HAKIKAT TUHAN DAN EKSISTENSINYA (1)

Oleh: Cakra Ningrat

Manusia yang beriman meyakini bahwa Tuhan bersifat Esa, Tunggal dan hanya Satu. Tentu saja keyakinan itu benar dan tidak perlu lagi diperdebatkan. Keadaan menjadi berbalik ketika dipertanyakan Tuhan yang mana? Suasana yang tenang akan menjadi gaduh karena masing-masing orang akan berargumen untuk membela Tuhannya berdasarkan ajaran-ajaran agamanya. Tuhan kok dibela mati-matian. Sejatinya, Tuhan tidak pernah membutuhkan pembelaan anda. Anda tidak lebih dari sebiji pasir di tengah alam jagat raya yang maha luas ini. Anda diibaratkan seperti seorang anak yang baru lahir kemarin sore bila dibandingkan dengan usia bumi yang telah dihuni oleh manusia sejak berjuta-juta tahun yang lampau.

Keyakinan manusia terhadap Ke-Esa-an Tuhan adalah keyakinan utama yang didasari oleh asumsi-asumsi dan prasangka-prasangka subjektif kolektivitas keberagaman agama. Asumsi dan prasangka ini telah terbangun sejak zaman dahulu kala oleh generasi pendahulu kita (nenek moyang). Ketika doktrin dan dogma dipaksakan untuk diterima sebagai sebuah kebenaran, maka hasil akhirnya adalah ketidakbenaran.

Semua agama tentu bertujuan “baik” dan semua agama mengajarkan yang “benar.” Namun bila ingin mencapai “kebenaran mutlak,” maka kita harus melampaui batasan-batasan agama. Kita harus bisa membebaskan diri dari belenggu doktrin dan dogma yang menakutkan, yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan agama orang lain, yang boleh jadi hanya hasil rekayasa manusia pendahulu kita berdasarkan asumsi-asumsi dan prasangka-prasangka yang dilatarbelakangi oleh rasa ketakutan dan ketidaktahuan mereka. Tidak ada parameter yang pasti yang dapat memberi kepastian bahwa pendahulu kita sudah “benar” dalam memahami kebenaran.

Sebaiknya kita jangan latah dan ikut-ikutan pada mereka, sebab segala risiko dan akibat akan kita tanggung sendiri. Tidak ada Dewa penyelamat atau juru selamat yang menyelamatkan kita kecuali diri kita sendiri. Segalanya berpulang kepada diri kita masing-masing, apakah tetap ingin berpegang teguh pada doktrin dan dogma agama yang belum tentu mutlak kebenarannya ataukah mencapai kebenaran mutlak atas usaha diri sendiri setelah melampaui batasan agama-agama yang kita anut.

Artikel ini murni pemikiran Cakra Ningrat. Ditulis sebagai pengantar berpikir. Dipersembahkan khusus buat peminat dan peneliti kebenaran. Artikel ini akan mengantar anda ke pintu logika pembenaran. Selanjutnya terserah anda, sebab sejatinya; kebenaran senantiasa mencari ruang dan waktu yang tepat untuk muncul dan diterima oleh para pencari kebenaran yang bijaksana.

TAK BERNAMA

Pada hakikatnya Tuhan kita tak memiliki nama. Tuhan Tak Bernama. Semua yang diciptakan Tuhan selalu diberi nama. Segala sesuatu yang ada di hadapan Tuhan adalah ciptaan-Nya. Semua ciptaan-Nya diberi nama oleh Sang Pencipta. Yang membedakan antara Pencipta dan Ciptaan-Nya adalah “nama.” Sang Pencipta Tak Bernama sementara seluruh ciptaan-Nya, Ia beri nama.

Diilustrasikan; seorang musisi menulis syair lagu dan mengaransemen musiknya. Sang musisi mencantumkan nama pribadinya selaku pencipta lagu. Pencantuman “nama” pencipta lagu menandakan bahwa pencipta lagu tersebut juga adalah ciptaan-Nya sebab ia memiliki nama. Prinsipnya; semua yang bernama adalah hamba, ciptaan-Nya. Hanya satu yang Tak Bernama, yaitu Tuhan. Dialah Sang Pencipta. Penyebab utama dari semua penciptaan.

