakai oleh orang Arab. Baju semacam itu disebut jubah. Jubah serba hitam. Dengan memakai baju serba hitam atau jubah serba hitam yang merupakan identitas/ciri khasnya sebagai orang yang berasal dari Arab. Dengan begitu kita dapat memastikan kalau pemuda berjanggut itu “datangnya” dari tanah Arab. Menurut ilmu psikologi, warna “hitam” berkesan tertutup, tersembunyi dan penuh dengan rahasia.

f.        “sambil menyanding sarung tua.”

Menyanding berasal dari kata “sanding.” Menurut KBBI sanding artinya dekat, damping, membarengi, menemani. Dalam kalimat: “pemuda berjanggut memakai baju (jubah) serba hitam sambil menyanding (mendampingi, membarengi, menemani) sarung tua.” Dari kalimat itu kita dapat mengerti dan memahami kalau “sarung tua” adalah sumber inspirasi dan kekuatan utama pemuda berjanggut. Oleh karena “sarung tua” adalah sumber utama maka “sarung tua” harus dijadikan fokus perhatian utama kita dalam melakukan kajian-kajian kritis dan analisis yang mendalam terhadap hakikat utama “sarung tua.”

Cakra Ningrat berpandangan: yang dimaksud “sarung tua” adalah Kiswah yang menutupi Ka’bah di Mekah Saudi Arabia. Kiswah (bahasa Arab) berarti “selubung” yaitu kain sarung penutup atau baju biasa juga diartikan sarung kelambu yang menutupi Ka’bah. Kiswah Ka’bah berwarna hitam mulai dari khalifah Abdullah bin ar-Rasyid bin al-Mahdi yang dikenal dengan Al Makmun ar-Rasyid (tahun 813-833). Beliau adalah putra Harun ar Rasyid dari Bani Abbasiyiah. Sejak saat itu hingga saat ini Kiswah Ka’bah selalu berwarna hitam dan diganti setahun sekali setiap tanggal 9 Dzulhijjah.

Oleh karena “sarung tua” adalah Kiswah (sarung penutup) Ka’bah maka pemuda berjanggut yang memakai baju (jubah) serba hitam sebagaimana warna hitamnya Kiswah maka kita dapat memahami dari mana asal datangnya pemuda berjanggut tersebut.

Nabi Muhammad bersabda: “Akan dibai’at seorang laki-laki antara makam Ibrahim dengan sudut ka’bah.” (HR. Ahmad).

Ka’bah adalah Bait Suci atau tempat beribadah kepada Allah yang pertama kali didirikan di muka bumi.

“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”  Alquran 3:96 dan 97.

Maqam Ibrahim berarti “tempat kaki berpijak” Nabi Ibrahim saat membangun Ka’bah. Batu maqam (tanda) Ibrahim sekarang ini ditutup perak, sedangkan bekas kedua telapak kaki Nabi Ibrahim panjangnya 27 cm, lebarnya 14 cm dan dalamnya 10 cm nampak dan jelas dilihat. Atas perintah Khalifah Abdullah bin ar Rasyid bin al-Mahdi, di sekeliling batu maqam Ibrahim itu telah diikat dengan perak dan dibuat kandang besi berbentuk sangkar burung. Maqam Ibrahim terletak di sebelah timur Ka’bah, jaraknya tiga meter di depan pintu Ka’bah. Di samping pintu Ka’bah terdapat Hajar Aswad. Antara pintu Ka’bah dan Hajar Aswad disebut Multazam.

Ka’bah merupakan kiblat shalat (sembahyang) umat islam di seluruh dunia, berbentuk kubus, terdiri atas empat sudut yang disebut rukun yaitu: rukun Aswad, rukun Iraqi, rukun Syami, dan rukun Yamani. Rukun Aswad memiliki kedudukan paling tinggi dan paling mulia karena di rukun itu terdapat Hajaratul Aswad (batu hitam) Maqam Ibrahim berjarak 3 meter di depan rukun (sudut) Aswad. Hadits nabi yang mengatakan “Akan dibaiat seorang laki-laki antara maqam Ibrahim dengan sudut Ka’bah.” Dapat dipastikan bahwa sudut yang dimaksud oleh nabi adalah sudut Aswad. Hanya saja tidak dapat kita pastikan posisi tepatnya laki-laki itu dibai’at apakah tepat di depan pintu Ka’bah, atau di depan Multazam ataukah di depan Hajaratul Aswad karena ketiga posisi itu berada di sudut Aswad antara Maqam Ibrahim.

Menurut KBBI “baiat” artinya pelantikan secara resmi; pengangkatan; pengukuhan. Siapakah laki-laki yang dibaiat? Cakra Ningrat berpandangan; laki-laki yang dibaiat antara maqam Ibrahim dengan sudut Ka’bah adalah pemuda berjanggut. Laki-laki itu telah dilantik secara resmi oleh Allah, Tuhan Semesta Alam dan diberi gelar sebagai IMAM MAHDI. Imam Mahdi artinya “seseorang yang memandu.” Ia adalah pandu (penunjuk jalan, perintis jalan) bagi seluruh umat manusia untuk mencapai kebenaran. Hakikat “kebenaran” universal sejatinya adalah Tuhan Semesta Alam. Kerahasiaan Tuhan adalah kerahasiaan Imam Mahdi karena itu tidak ada satu pun ayat di dalam kitab suci Alquran yang dapat kita jadikan rujukan atau pedoman untuk mengungkap jati dirinya, tugas-tugasnya serta perintah-perintah Tuhannya yang (akan) dikerjakan oleh Sang Pemandu. “Memakai baju serba hitam” memberi kesan serba misteri, serba tertutup, serba tersembunyi dan serba penuh dengan rahasia. Tiada yang mengetahui dirinya kecuali dirinya sendiri.

g.       “membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar keblinger, maunya menang sendiri.”

Pada point a sudah disebutkan bahwa saat kedatangan Pemuda Berjanggut Presiden Soeharto masih berkuasa, maka dapat dipastikan orang yang pertama “ditegur” karena sudah salah arah adalah Soeharto. Soeharto berkuasa di Indonesia selama 32 tahun dengan “tangan besi.” Semua orang takut kepadanya. Tidak ada yang berani menegurnya. Tidak ada yang berani mengingatkannya, kecuali Pemuda Berjanggut. Oleh karena teguran Pemuda Berjanggut tidak dianggap (tidak dituruti atau diindahkan), maka Pemuda Berjanggut meruntuhkan kekuasaanya dan menenggelamkannya ke dalam lautan sejarah.

h.      “Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian.” Kalimat ini bentuknya seperti kalimat tunggal yang berdiri sendiri. Kalimat ini tidak ada hubungannya dengan kalimat sebelumnya dan kalimat sesudahnya dalam satu alinea atau dalam satu paragraf. Kalimat ini perlu mendapat perhatian khusus dalam kajian kritis dan analisis yang mendalam oleh karena hakikat “Pemuda Berjanggut” justru terdapat dalam kalimat tersebut.