Tidak ada sesuatu apa pun yang berada di alam semesta ini yang tak memiliki nama. Semua pasti memiliki nama, baik manusia, hewan, tumbuhan, dan sebagainya. Seluruh benda; padat, cair, gas bersama seluruh unsur turunannya pasti memiliki nama.

Hal yang dilakukan oleh para ilmuwan atas setiap penemuan-penemuan baru adalah pemberian nama. Demikian halnya terhadap para pencipta lagu, pencipta puisi, penulis, pelukis, peneliti, dan sebagainya, selalu menomorsatukan pemberian nama atas semua cipta, karsa, dan karya mereka.

Pemberian nama atas sesuatu objek selalu berasal atau bersumber dari pemiliknya. “Pemilik” dapat berarti ia sebagai pencipta, penemu, atau penyebab. Oleh karena Tuhan sebagai pencipta utama, penyebab utama, dan pemilik utama tentu sangat logis dan masuk akal jika Ia Tak Bernama. Ia penyebab utama yang menciptakan dan sekaligus pemilik hukum sebab akibat. Karena Ia sebab utama akibatnya, Yang Esa itu Tak Bernama.

Sebab Yang Esa Tak Bernama akibatnya Ia menggunakan banyak nama agar manusia mengenal Ia sebagai Yang Esa. Masing-masing agama mengenal Ia dengan nama-nama tertentu. Semua nama suci yang dikenal oleh manusia adalah benar nama-Nya. Yang salah adalah manusia karena mempertentangkan nama-nama di mana mereka tidak memahami hakikat penggunaan nama tersebut. Ibarat orang buta menilai gajah atau orang buta sejak kelahirannya kemudian menjelaskan perbedaan cahaya bulan dan matahari.

EKSISTENSI TUHAN

TIDAK DIKETAHUI BAGAIMANA AWAL MUSABAB-Nya. Dia ada dengan sendiri-Nya. Ia menyatu di dalam satu kesatuan dengan bayangan diri-Nya dan kecerdasan-Nya. Sesungguh-Nya Ia Tak Bernama. Namun Ia menamakan bayangan diri-Nya dengan nama Allah, dan Ia menamakan kecerdasan-Nya dengan nama BRAHMAN.

Ia bersembunyi di dalam bayangan diri-Nya sendiri. Allah adalah zat yang meliputi, yang melingkupi, dan menyelubungi Ia sehingga Ia tidak dapat dicapai dan diketahui oleh seluruh makhluk ciptaan-Nya. Karena itulah Ia gaib (tersembunyi, tidak nyata) bagi manusia. Namun Ia dapat diketahui oleh manusia karena Brahman-Nya (kecerdasan-Nya) di dalam Mencipta. Seluruh ciptaan-Nya nyata (dapat dilihat oleh mata) sehingga eksistensi keberadaan-Nya nyata meski hakikat diri-Nya gaib.

Berfirmanlah Allah: Kejadian 1:26-27

Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.

Menurut KBBI “Kita” adalah pronomina persona pertama jamak, yang berbicara dengan orang lain termasuk yang diajak bicara. Pertanyaannya; apakah makna sesungguhnya “Baiklah, Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” sebagaimana firman tersebut di atas?

Secara harfiah “gambar” bermakna tiruan dan “rupa” artinya keadaan yang tampak luar (pada lahirnya). “Manusia menurut gambar dan rupa Kita” dapat ditafsirkan bahwa; secara nyata, yang tampak dari luar manusia adalah tiruan Kita. Siapakah yang dimaksud Kita? Kita adalah Tuhan Yang Tak Bernama bersama Bayangan-Nya yang dinamakan Allah. Apakah mereka tunggal atau jamak? Secara harfiah mereka jamak (lebih dari satu) namun secara hakikat sesungguhnya Tunggal, Esa, dan hanya satu. Contohnya; sebagai manusia nyata yang tampak dari luarnya, anda merupakan tiruan-Nya. Wujud badan anda hanya satu, akan tetapi ke mana pun anda bayangan anda selalu meniru anda. Anda bisa saja menggunakan kata “kita” ketika anda berbicara dengan bayangan anda, namun bukan berarti ada wujud lain atau oknum lain selain diri anda sendiri. Anda dan bayangan anda satu.