Ditafsirkan:

1.       “Mereka tidak sadar.”

Yang dimaksud “mereka” oleh Prabu Siliwangi adalah Soeharto. Ia tidak sadar telah menempatkan dirinya sebagai “Dewa” yang menentukan nasib bangsa Indonesia. Ia dipuja, disembah, disanjung, ditakuti oleh seluruh bangsa Indonesia sama seperti ketika Firaun, dipuja, disembah, disanjung, dan ditakuti oleh Bani Israil. Soeharto merupakan inkarnasi Firaun atau penggenapannya.

2.       “Langit sudah memerah.” Dalam Alquran Allah berfirman: “Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak.” (QS 55:37)

Di masa lalu, dengan dipimpin Musa, Allah menyelamatkan bani Israil dengan “membelah laut merah” dan menenggelamkan Firaun. Di masa akhir zaman, dengan dipimpin Pemuda Berjanggut, Allah menyelamatkan bangsa Indonesia dengan “membelah langit.” Langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak dan runtuhlah segala kekuasaan rezim Soeharto pada 21 Mei 1998.

3.       “Asap mengepul dari perapian.”

“Api” merupakan sumber utama perapian, “Api” juga yang jadi penyebab utama asap mengepul, yang menyebabkan langit memerah. Tegasnya “Api” adalah “sebab.” Akibatnya kekuasaan Soeharto, tumbang!

Dalam Alquran Allah berfirman:

“Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu” Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: “Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).” QS 20:9-13.

“Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia berangkat dengan keluarganya, dilihatnyalah api di lereng gunung ia berkata kepada keluarganya: “Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan” Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam,” QS 28:29-30.

Nabi Musa melihat dan berada di dekat “Api” kemudian mendengar suara Tuhan. Ia memperkenalkan diri-Nya kepada Musa dengan berfirman: “Hai Musa, sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu.” (QS 20:11-12). “Ya, Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam.” (QS 28:30)

Di manakah Tuhan? Apakah Ia di dalam Api atau pada suara? Tuhan adalah pemilik Api dan pemilik suara. Tuhan tidak berada di dalam Api, juga tidak berada di dalam suara. Tuhan berada di balik Api juga berada di balik suara. Hubungan transendental manusia dengan Tuhan di alam semesta diantarai oleh Api. Api itu adalah matahari. Api yang mengantarai manusia dengan Tuhan di dalam diri manusia adalah darah. Ada pun suara, suara itu berasal dari roh. Tuhan berada di balik roh manusia.

i.          “Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukkan ke penjara.”

Menurut KBBI “alih-alih” artinya dengan tidak disangka-sangka. “Dianggap” artinya dipandang. Pemuda berjanggut menganggap dirinya tidak akan dapat diketahui oleh manusia, sebab dia “memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua.” Pemuda berjanggut sangat merahasiakan jati dirinya serba misteri dan serba tertutup. Ternyata; “dengan tidak disangka-sangka” (alih-alih), dipandang (dianggap), ada seorang yang memandang Pemuda Berjanggut dalam sudut pandang yang sesungguhnya. Orang itu adalah orang terpandang dan terkemuka dalam kaumnya. Ia bergelar, berkedudukan di dalam nama Sultan. Ia mewakili manusia dalam berbagai agama dan keyakinan dalam memandang Pemuda Berjanggut meski ia sendiri seorang muslim.

j.        “pemuda berjanggut ditangkap.” Ditafsirkan maksudnya adalah:

  1. Sultan sebagai seorang muslim “menangkap” sosok nyata Pemuda Berjanggut sebagai Khidr (Nabi Khidr) yang bergelar Imam Mahdi.
  2. Sultan sebagai seorang yahudi “menangkap” sosok nyata Pemuda Berjanggut sebagai Nabi Elia (Nabi Ilyas). Elia artinya Yah Weh adalah Elohim
  3. Sultan sebagai seorang kristen “menangkap” sosok nyata Pemuda Berjanggut sebagai Roh Kudus yaitu Suara dan Api.
  4. Sultan sebagai seorang Zoroastrianis “menangkap” sosok nyata Pemuda Berjanggut sebagai Ahura Mazda (Tuhan tertinggi). Ahura Mazda adalah pencipta dan penegak asha (kebenaran), tetapi tidak mahakuasa, akan tetapi Ahura Mazda akan menghancurkan segala kejahatan.
  5. Sultan sebagai seorang hinduis “menangkap” sosok nyata Pemuda Berjanggut dalam tiga pandangan sebagai:
    1. Dewa Brahma (Dewa Pencipta) yang diidentikkan dengan nama Agni (Api)
    2. Penjelmaan kesepuluh Dewa Wisnu (Dewa Pemelihara) yang disebut Kalki Awatara (Sang Penghancur). Ia akan menghancurkan segala sesuatu yang tidak perlu lagi dipelihara
    3. Dewa Siwa dalam kepribadian Dewa Rudra (Dewa Pelebur) yang mengerikan dan menakutkan 

k.       “dimasukkan penjara” Maksudnya Sultan menjaga Pemuda Berjanggut. Sultan melayani Pemuda Berjanggut. Sultan menjalankan segala perintah dan keinginan pemuda berjanggut. Bagi Sultan, Pemuda Berjanggut adalah rajanya dan sembahannya. Bagi Pemuda Berjanggut, Sultan adalah hamba dan suruhannya.

l.         “Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain maksudnya mengacak-ngacak keyakinan dan paham-paham manusia. Mereka menganggap semua manusia “salah” yang “benar” hanya Pemuda Berjanggut.

m.    “beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan.” Maksudnya “mereka” beranggapan semua orang adalah musuhnya karena itu semua musuhnya diacak-acak agar musuh melakukan serangan. Bila musuh telah melakukan penyerangan maka Pemuda Berjanggut yang bergelar Imam Mahdi yang dijuluki Kalki Sang Penghancur akan menghancurkannya.

Pemuda Berjanggut sudah tidak ada lagi di Indonesia, karena itu kita tidak perlu membuang-buang waktu mencarinya. Dia sudah kembali ke asalnya di Makkatul Mukarramah. Antara maqam Ibrahim dan sudut Ka’bah, di situlah asalnya. Dia menjaga tempat peribadatan manusia yang pertama di muka bumi. Dialah Khidr. Dialah Imam Mahdi. Dialah Nabi Elia (Nabi Ilyas). Dialah Kalki Awatara.

Berdasarkan analisis perspektif waktu menurut wangsit Prabu Siliwangi, diperkirakan Pemuda Berjanggut meninggalkan Indonesia sekitar tahun 2009 atau awal tahun 2010. Estimasi waktu ini berdasarkan wangsit Siliwangi pada alinea IV “suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari Gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itulah tandanya.” Suara yang dimaksud adalah kecelakaan Sukhoi 9 Mei 2012. Cakra Ningrat memperkirakan Pemuda Berjanggut sudah meninggalkan Indonesia tiga tahun sebelum kejadian itu. Perkiraan ini bersifat relatif dan tidak pasti.

Berdasarkan wangsit Prabu Siliwangi, Pemuda Berjanggut akan datang lagi ke Indonesia. Kedatangan untuk kedua kalinya. Yang menanti dan mengetahui kedatangannya adalah Anak Gembala. Bila pemuda Berjanggut datang, dia sudah tidak lagi memakai pakaian serba hitam dan tidak lagi menyanding sarung tua. Dia datang dengan menggunakan pakaian ihram. Pakaian yang sama dengan yang dikenakan oleh umat islam yang melakukan tawaf di Ka’bah. Pakaian yang sama dengan yang dikenakan oleh para biksu (pendeta buddha). Dia menyebut dirinya sebagai Buddha Maitreya. Dia datang untuk membawa pergi Anak Gembala membuka lahan baru di Lebak Cawene.

KEKUASAAN NAFSU

Kutipan alinea XV

“Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan. Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri, kapan waktunya? Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.”   

a.       Waspadalah!

Prabu Siliwangi membuka alinea XV dengan satu kata yang sangat tegas; waspadalah!

Siapa yang harus kita waspadai?

Yang mesti kita waspadai adalah nafsu!

b.      “sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran,”

Kenapa “nafsu” melarang menceritakan Pajajaran? Misteri apa yang tersembunyi di balik Pajajaran?

Pajajaran adalah kerajaan Sunda yang beribu kota di Pakuan Pajajaran sehingga disebut Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Pajajaran berasal dari Kerajaan Tarumanegara.  Di bekas wilayah Kerajaan Tarumanegara pernah berdiri sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Atlantis. Kerajaan Atlantis adalah Kerajaan Surga, di mana Adam dan Hawa (manusia) memulai kehidupan. Kerajaan Atlantis tenggelam akibat ledakan Gunung Krakatau purba di Selat Sunda. (Baca “Atlantis” oleh: Prof. Arysio Santos).

Di bekas wilayah Kerajaan Atlantis, berdiri Kerajaan Tarumanegara. Di bekas wilayah Kerajaan Tarumanegara berdiri Kerajaan Sunda Pajajaran. Di bekas wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran terdapat kota Jakarta yang merupakan ibu kota negara Republik Indonesia. Wilayah Republik Indonesia sekarang meliputi seluruh wilayah Kerajaan Atlantis.

c.       “sebab takut ketahuan, bahwa mereka yang menjadi gara-gara selama ini.”

Sejak dahulu hingga sekarang, manusia saling bermusuh-musuhan, saling menindas, saling kuasa menguasai pada hakikatnya penyebabnya adalah “nafsu manusia.”.

d.      “penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule.”

Yang dimaksud penguasa buta adalah BJ Habibie, KH Abdul Rahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri. Habibie dianggap penguasa yang hatinya buta. Gus Dur penguasa yang buta jiwanya , sedangkan Megawati adalah penguasa yang akalnya buta.

e.      “mereka tidak sadar zaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.”

Maksudnya ketiga penguasa tersebut (Habibie, Gus Dur, dan Megawati) tidak menyadari kalau manusia-manusia Indonesia kelakuannya sudah seperti hewan sebab hati, jiwa, dan akalnya telah dibutakan oleh nafsu yang ada di dalam diri manusia Indonesia.

f.     “kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka.”

Maksudnya; ketiga penguasa tersebut tidak banyak membawa kebaikan buat rakyat Indonesia.

g.       Penguasa itu menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri. Kapan waktunya? Waktunya adalah:

  1. Prof. Dr. Ing. H. BJ. Habibi dari tanggal 1 Mei 1998 sampai dengan tanggal 20 Oktober 1999. Habibie mewarisi kondisi keadaan negara yang kacau balau pasca pengunduran diri Soeharto.
  2. KH. Abdul Rahman Wahid dari tanggal 20 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Ia dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilu tahun 1999. Ia dimakzulkan dalam sidang MPR tanggal 23 Juli 2001 karena kasus Buloggate dan Bruneigate.
  3. Megawati Soekarno Putri dari tanggal 23 Juli 2001 sampai tanggal 20 oktober 2004.

Ketiganya tidak lama memegang kendali kekuasaan sebagaimana yang disampaikan oleh Prabu Siliwangi.

MUNCULNYA ANAK GEMBALA

“Nanti, saat munculnya anak gembala! di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.”

a.       “Nanti, saat munculnya anak gembala.”

Kata “nanti” menandakan Uga Wangsit Siliwangi sudah ditulis sejak beberapa ratus tahun yang lalu sehingga kata “nanti” diartikan sebagai sesuatu yang belum terjadi. Namun faktanya seiring waktu berjalan, sesuatu yang belum terjadi itu ternyata sudah terjadi. Diperkirakan Anak Gembala sudah muncul pada tahun 2003 sesuai dengan tanda-tanda berikut ini:

b.      “di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara.”

Maksudnya adalah Pemilu dengan sistem proporsional terbuka (open list) yang diikuti 24 Partai Politik yang dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004. Pemilu ini merupakan Pemilu paling rumit dalam sejarah Indonesia karena penduduk Indonesia harus memilih wakil rakyat di DPR, DPD, dan DPRD. Setelah Pemilu Legislatif, diadakan lagi Pemilihan Umum Presiden dan wakil Presiden sebanyak dua putaran yaitu tanggal 5 Juli 2004 dan 20 September 2004. Pemilihan Umum ini adalah yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia.

c.       “Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar.”

Maksudnya gambaran keadaan rakyat yang meskipun tidak tahu masalah menjadi gila dalam kampanye-kampanye dan ikut-ikutan bertengkar mendukung calon yang dijagokan.

d.      “dipimpin oleh pemuda gendut!”

Maksudnya Susilo Bambang Yudhoyono. Ia terpilih  dalam dua kali Pemilihan Umum Presiden. Ia menjabat presiden selama 10 tahun atau 2004-2009 dan 2009-2014.

e.      “Sebabnya bertengkar? Memperebutkan tanah.”

Memperebutkan tanah maksudnya memperebutkan kekuasaan yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada atau Pemilukada) dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Sebelum tahun 2005, Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Pilkada pertama kali bulan Juni 2005. Pilkada langsung diselenggarakan setelah Pemuda Gendut (Susilo Bambang Yudhoyono) terpilih sebagai Presiden periode pertamanya tahun 2004.

f.        “ Yang sudah punya ingin lebih.”