Perbedaan prinsip antara Tuhan dengan manusia sebagai tiruan-Nya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Ia berwujud tapi Tak Bernama. Ia Hidup Kekal tapi Tak Bernafas (Yoga). Ia memiliki Kecerdasan. Kecerdasan-Nya dinamakan Brahman. Ilmu-Nya meliputi langit dan bumi. Ia menamakan ilmu-Nya dengan nama Kursyi. Ia memiliki bayangan Diri. Bayangan Diri-Nya Memiliki Roh Hidup Yang Kekal. Ia menamakan Bayangan Diri-Nya dengan nama Allah. Allah adalah zat. Allah adalah cahaya yang berlapis-lapis cahaya yang berpendar-pendar yang percikan-percikan kecilnya ada di semua ruang dan waktu. Cahaya Allah tak dapat dicapai oleh penglihatan mata.

Allah adalah:

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” QS 24:35.

 

Bismillahirrahmanirrahim artinya Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dalam kalimat suci itu di manakah Tuhan bersembunyi? Dia Yang Esa dan Tak Bernama bersembunyi di dalam kata “Dengan.”

Prinsip monoteistik di dalam islam disebut tauhid. Kalimat tauhid berbunyi “laa ilaha illallah” artinya “Tidak ada Tuhan selain Allah.” Di dalam kalimat itu, di manakah Tuhan bersembunyi? Dia Yang Esa Yang Tak Bernama “bersembunyi” di dalam kata “Allah.”

Wahyu pertama yang turun kepada nabi Muhammad adalah: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia, mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” QS 96:1-5.

Wahyu pertama berisi “perintah” untuk membaca dengan (menyebut) nama Tuhan. Secara spesifik dan tegas wahyu pertama tidak menyebut Allah sebagai nama Tuhan. Manusia menyebut nama Tuhan dalam banyak nama namun hakikatnya Tuhan Tak Memiliki nama. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Segumpal darah (alaqah) yang dimaksud dalam wahyu pertama adalah “otak” manusia. Otak manusia bertanggung jawab terhadap pengaturan seluruh badan dan pemikiran manusia. Oleh karena itu terdapat kaitan erat antara otak dan pemikiran. Otak dan sel saraf di dalamnya dipercaya dapat mempengaruhi kognisi manusia. Pengetahuan mengenai otak mempengaruhi perkembangan psikologi kognitif otak juga bertanggung jawab atas fungsi seperti pengenalan, emosi, ingatan, pembelajaran motorik dan segala bentuk pembelajaran lainnya.

“Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.” Dia mengklaim Diri-Nya sebagai Tuhan Yang Maha Pemurah. Dia adalah Tuhan Yang Maha Pencipta. Dia dapat Mencipta karena Dia memiliki kecerdasan. Dia menamakan Kecerdasan-Nya itu Brahman. Karena Kemurahan-Nyalah sehingga Dia memercikkan Brahman-Nya kepada manusia. Percikan terkecil Brahman yang ada pada manusia Dia menamakan Atman.

Atman adalah percikan-percikan terkecil Brahman (Tuhan) yang berada di setiap makhluk hidup. Sifatnya sangat gaib (Parama Suksma), tidak pernah mengalami kelahiran dan kematian. Atman berfungsi sebagai sumber hidup citta (alam pikiran) dan suksma sarira (badan halus) dari segala makhluk. Menurut Bhagavad-Gita, sifat-sifat Atman adalah: tak terluka oleh senjata, tak terbakar oleh api, tak terkeringkan oleh angin, tak terbasahkan oleh air, kekal abadi, di mana-mana ada, tak berpindah-pindah, tak bergerak, selalu sama, tak dilahirkan, tak terpikirkan, tak berubah dan sempurna, tak laki-laki maupun perempuan.