Maksudnya yang sudah Bupati/wakil Bupati atau Wali Kota/wakil Wali Kota mau jadi Gubernur. Yang sudah terpilih satu periode mau dua periode, yang tadinya hanya wakil mau naik jadi kepala daerah atau Wali Kota, dsb.

g.       “ Yang berhak meminta bagiannya.”

Maksudnya tim sukses yang berhasil mendudukkan jagoannya meminta agar kepentingan-kepentingannya diakomodir oleh pejabat yang terpilih.

h.      “ Hanya yang sadar pada diam. Mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.”

Adalah sikap sebagian besar rakyat yang tidak tahu apa-apa. Mereka hanya menonton, tidak dapat apa-apa tapi suaranya dibutuhkan. Setelah itu mereka dilupakan.

INDONESIA HEBAT

Kutipan alinea XVI

“Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!”

a.       “Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong”

Maksudnya setelah Joko Widodo terpilih sebagai presiden periode 2014-2019, Tim Sukses yang dulu mendukung baru menyadari ternyata mereka belum mendapat apa-apa, atau tidak diberi perhatian, atau dilupakan bahkan dicampakkan. Rakyat juga baru menyadari ternyata apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan yang didapatkan.

b.      “sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang.”

Maksudnya istana negara sebagai pusat kekuasaan sudah dikuasai oleh mereka yang banyak mengeluarkan uang saat pemilihan presiden. Akibatnya segala sesuatu jabatan dan kebijaksanaan hanya diperuntukkan untuk bagi yang punya uang.

c.       “para penguasa lalu menyusup.”

Akan terjadi suatu gerakan infiltrasi (penyusupan) dari para penguasa. Yang dimaksud dengan “para penguasa” ialah para leluhur-leluhur manusia. Tidak diketahui kapan terjadinya gerakan itu tapi waktu terjadinya sudah dekat. Para penyusup akan melakukan gerakan infiltrasi melalui hati, jiwa dan akal pikiran manusia. Sungguh membuat segalanya menjadi kacau balau. Mungkin ini yang dimaksud dengan goro-goro.

d.      “ yang bertengkar ketakutan”

Maksudnya manusia-manusia akan bertengkar dengan leluhurnya sendiri. Di dalam dirinya sendiri. Leluhur dan manusia (anak-cucunya) sama-sama ketakutan.

e.      “ketakutan kehilangan negara.”

Maksudnya ketakutan kehilangan kekuasaan. Artinya apa saja yang selama ini dikuasai oleh manusia seperti takut kehilangan kekuasaan terhadap harta bendanya, takut kehilangan kekuasaan terhadap anaknya, istrinya atau suaminya, dsb. Ketakutan-ketakutan itu terjadi di dalam dirinya sendiri. Tercipta delusi, ilusi, halusinasi, dan terjadi kegilaan.

f.        “lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang.”

g.       “semua mencari tumbal”

h.      “tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!”

Menurut KBBI lebak artinya; tempat air yang tergenang dan di dalamnya terdapat lumpur yang dalam.

Cawene (bahasa sunda) artinya perawan(tidak pernah disentuh oleh laki-laki).

Lebak Cawene adalah suatu tempat yang tidak diketahui oleh manusia dan tidak pernah disentuh oleh laki-laki. Kemungkinan Lebak Cawene yang dimaksud oleh Prabu Siliwangi adalah Bait Allah di Yerussalem. Apakah Pemuda Berjanggut membawa Anak Gembala ke Yerussalem? Bisa iya bisa juga tidak!

KEKUASAAN DI ZAMAN BARU

Kutipan alinea XVII

“Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, Setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.”

a.       “ yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati.”

Maksudnya segalanya akan nyata ditemui. Semuanya akan sirna. Dunia beserta seluruh isinya akan sirna. Kehidupan dunia ini hanya kenikmatan sesaat setelah itu semuanya akan dilebur kembali.

b.      “dengarkan! Zaman akan berganti lagi”

Maksudnya; dunia yang sudah usang ini akan dilebur kembali. Umat islam dan kristen menyebutnya  sebagai Kiamat. Umat Yahudi mengatakan sebagai Hari Tuhan Yang Dahsyat. Umat hindu menyebut Maha Pralaya (peleburan kembali).

c.       “ tapi nanti”

Maksudnya tidak diketahui kapan waktunya. Kebanyakan orang sudah mulai merasakan sehingga sudah bisa memperkirakan bila waktunya sudah dekat (tidak lama lagi)

d.      “ setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung.”

Maksudnya;

  1. Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya dan gunung-gunung dihancur luluhkan sehancur-hancurnya, maka jadilah dia debu yang beterbangan (QS 56:4-6)
  2. Gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan (QS 101:5). Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang beterbangan)(QS 70:9).
  3. Pada hari ketika langit benar-benar bergoncang dan gunung-gunung berjalan (QS 52:9-10).
  4. Pada hari bumi dan gunung-gunung bergoncangan, dan menjadilah gunung-gunung itu tumpukan-tumpukan pasir yang beterbangan (QS 73:14)

e.      “ Ribut lagi seluruh bumi.”

Oleh karena: pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran (QS 101:4) … lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk … (QS 22:2). Celakalah ibu-ibu yang sedang hamil atau yang menyusukan bayi pada masa itu (Injil Matius 24:19)

f.        “ orang Sunda dipanggil-panggil, orang Sunda memaafkan”

Maksudnya Uga Wangsit Siliwangi telah nyata kebenarannya. Prabu Siliwangi (orang Sunda) dipanggil-panggil, orang Sunda (Prabu Siliwangi) memaafkan. Terhadap mereka yang pernah secara semena-mena melakukan penghinaan atau menyepelekan, merendahkan dan menolak Kebenaran Uga Wangsit Siliwangi.

g.       “Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati.”

Maksudnya “ Pajajaran Baru yang berdiri oleh perjalanan waktu.” Pajajaran Baru, di Zaman Baru, di wilayah Baru. Disebut wilayah baru berarti bukan lagi di bumi ini sebab “Dunia” beserta seluruh isinya telah dihancurkan oleh Sang Penghancur (Kalki Awatara), di hari kiamat, di hari Tuhan yang dahsyat itu.

Yang dimaksud Pajajaran Baru oleh Prabu Siliwangi adalah Kerajaan Allah. Dalam Kitab Mazmur (Zabur) 103:9 dikatakan “ Tuhan sudah menegakkan takhta-Nya di surga dan kerajaan-Nya berkuasa atas segala sesuatu.” Dalam Alquran 67:1 “ Maha Suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Ratu Adil Yang Sejati adalah Tuhan Semesta Alam. Ia disebut “Ratu” sebab Ia berdiri dengan sifat-sifat feminin-Nya Yang Penuh Kasih dan Maha Penyayang. Kerajaan-Nya dipenuhi dengan “Kesejahteraan” sebab Ia Maha Pemberi Kesejahteraan (As Salam) dan “Kecukupan “ sebab Ia Maha Pemberi Kecukupan (Al Muqit).

PERINTAH PRABU SILIWANGI

“Tapi Ratu siapa? Dari mana asalnya Sang Ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian Anak Gembala.”

a.       “tapi ratu siapa? Dari mana asalnya Sang Ratu?”

Prabu Siliwangi sengaja merahasiakan hakikat Sang Ratu untuk menjaga kesucian-Nya sekaligus menjaga “kesucian” wangsit ini. Tidak ada yang mengetahui asalnya Sang Ratu. Sang Ratu tidak berasal tapi Dia adalah “asal” dari segala sesuatu.

Sebagai seorang raja hindu, Prabu Siliwangi tentu mengetahui kalau Sang Ratu yang Ia maksudkan adalah Brahman. Brahman bersifat kekal, tidak berwujud, imanen, tak terbatas, tak berawal dan tak berakhir juga menguasai segala bentuk, ruang, waktu, energi serta jagat raya dan segala isi yang ada di dalamnya.

Dia sumber asli segala indera, namun tanpa memiliki indera. Ia tidak terikat, walau Dia memelihara semua makhluk, Ia melampaui sifat-sifat alam, dan pada waktu yang sama Dia adalah penguasa semua sifat alam material.

Dia berada di dalam dan di luar segala insan, tidak bergerak namun senantiasa bergerak, Dia di luar pemahaman indera material. Ia amat jauh, namun juga begitu dekat kepada semua makhluk. Walaupun Dia terbagi di antara insani, namun Dia tidak dapat dibagi. Ia mantap sebagai Yang Maha Tunggal. Ia pemelihara segala makhluk, dan Dia menciptakan sekaligus memusnahkan mereka.

Dia adalah sumber dari segala benda yang bercahaya. Dia di luar kegelapan alam dan tidak berwujud. Ia adalah pengetahuan dan tujuan pengetahuan. Ia bersemayam di dalam hati sanubari segala makhluk. (dikutip dari Bhagavad Gita)

Dia adalah Sanghyang Adi Buddha. Dia adalah asal-usul dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, Ia sendiri tanpa asal dan tanpa akhir, ada dengan sendirinya, tidak terhingga, unggul dalam segala kondisi, tak berkondisi, absolut, ada di mana-mana, Esa tiada duanya, kekal abadi. Semua kata-kata indah dan besar itu tidak mampu melukiskan keadaannya yang sebenarnya dari Sanghyang Adi Buddha.

Ia juga  yang disebut Paramadi Buddha (Buddha Yang Pertama dan Tidak Terbandingkan). Adau Buddha (Buddha dari Permulaan). Anadi-Buddha ( Buddha yang tidak diciptakan) Uru- Buddha ( Buddha dari segala Buddha)

Dia adalah Sang Hyang  Widhi, Dia yang memancarkan Widhi, yang menghapus ketidaktahuan, Dia adalah Sumber Cahaya. Kedatangannya dalam hidup sesorang memberikan kesenangan tanpa jeda dalam waktu lama yang tak dapat dibedakan antara mimpi dan kenyataan. Dia adalah Sang Hyang Tunggal.

Dia adalah Hyang yang bersemayam di Kahyangan, suatu tempat yang tertinggi dari yang paling tinggi, tempat yang tak terjangkau oleh spiritual dan supranatural.

Dia disebut Dao dalam Taoisme. “Dao” yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat, tapi merupakan proses kejadian dari semua benda hidup dan segala benda-benda  yang ada di alam semesta.

Dao melahirkan sesuatu, yang dilahirkan itu melahirkan Yin dan Yang, Yin Yang saling melengkapi untuk menghasilkan tenaga atau kekuatan. Kekuatan tersebut sebagai sumber dari jutaan benda di dunia. Setiap benda di alam semesta yang berupa benda hidup atau pun benda mati mengandung Yin Yang yang saling melengkapi untuk mencapai keseimbangan.

Dao tidak dapat ditangkap karena melampaui jangkauan panca indera. Dao melampaui segala pikiran dan khayalan. Dao adalah Yang Maha Besar dan merupakan asas totalitas segala benda dan kehidupan. Dao adalah substansi yang mewujudkan segala benda, termasuk makhluk hidup, juga merupakan sumber asal dari setiap awal dan setiap akhir. Makna Dao yang pertama dan terdasar ini dapat diketahui, hanya melalui kesadaran mistik yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.

Dao menjadi penggerak dari alam semesta ini, yaitu sebagai kaidah, irama, dan kekuatan pendorong seluruh alam, dan juga sebagai asas penata yang berada di belakang semua yang ada. Dao adalah roh yang mendiami seluruh alam, sehingga ia menjadi benda dan imanen (berada dalam kesadaran atau dalam akal budi/pikiran).

Begitu banyak agama, begitu banyak keyakinan dan kepercayaan manusia kepada Tuhan, namun manusia sepakat kalau Tuhan Maha Esa. Ketika manusia telah bersepakat bahwa Tuhan Yang Maha Esa, justru dalam kesepakatan itu terdapat perbedaan pandangan dalam memahami hakikat Tuhan Yang Maha Esa. Celakanya, masing-masing umat menganggap agama dan keyakinannya yang paling benar dan paling diberi keistimewaan. Manusia yang membelenggu dirinya dalam “doktrin” keyakinan agamanya adalah manusia yang terbelenggu di dalam khayalan dan pikiran sesat. Manusia macam itu adalah manusia-manusia yang hanya memiliki keyakinan yang “buta.” Hatinya buta, jiwanya buta dan akalnya buta. Manusia itu dibutakan oleh nafsunya sendiri.

Ratu Adil, sebagaimana yang disebut oleh Prabu Siliwangi adalah sebuah konsep berpikir yang paling sederhana dan masuk akal untuk memandang Tuhan dari sudut pandang keadilan. Dengan cara pandang semacam itu kita akan memahami Tuhan yang bersifat universal dari semua sisi secara adil tanpa harus ada yang merasa sebagai yang paling benar.

Asumsi yang paling sederhana dan paling masuk akal adalah Ka’bah. Ka’bah merupakan tempat peribadatan yang paling pertama di muka bumi, di mana agama islam adalah agama terakhir yang menjadikan Ka’bah sebagai pusat peribadatannya. Ka’bah bukan Allah juga bukan Tuhan. Ka’bah merupakan “simbol” kalau Tuhan hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Orang-orang yang tawaf berkeliling memutari Ka’bah adalah simbol dari umat manusia yang memiliki berbagai macam keyakinan agama. Dengan berjalan berputar berkeliling membentuk lingkaran dapat diambil sebagai satu ilustrasi kalau lingkaran itu bertumpu hanya kepada satu objek yaitu Ka’bah sebagai simbol Tuhan Yang Satu.