Sebab Kemurahan-Nyalah yang menyebabkan Atman pada manusia berbeda dengan Atman pada makhluk yang lain. Tuhan konsisten dengan rencana-Nya yang menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupa-Nya agar manusia dapat “meniru.” Dia dalam mencipta. Dengan berkembangnya kecerdasan manusia di dalam sains, teknologi, dan ilmu pengetahuan, kita sependapat bahwa manusia telah dapat menciptakan apa saja termasuk bayi tabung, akan tetapi manusia tidak dapat menciptakan “hidup.” Hidup adalah sesuatu yang berhubungan langsung dengan Atman. Ketika Atman “ada” maka saat itu pula roh Allah akan hadir menyelubunginya atau meliputinya.

Menurut hipotesis penulis, Atman dalam alquran disebut Asma (bahasa Arab: Al-Asma). Asma secara harfiah artinya NAMA. Manusia dapat saling mengenal antara satu dengan lainnya karena adanya nama. Nama berkaitan langsung dengan identitas diri pribadi seseorang. Peribahasa melayu menyebutkan; gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Faktanya memang seperti itu bahwa manusia lahir, hidup lalu mati dan pada akhirnya hanya meninggalkan nama. Sebabnya? Karena pemberian yang pertama dari Tuhan kepada manusia adalah pemberian nama. Dia memberi nama Adam kepada manusia ciptaan-Nya. Pemberian yang kedua dari Tuhan kepada Adam adalah “pengajaran dengan perantaraan kalam. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!”  QS. 2:31.

“Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.” Kalam (bahasa Arab) secara harfiah artinya “kata.” Dia Yang mengajarkan kepada Adam (manusia) nama-nama benda seluruhnya. Nama-nama adalah kata-kata. Kalam. Pengajaran yang diberikan kepada manusia diserap sebagai pengetahuan untuk selanjutnya dikembangkan terus hingga manusia dapat mencapai peradaban tertingginya seperti saat sekarang ini.

“Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” Setiap manusia terlahir di bumi ini, hal pertama yang dilakukan orang tuanya adalah memberi nama kepada anaknya. Yang kedua mengajari anak tentang nama-nama benda. Itu berarti manusia telah meniru apa yang telah dilakukan Tuhan terhadap Adam. Manusia mengembangkan pengetahuannya dalam proses belajar-mengajar dengan perantaraan kalam (kata-kata).

Sebagaimana dalam frasa “Dengan Nama Allah” telah disebutkan bahwa Tuhan Yang Tak Bernama bersembunyi di dalam kata “Dengan,” Atman-Nya bersembunyi di dalam nama pribadi manusia dan roh Allah bersembunyi di dalam napas hidup manusia. Orang-orang ateis bisa saja mengingkari Tuhan, sebab Tuhan bersembunyi di dalam kata “dengan.” Menurut ilmu bahasa kata “dengan” disebut kata penghubung konjungsi subordinatif. Subjeknya yakni Tuhan Yang Tak Bernama senantiasa berada di luar diri manusia namun tidak ada satu pun manusia yang bisa lepas dari-Nya.

Teis atau ateiskah anda, sepanjang anda memiliki nama pribadi yakinlah kalau Atman-Nya bersembunyi di balik nama yang anda gunakan. Tentu saja Ruh Allah bersembunyi di dalam napas anda. Udara yang anda hirup senantiasa menyebut suku kata AL dan udara yang anda hembuskan selalu menyebut suku kata LAH. Napas yang kita hirup dan hembuskan biasa dikatakan napas masuk dan keluar. Sebutan ini kurang tepat sebab dapat dianggap pengingkaran terhadap keabadian ilahi dalam napas dan denyut nadi kehidupan kita.

Sesungguhnya napas yang dihirup dan dihembuskan senantiasa berputar-putar melingkar berlawanan dengan arah jarum jam. Gerakannya berputar ke kiri  sebab jantung berada di sebelah kiri rongga dada manusia. Gerak napas berputar melingkar ke arah kiri secara konstan tidak berubah-ubah sehingga membentuk huruf “O” yaitu “Om” sebuah aksara suci dan sakral dalam agama hindu. Atman-Nya berada tepat di tengah-tengah lingkaran Om. Atman dan Om merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan sebagaimana ALLAH dan Asma-Nya

Dengarkanlah sloka dalam Bhagavad Gita berikut ini:

  • Dari penciptaan, wahai Arjuna, Aku adalah permulaan dan akhir serta juga pengetahuan, dari segala ilmu pengetahuan Aku adalah ilmu tentang sang Diri (Atman), dan dari mereka yang berdiskusi Aku adalah dialektika. (Bgv.10-32).