Tapi Ratu Siapa? Nanti juga kalian akan tahu. Kita tidak akan mungkin bisa mengetahui-Nya. Lihat saja Ka’bah sebagai simbol-Nya yang ditutup dengan kain hitam memberi pesan pada kita bahwa Rahasia-Nya Tertutup. Sama halnya dengan Pemuda Berjanggut yang berpakaian serba hitam sambil menyanding sarung tua, yang merupakan personifikasi dan manifestasi diri-Nya, sampai kapan pun kita tidak mungkin bisa mengetahuinya, apalagi menjumpainya. Karena itulah Ia disebut Satria Yang Bersembunyi (piningit) di balik kelambu hitam-Nya. Sang Ratu hanya akan bisa kita ketahui setelah alam semesta dileburkan.

b.      “sekarang, cari oleh kalian anak gembala.”

Kalimat di atas adalah kalimat perintah. Prabu Siliwangi memerintahkan kita untuk mencari Anak Gembala. Tapi Anak Gembala siapa? Kita patut untuk mempertanyakannya agar kita tidak keliru, sebab sebelum adanya kalimat perintah tersebut, Prabu Siliwangi telah menyebut Anak Gembala sebanyak empat kali dengan cerita yang berbeda. Tapi bertanya pada siapa?

Bertanya pada diri sendiri dan cari sendiri jawabannya. Jangan bertanya pada orang-orang karena orang-orang juga tidak tahu. Jangan percaya kepada orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai anak gembala. Orang-orang itu adalah anak gembala palsu. Orang itu adalah orang yang disusupi delusi, ilusi, halusinasi, dan waham kebesaran. Juga jangan percaya kepada orang-orang yang mengatakan anak gembala ada di sana atau anak gembala ada di situ. Orang-orang yang mengatakan seperti itu adalah pendusta dan penyesat.

Prabu Siliwangi menyebut Anak Gembala sebanyak empat kali dan yang kelima (terakhir) adalah kalimat perintah. Keempatnya adalah:

1.       Dialah Anak Gembala. Rumahnya di ujung sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeulum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau, bukan domba, bukan pula harimau atau pun banteng. Tetapi ranting daun dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah / kejadian, selesai zaman yang satu datang lagi satu zaman yang jadi sejarah / kejadian baru, setiap zaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.

Anak Gembala yang dimaksud adalah Khidr. Umat islam menyebut dia sebagai Nabi Khidr. Dialah Sang Penguasa Lautan Rahmat. Sang Pemilik Tertinggi ilmu-ilmu gaib dan Penguasa Tertinggi alam gaib. Begitu banyak rahmat Allah berserakan di muka bumi yang memenuhi alam semesta, Nabi Khidr bertugas menjaga dan merawatnya. Umat hindu mengenal dia sebagai Dewa Wisnu. Dia adalah Dewa Pemelihara yang bertugas menjaga dan merawat serta memelihara semua yang diciptakan oleh Brahman.

Menurut perspektif waktu, Anak Gembala ini berada di waktu yang sangat lampau. Dialah (Dewa Wisnu) penyebab runtuhnya kerajaan hindu Pajajaran sebab Dia (Nabi Khidr) pula yang menginginkan islam muncul di Indonesia. Dia (Nabi Khidr) adalah penyebab datangnya Pemuda Berjanggut ke Indonesia. Umat islam menyebut Pemuda Berjanggut itu sebagai Imam Mahdi. Umat Yahudi dan kristen menyebut Pemuda Berjanggut sebagai Nabi Elia. Umat islam mengenal Nabi Elia sebagai Nabi Ilyas. Dia (Dewa Wisnu) yang menjadi penyebab sehingga Dewa Kalki datang ke Indonesia. Dia (Dewa Wisnu) pula yang menjadi sebab Dewa Brahma turun di Indonesia. Umat kristen menyebut Dewa Brahma sebagai Roh Kudus.

Jangan mencari Anak Gembala itu, sebab bukan Dia yang dimaksud oleh Prabu Siliwangi. Dia berada di waktu yang lampau (gaib). Dia berada di alam gaib sementara kita saat ini masih hidup di alam yang nyata. Mana ada manusia yang dapat bertemu Khidr/Dewa Wisnu?

2.       Nanti, saat munculnya anak gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas ke seluruh negara.

Anak Gembala yang dimaksud di sini adalah titisan Nabi Khidr (Nabi Hidir) yang juga merupakan penjelmaan kesepuluh (terakhir) Dewa Wisnu yang disebut Kalki Awatara. Huru-hara yang dimaksud meluas dari daerah hingga ke seluruh negara adalah Pemilu Legislatif 5 April 2004 untuk memilih anggota DPR, DPD, dan, DPRD yang pertama kali menggunakan sistem proporsional terbuka (open list). Pada tahun 2004 juga dilaksanakan Pemilihan Presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat yang untuk pertama kalinya. Anak Gembala itu diperkirakan sudah muncul setahun sebelumnya atau tahun 2003.

3.       Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara lalu mereka mencari Anak Gembala, yang rumahnya di ujung sungai, yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handaelum dan hanjuang.

Para penguasa yang menyusup adalah para leluhur. Mereka disebut para rahyang atau hyang. Masyarakat Sunda Kuno percaya bahwa roh leluhur atau para Dewa menghuni tempat-tempat yang luhur dan tinggi, maka wilayah pegunungan dianggap sebagai tempat hyang bersemayam. Sejak zaman kerajaan Sunda, wilayah jajaran pegunungan di tengah Jawa Barat dianggap sebagai kawasan suci tempat hyang bersemayam. Jajaran pegunungan tempat hyang bersemayam disebut “parahyangan” atau “priangan” yang mencakup seluruh pegunungan yang berada di wilayah Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sumedang, Cimahi, Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor. Parahyangan adalah Kerajaan gaib yang dihuni oleh para hyang atau leluhur.

Jajaran pegunungan yang masuk ke dalam “Kerajaan Gaib Parahyangan” adalah; Gunung Gede, Gunung Ciremai (wilayah Majalengka, Kuningan dan Ciamis), Gunung Kancana, Gunung Masigit (Cianjur), Gunung Salak, Gunung Halimun (wilayah Bogor dan Sukabumi), Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Buranrang, Gunung Malabar, Gunung bukit Tunggul (Bandung), Gunung Tampomas, Gunung Calancang, Gunung Cakra Buana (Sumedang), Gunung Guntur, Gunung Haruman, gunung Talagabodas, Gunung Karacak, Gunung Galunggung (Tasikmalaya), Gunung Cupu, Gunung Cula Badak, Gunung Bongkok (Tasikmalaya), Gunung Syawal (Ciamis).