Note: Bhagavad Gita adalah kitab suci umat hindu. Ditulis oleh Resi Agung Viyasa (Abiyasa) dalam bentuk sloka. Kitab ini berisi dialog-dialog antara Dewa Krisna dan Arjuna. Dialog ini sebagai suatu penggambaran dialektika yaitu hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki atau mengungkap suatu masalah. Tentu saja dengan perantaraan kalam atau kata-kata. Dewa Krisna diyakini sebagai manifestasi kepribadian Brahman. Brahman adalah Kecerdasan dan Pengetahuan Tuhan Yang Tak Bernama. Karena itu Krisna menyebut diri-Nya “Aku adalah ilmu tentang sang Diri (Atman)” sebab Atman, adalah percikan terkecil Brahman.

  • Dari semua alfabet, Aku adalah huruf A dan dari paduan kata-kata, Aku adalah kata majemuk, Aku juga adalah waktu yang tiada hentinya dan Aku adalah pengembara yang menghadap segala penjuru terkecil (Bgv. 10-33).

Penjelasan: Huruf A yang dimaksud adalah Allah. Kata majemuk maksudnya Asma Allah atau Atman Om. Waktu yang tiada hentinya bermakna napas hidup. Pengembara yang menghadap segala penjuru maksudnya pada seluruh umat manusia dan makhluk hidup lainnya yang ada di seluruh penjuru di muka bumi ini.

  • Di antara ucapan suci, Aku adalah aksara tunggal Om, di antara persembahan Aku adalah persembahan meditasi hening (japa) (Bgv. 10-25).

Kembali pada gerakan napas yang berputar-putar ke kiri berlawanan arah jarum jam secara hakikat gerakan itu disebut tawaf. Jauh sebelum datangnya islam, kaum pagan sudah melaksanakan tawaf di Ka’bah yang berada di kota suci Mekah Arab Saudi. Dulunya kota Mekah dinamakan Bakkah.

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS 3:96).

Ka’bah (bahasa Arab) berasal dari akar kata Bait. Ka’bah sering disebut Ka’batullah atau Baitullah yang berarti Rumah Allah. Rumah Allah bukan berarti Rumah Tuhan, sebab Allah bukan Tuhan. Allah hanyalah bayangan dari Tuhan Yang Tak Bernama. Selain Ka’batullah, Rumah Allah lainnya adalah badan manusia yang hidup atau manusia yang masih bernapas.

Non muslim (nasrani) keliru jika menuduh umat islam memuja berhala. Juga sama kelirunya asumsi umat islam yang melakukan tawaf dengan berharap mendapat amal-pahala untuk kehidupan akhirat di surga. Ka’bah, bangunan batu yang berbentuk kubus yang diselimuti kiswah hitam bukan berhala pemujaan. Ka’bah adalah simbol Atman (Asma) yang ada di dalam diri manusia. Manusia tawaf dengan berjalan kaki berputar ke kiri berlawanan dengan arah jarum jam dengan memutari Ka’bah sebanyak tujuh kali. Gerakan tawaf membentuk Aksara Tunggal Nan Suci Om, yang juga merupakan akar napas masuk dan keluar yang disebut Allah. Allah tawaf kepada Asma-Nya (nama-Nya) dan Om tawaf kepada Atman-Nya. Manusia hanya memperagakannya tapi tak mengetahui hakikatnya.

Ka’bah; bangunan yang berbentuk kubus memiliki empat sudut atau pojok yang disebut rukun yaitu rukun Aswad, rukun Iraqi, rukun Yamani dan rukun Syami. Pada dinding rukun Aswad terdapat Hajaratul Aswad (batu hitam), Multazam dan pintu Ka’bah. Di dalam diri manusia hakikat pintu Ka’bah adalah hidung yang merupakan pintu masuk dan keluarnya napas manusia.

Multazam dikenal sebagai tempat yang paling mustajab untuk memanjatkan doa. Doa adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan. Doa merupakan perbuatan baik yang bersumber dari dalam hati. Firman-Nya:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (Qs. 2:186)

Tawaf sebanyak tujuh kali dimulai dari dekat Hajar Aswad dari arah rukun Yamani dengan mengangkat telapak tangan di depan Hajar Aswad. Disunahkan (jika memungkinkan) singgah mengusap dan mencium Hajar Aswad. Secara hakikat Hajar Aswad (batu hitam) di dalam diri manusia adalah Faring, yaitu percabangan dua saluran yakni tenggorokan (saluran pernapasan) dan kerongkongan (saluran pencernaan). Faring berfungsi untuk mengatur makanan/minuman supaya tidak masuk ke tenggorokan. Faring terletak di leher manusia. Firman-Nya:

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya,” (QS. 50:16).

Berdasarkan informasi Alquran maka jelaslah bagi kita bahwa posisi Atman-Nya (Asma-Nya) lebih dekat dari urat leher manusia yaitu otak. Otak merupakan sumber kesadaran dan kecerdasan maka pahamilah hakikat Tuhan dan eksistensi-Nya melalui logika anda. Bila logika anda telah mencapai kebenaran, maka kebenaran itu akan menerangi hati anda guna memperteguh serta menguatkan keyakinan anda terhadap hakikat Tuhan Yang Esa, Dia Yang Tak Bernama.

Bila muslim masih bersikap skeptis terhadap hakikat Ka’bah dan tawaf sebagaimana uraian di atas itu berarti muslim masih terbelenggu oleh doktrin dan dogma agamanya. Muslim tersebut belum mampu melampaui batasan agamanya. Jika begitu untuk tujuan apakah muslim berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali bolak-balik antara bukit Shofa dan bukit Marwah? Muslim bisa melakukannya meski tanpa berwudu dan bagi perempuan bisa melakukannya meski dalam keadaan kotor karena haid dan nifas.

Bukit Shofa dan Marwah hanya berupa gundukan kecil yang berada di dalam kompleks Masjidil Haram di dekat Ka’bah. Bukit Shofa berjarak setengah mil dari Ka’bah atau 804,5 meter dan bukit Marwah 450 meter, sehingga perjalanan tujuh kali berjumlah 3.150 meter atau 3,15 Km. ritual Sa’i dalam ibadah haji dan umrah menurut agama islam untuk mengenang peristiwa pencarian air oleh Siti Hajar untuk putranya Ismail. Hajar berjalan, berlari-lari kecil atau berjalan cepat dari bukit Shofa ke bukit Marwah bolak-balik sebanyak tujuh kali untuk mencari air minum. Pada hitungan ke tujuh secara ajaib air pun menyembur keluar dari permukaan tanah. Air itu bersumber dari mata air yang dinamakan zamzam. Hingga saat ini air zamzam masih terus mengalir dan menjadi sumber air minum bagi penduduk kota Mekkah.

Semua muslim tentu saja mengetahui peristiwa ini atau kisah Siti Hajar bersama putranya Nabi Ismail dan air zamzam, sebab sudah diajarkan oleh ustadz dan guru agama islam saat muslim masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Kisah-kisah seperti ini terutama dalam Kurikulum Pendidikan Agama islam untuk Sekolah Dasar dan diajarkan hingga ke seluruh pelosok tanah air Indonesia. Karena itu muslim jangan menegur dan mengoreksi saya sebab saya juga mengetahui hikmah dari kisah dan pengajaran agama itu. Apa yang muslim ketahui pasti saya juga mengetahuinya, akan tetapi apa yang saya ketahui saya pastikan tidak ada (belum) muslim ketahui.

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS 2:158).

Dalam sudut pandang hakikat, sesungguhnya sa’I berkaitan langsung dengan ilmu Tuhan yang berhubungan dengan penciptaan. Bolak-balik (putar balik) antara bukit Shafa dan Marwah pada hakikatnya untuk membentuk angka 1 yang tegak berdiri. Berlari-lari kecil menandakan adanya energy terpusat yang mendorong sehingga air menyembur keluar. Tujuh kali bolak-balik adalah rumus Tuhan tentang penciptaan.