Menurut Prabu Siliwangi, Anak Gembala pernah berada di bekas ibu kota Kerajaan Sunda Pajajaran, yaitu wilayah Kabupaten Bogor sekarang ini. Ia memilih Gunung yang tidak termasuk atau berada di luar gunung-gunung pada Kerajaan Gaib Parahyangan. Satu-satunya gunung di Kabupaten Bogor yang berada di luar wilayah Kerajaan Gaib Parahyangan adalah Gunung Pancar yang terletak di Kecamatan Citeurup. Gunung Pancar memiliki ketinggian 800 m dpl. Ia memilih tempat tinggal di kaki Gunung Pancar. Wilayah-wilayah yang termasuk kaki Gunung Pancar adalah Desa Babakan Madang, Desa Karang Tengah, dan Sentul City. Salah satu dari kawasan itulah Anak Gembala pernah bertempat tinggal.

Wilayah yang paling mungkin, yang pernah ditinggali oleh Anak Gembala adalah Sentul City, sebuah kawasan perumahan elite. Di kawasan itu tidak ada rumah yang terbuat dari kayu atau rumah panggung. Semua rumah di Sentul City, pintunya setinggi batu (rumah batu) di kawasan itu terdapat Sungai Cikeas yang airnya terus mengalir dan tidak pernah  kering. Di kawasan itu juga rimbun pepohonan yang mungkin saja terdapat pohon Handeulum dan Hanjuang. Kemungkinan Anak Gembala berada di kaki Gunung Pancar setelah peristiwa kecelakaan Sukhoi di Gunung Salak (kawasan Parahyangan) berkisar antar tahun 2012-2013.

Anak Gembala berada di kaki Gunung Pancar untuk meruntuhkan Kerajaan Gaib Parahyangan yang sangat terkenal kekeramatannya dan keangkerannya. Parahyangan adalah kerajaan gaib tertinggi, terkuat, terhebat, dan tertua di dunia. Kemungkinan karena berkaitan dan berhubungan langsung dengan Kerajaan Atlantis di masa lalu. Prabu Jayabaya mengatakan: “asalnya dari kaki Gunung Lawu sebelah Timur, sebelah timurnya bengawan.” Gunung Lawu (3.265 m) terletak di perbatasan antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. Prabu Siliwangi mengatakan asalnya dari kaki Gunung Pancar, Bogor. Tidak diketahui secara pasti apakah dia dari Gunung Lawu lalu Gunung Pancar atau dari Gunung Pancar kemudian Gunung Lawu. Wallahualam.

4.       Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawene.

Semua leluhur yang menghuni Parahyangan mencari Anak Gembala untuk dijadikan tumbal, yaitu “kematian.” Kematian yang sangat mengerikan …

Tapi Pemuda Gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama Pemuda Berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawene. Kemungkinan Anak Gembala dan Pemuda Berjanggut sudah naik ke langit (Lebak Cawene). Kita tidak mengetahui bagaimana cara mereka naik ke langit. Atau mungkin juga mereka sudah pergi ke Yerussalem. Wallahualam.

Berdasarkan uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Anak Gembala sebagaimana dimaksud dalam point 1 s/d 4 bukan Anak Gembala yang harus kita cari. Dalam perspektif waktu Anak Gembala pada poin 1-4 sudah berada di waktu lampau (telah berlalu).

Prabu Siliwangi mengatakan “sekarang, cari oleh kalian anak gembala.” Sekarang dapat juga diartikan “saat ini.” Dalam perspektif waktu dapat diperkirakan waktunya adalah tahun 2015 ini. Anak Gembala yang dimaksud adalah Anak Gembala yang dulu naik ke langit bersama Pemuda Berjanggut. Sekarang Anak Gembala itu sudah turun kembali ke bumi ini untuk yang kedua kalinya.

Dalam bahasa Arab “Anak” itu disebut Isa. Dalam bahasa Ibrani disebut Yosua. Dalam bahasa Latin disebut Iesus. Dalam bahasa Aram disebut Yesua yang berarti Yahweh menyelamatkan. Dalam teks Yunani tertulis Yesus kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia sebagai Yesus.

Ada pun “Gembala” adalah istilah yang menurut KBBI artinya penjaga keselamatan orang banyak. Gembala adalah Yang Terpilih. Dalam bahasa Ibrani disebut Mesias berarti “yang diurapi” atau “yang terpilih.” Dalam bahasa Yunani disebut Christos. Christos diserap masuk ke dalam bahasa Indonesia disebut Kristus. Dalam bahasa Arab disebut Almasih.

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat memahami bahwa Anak Gembala yang dimaksud oleh Prabu Siliwangi yang harus kita cari adalah Isa Almasih atau Yesus Kristus. Kita tidak tahu dimana harus mencarinya, karena Prabu Siliwangi tidak memberi sedikit pun petunjuk kepada kita.

Pengetahuan kita tentu saja sangat terbatas. Kita sebatas mengetahui maksud dan tujuan “mencari” berdasarkan Alquran (43:61)

“Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus.”

Ayat di atas hanya menyebut Isa. Ayat tidak mengatakan Isa Almasih juga tidak menyebut Isa Ibnu Maryam. Isa, sebagaimana yang dimaksudkan dengan ayat (QS 43:61) diidentifikasi sebagai Buddha yang akan datang. Buddha Sidharta Gautama yang juga dikenal dengan nama Buddha Sakyamuni berkata: “saya bukanlah Buddha yang pertama datang di dunia ini juga bukan yang terakhir. Pada saatnya Buddha yang lain yang akan muncul di dunia ini, Yang Suci, Yang Tercerahkan, Terberkahi dengan kebijaksanaan, mengetahui semesta, pemimpin manusia yang tiada tara, guru para Dewa dan manusia. Ia akan mengungkapkan kepada kalian kebenaran abadi yang sama seperti yang saya ajarkan kepada kalian. Ia akan membabarkan kehidupan spiritual sempurna suci sepenuhnya seperti yang saya babarkan saat ini. Ia akan dikenal sebagai Metteyya, yang berarti kebajikan atau Kasih.” Dalam bahasa Sansekerta, Metteyya disebut Maitreya. Dalam bahasa Burma, Metteyya dinamakan Arimeiteiya. Mile Pusa dalam bahasa Mandarin. Miroku Bosatsu (Jepang), Byams Pa (Tibet), Mayidari, Asraltu (Mongolia), Mireuk Bosal (Korea) Bo Tat dalam bahasa Vietnam.