Hakikat sa’i pada diri manusia adalah proses penciptaan (anak) manusia. Bukit Shafa dan Bukit Marwah dianalogikan sebagai Dua Bukit yaitu Buah Dada wanita. Berjalan cepat dan berlari-lari kecil bolak-balik antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali dianalogikan sebagai nafsu syahwat yang memiliki sifat ingin cepat-cepat, tergesa-gesa, dan terburu-buru, sehingga akhir dari kesudahannya adalah keluarnya air mani.

Kehadiran Ismail yang masih bayi dalam peristiwa Siti Hajar di bukit Shafa dan Marwah secara hakikat untuk mempertegas bahwa ritual Sa’i adalah sebuah ritual yang menggambarkan proses penciptaan manusia. Air zamzam di dalam diri manusia secara hakikat adalah air mani. Bukit Shafa dan Marwah (buah dada wanita) hakikat yang terkandung di dalamnya sesungguhnya adalah air susu. Air mani disebut berulang-ulang dalam Alquran. Air mani sumber penciptaan manusia dan air susu sebagai sumber kekuatan (energi) pertama manusia saat lahir di dunia ini hingga ia dapat tumbuh menjadi besar dan kuat.

Diorama abstrak bukit Shafa dan Marwah sebagai manifestasi dari buah dada wanita yang merupakan sumber keluarnya air susu ibu untuk bayinya dan air zamzam sebagai manifestasi dari air mani yang dipancarkan oleh laki-laki memberi pelajaran bagi manusia bahwasanya Tuhan Suci dari segala macam nafsu, termasuk nafsu tertinggi dan alami manusia, syahwat. Di dalam Alquran dan Alkitab, Tuhan melarang Adam dan Hawa untuk mendekati pohon kayu yang terkutuk itu yang bermakna sebagai alat kelamin laki-laki disebabkan karena adanya rangsangan dari wanita. Kata “mendekati” dapat diartikan sebagai “rangsangan seksual” oleh karena Adam dan Hawa memakan “buah” pohon kayu itu yang diartikan sebagai melakukan hubungan kelamin, menyebabkan mereka terusir dari surga. Pengusiran dari surga memberi indikasi “ketidakhadiran” Tuhan dalam setiap hubungan seksual yang dilakukan oleh manusia. Hubungan seksual adalah murni keinginan manusia untuk melakukannya. Alkitab menyebut pohon kayu itu sebagai pohon pengetahuan yang baik apabila dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang terikat oleh perkawinan yang sah guna mendapatkan keturunan yang kelak akan mewarisinya. Sebaliknya, hubungan seksual dipandang sebagai pengetahuan yang jahat bila dilakukan dengan tujuan melampiaskan hasrat birahi secara bebas dan tak bertanggung jawab. Hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan, tidak peduli dilakukan antara orang lain atau antar sedarah semenda selalu saja menimbulkan risiko hadirnya manusia baru di muka bumi ini. Disebut sebagai pengetahuan yang jahat sebab kenikmatan sesaat yang sirna dalam sekejap namun mengandung risiko yang berkepanjangan yang bisa saja menurunkan gen-gen yang jahat secara berkesinambungan dan turun temurun.

Dalam artikel terdahulu saya, yang saya beri tajuk Legal Opinion, saya mengemukakan teori hukum God Compilation of Law. Dasar pemikiran teori ini bahwa; Hukum Tuhan dikompilasi ke hukum alam dan hukum alam dikompilasi oleh manusia ke dalam hukum positif dan hukum ajaran agama. Semua hukum yang ada dalam ajaran agama adalah hukum Tuhan yang dikompilasi melalui hukum alam. Artikel ini (dan berikutnya) saya mengemukakan satu bentuk pemikiran baru dalam filsafat. Aliran baru ini saya namakan sebagai “Filsafat Penggenapan.” Filsafat penggenapan ini didasari oleh satu pemikiran bahwa segala sesuatu yang diciptakan Tuhan selalu digenapkan untuk mencapai keseimbangan. Keseimbangan dapat tercipta apabila memiliki daya tarik-menarik demi untuk menjaga keseimbangan tersebut. Kekuatan utama yang menjaga, menopang dan menyanggah keseimbangan itu selalu berada di tengah mengantarai kedua unsur yang digenapkan. Dia memelihara dan melindungi ciptaan-Nya itu, semua ciptaan-Nya memiliki nama. Dengan demikian Ia Tak Dapat Disamai, Tak Dapat Diserupai, Tak Dapat Dicapai dan Tak Terjangkau oleh pemikiran manusia.