Di daratan Tiongkok, tahun 502-550 pernah terjadi kekacauan di zaman dinasti Lang. para penganut Buddha mengharapkan datangnya Maitreya. Gambar pangeran india yang gagah menjelma sebagai biksu gendut yang selalu senyum. Buddha Maitreya dipercaya lahir di provinsi Zhejiang sebagai biksu gendut yang disebut Pu Tai He Sang atau biksu berkantong Kain. Legenda mengatakan bahwa biksu ini sering berkelana membawa kantong kain pada permulaan abad ke-10. Dia dijuluki Buddha ketawa, Buddha Mile atau Ju Lai Fo (Buddha yang akan datang). Ia dipercaya sebagai reinkarnasi Maitreya karena saat meninggal dia menulis syair:

“Maitreya, Maitreya yang asli. Manusia selalu mengharap kedatangannya. Dia selalu menjelma dalam berbagai bentuk, namun saat dia datang menjelma sebagai manusia, tidak ada yang mengenalnya.”

Buddha Maitreya yang dinanti oleh umat Buddha adalah Isa yang dinanti oleh umat islam dan Yesus yang dinanti oleh umat kristiani. Ketika yang dinanti telah datang dalam wujud manusia justru umat manusia tidak mengenalnya. Bahkan mereka tidak mengetahuinya. Ketidaktahuan manusia terhadap kedatangan sosok yang mereka nanti disebabkan karena:

  1. Manusia menetapkan kriteria dan persyaratan-persyaratannya sendiri dan sosok yang dinanti diharuskan memenuhi kriteria dan ketentuan yang ditetapkan oleh manusia.
  2. Manusia terikat oleh ego keyakinannya masing-masing, ironisnya ego keyakinan itu didasari oleh angan-angan kosong dan khayalan yang dijadikan persepsi keagamaan mereka.
  3. “Nafsu telah menutupi pintu logika berpikir manusia, tanpa mereka sadari mereka telah menempatkan diri mereka sendiri ke posisi yang lebih tahu bahkan lebih pintar dari sosok yang mereka nantikan itu. Manusia merasa memiliki kuasa dan kekuasaan untuk memutuskan apakah mau menerima atau menolak sosok yang mereka nanti-nantikan.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Berdasarkan uraian-uraian di atas kita dapat mengambil konklusi untuk dijadikan landasan berpikir sebagai suatu hipotesa bahwa:

1.       “Sabda Raja” yang disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Bawono X memberi indikasi adanya pergantian zaman (lirgumanti). Tuhan memilih Sri Sultan untuk menyampaikan “Sabda Raja” sebab dia satu-satunya raja yang diakui secara de facto dan de jure oleh pemerintah Republik Indonesia.

2.       Raja Kediri; Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya (1135-1157) telah meramalkan kehadirannya di tanah Jawa (Indonesia). Ia diberi gelar sebagai Satria. Raja Pajajaran; Sri Baduga Maharaja Jayadewata (1482-1521) yang dikenal sebagai Prabu Siliwangi telah menyampaikan wangsitnya dan memberi gelar kepadanya sebagai Anak Gembala. Kedua raja agung itu adalah pemimpin kerajaan hindu. Satria itu memiliki latar belakang yang sama dengan kedua raja tersebut yaitu Hinduisme dan ia disebut telah lulus weda Jawa.

3.       Ia diidentifikasi sebagai DATTA. Datta biasanya digambarkan berkepala tiga, melambangkan Brahma, Wisnu, dan Siwa; masa lalu, masa sekarang dan masa depan; dan tiga kesadaran: terjaga, bermimpi, dan tidur tanpa mimpi. Dia biasanya digambarkan duduk bermeditasi dengan Sakti (istri)nya di bawah pohon andumbara. Di depannya ada api pengorbanan, dan di sekelilingnya ada empat anjing. Kadang kala keempat anjing tersebut melambangkan empat weda. Dalam kitab Dattatreya Upanisad, ia digambarkan mampu menjelma menjadi anak kecil, orang gila, atau bahkan raksasa, dalam upaya membantu umatnya mencapai moksa, yaitu membebaskan diri dari ikatan duniawi.

4.       Datta adalah seorang dewa yang merupakan penjelmaan dari Trimurti (tiga Dewa utama) yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa. Dalam tradisi Natha, ia dianggap sebagai awatara atau inkarnasi dari Dewa Siwa dan sebagai Adi-Guru (guru pertama) dalam tradisi Adinath Sampradaya. Di india, ia dipuja oleh berjuta-juta umat hindu dan berbagai tradisi dilakukan untuk memuliakannya.

5.      Datta (bahasa Sansekerta) artinya “diberi.” Ia “diberi” perwujudan sebagai Trimurti oleh tiga Dewa Utama; Brahma, Wisnu, dan Siwa maka “jadilah” ia sebagai trimurti yang maujud sebagai manusia. Oh Datta…

6.       Ia adalah seorang hamba di antara hamba-hamba Allah yang telah “diberi”kan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (QS 18:65). Maka “jadilah” ia sebagai Khidr. Oh Datta…

7.       Ia adalah umat Muhammad yang “diberi” petunjuk dan “diberi” gelar sebagai Imam al-Mahdi maka “jadilah” ia sebagai Imam Mahdi. Ia berdiri bagai tiang yang kokoh sebagai penegak tauhid murni Laa Ilaha Illallah. Oh Datta…

8.       Ia benar-benar “memberikan” pengetahuan tentang hari kiamat karena sesungguhnya ia adalah Isa (QS 43:61). Ia adalah Si Pembunuh Dajjal. Oh Datta…

9.       Ia ”diberi” julukan  “Yang bertanduk dua” (DzulQarnain). Ia berkuasa di timur di tempat terbitnya matahari dan berkuasa di barat di tempat terbenamnya matahari. Ia yang akan merobohkan “dinding” dan membiarkan Ya’juj wa Ma’juj, Gog dan Magog, membuat kerusakan di muka bumi kemudian setelah itulah ia akan menghancurkannya. Ia “diberi” julukan sebagai Sang Penghancur yang merupakan manifestasi dirinya sebagai Kalki Awatara. Penjelmaan terakhir Dewa Wisnu.

10.   Ia memiliki dua sikap dan kepribadian yang merupakan manifestasi dirinya sebagai Siwa dan Rudra. Sebagai Siwa, ia memiliki kepribadian yang tenang bersahaja dan penuh Kasih. Ia bersemayam di setiap makhluk. Karena itu ia disebut Buddha Maitreya yang bijaksana dan welas asih. Bapa yang melindungi dan mengasihi. Almasih atau Mesias yang diurapi. Sebagai Rudra ia memiliki kepribadian yang menakutkan dan mengerikan. Rudra adalah kekuatan Tuhan sebagai “pelebur” yang merupakan manifestasi dari Siwa itu sendiri. Rudra adalah Dewa yang mengerikan dan menakutkan. Karena ia mengerikan dan menakutkan maka ia juga yang dinamakan Elia yang artinya Yah Weh adalah Tuhan.

Datta… oh Datta… Rengkuhlah aku  dalam kasihmu. Jauhkanlah aku dari murkamu.

Sekian

Senin, 672015