Islam memegang teguh prinsip tauhid (pengesaan Tuhan) dalam kalimat Laa Ilaha Illallah yang artinya Tidak ada Tuhan selain Allah. Kalimat ini ambigu. Makna yang pertama dapat berarti “tidak ada Tuhan (lain) selain Allah.” Makna yang kedua memiliki arti “tidak ada Tuhan selain (dalam) Allah.” Secara hakikat makna yang kedua memiliki arti yang benar, sebab Allah adalah bayangan Tuhan. Allah menyelubungi Tuhan dan Tuhan berada di dalam Allah. Pandangan ini didasari oleh pernyataan Allah di dalam Alquran QS 3:318, sebagai berikut:

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam ilmu bahasa dikenal istilah kata ganti atau disebut dengan pronominal merupakan kata yang digunakan untuk menggantikan orang atau benda. Kata ganti orang pertama tunggal: aku, saya, daku, ku. Kata ganti orang kedua tunggal: kamu, anda, engkau, kau, dikau, mu. Kata ganti orang ketiga tunggal: dia, beliau, ia, nya. Ayat di atas menyebut: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan.” Jelas bagi kita bahwa “Dia” yang dimaksud adalah pronomina ketiga tunggal yaitu Tuhan Yang Tak Bernama. Kelanjutan ayat tersebut “Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu), Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Kebenaran pernyataan Allah di atas bersifat mutlak oleh karena didukung oleh saksi-saksi yaitu: Para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Orang-orang berilmu yang dimaksud dalam ayat ini adalah Cakra Ningrat dan anda yang membaca artikel ini. Siapa pun anda, tidak peduli agama anda, bila anda memahami hakikat Tuhan dan eksistensi-Nya bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Tak Memiliki Nama, maka anda masuk dalam kategori orang yang berilmu. Ilmu anda telah melampaui batasan doktrin dan dogma agama anda.

Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS 2:163).

Tritunggal yang dalam bahasa latin disebut Trinitas adalah doktrin Iman dalam agama kristen yang mengakui Satu Allah Yang Esa, namun hadir dalam tiga pribadi Allah; Bapa, Putra dan Roh Kudus, di mana ketiganya memiliki esensi yang sama, kedudukan yang sama, kuasa yang sama dan sama kemuliaannya. Sejak awal abad ketiga, doktrin Tritunggal telah dinyatakan sebagai “satu kebenaran Allah di dalam tiga pribadi dan satu substansi, Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Doktrin ini menjadi pegangan bagi semua aliran kekristenan baik katolik, protestan, maupun ortodoks.

Semua umat kristen tahu bahwa doktrin Tritunggal Allah bukan ajaran Yesus Kristus. Kristin juga tahu tidak ada satu pun ayat dalam perjanjian lama dan perjanjian baru, baik secara eksplisit maupun implisit yang menyebut Allah dalam Tiga Kepribadian yang berbeda namun menjadi satu di dalam diri Yesus Kristus.

Perjanjian lama adalah Kitab yang merekam semua perbuatan-perbuatan Allah ditulis secara kanonik oleh berbagai macam penulis yang berbeda, di zaman yang berbeda, sejarah yang berbeda, status sosial di masyarakat yang berbeda dan kedudukan mereka yang berbeda-beda di hadapan Allah. Jika doktrin Tritunggal Allah tidak tertulis di dalam injil Matius, injil Markus, injil Lukas, dan injil Yohanes maka sudah dapat dipastikan doktrin Tritunggal Allah tidak terdapat di dalam Alquran. Injil dan Alquran tidak mungkin “bertentangan,” sebab berasal dari Tuhan yang sama, yaitu Tuhan Yang Tak Memiliki Nama, tetapi ulah manusia selalu saja mempertentangkan kedua kitab itu. Pertentangan ini disebabkan karena ketidaktahuan, ketidakpahaman, dan kebodohan spiritual yang didasari oleh perasaan dengki. Kedengkian telah membutakan hati nurani manusia dan menutup pintu logika akal sehat mereka. (Berlanjut ke bagian 2 dengan judul yang sama).